25 C
Medan
Thursday, November 21, 2024
spot_img

Kasus Ujaran Kebencian Marak, Masyarakat Diimbau Bijak Gunakan Medsos

.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Belakangan kasus-kasus ujaran kebencian di media sosial (medsos) marak terjadi. Bahkan kasusnya, tak sedikit yang harus berurusan dengan kepolisian dan berujung persidangan. Merujuk UU ITE, Pengadilan Negeri (PN) Medan saja menangani dua perkara kasus ujaran kebencian.

Diantaranya, dosen Universitas Sumatera Utara (USU), Himma Dewiyana Lubis yang didakwa menyebarkan SARA menyebut bom Surabaya sebagai pengalihan isu.

Kemudian, Juara Seherman alias Kembar. Ia didakwa menghina Presiden Jokowi di akun facebook miliknya. Keduanya kini masih duduk di kursi pesakitan PN Medan menjalani persidangan.

Dari kedua kasus ini, pengamat hukum Redyanto Sidi mengatakan, salah satu faktor seseorang melakukan ujaran kebencian akibat ketidakpahaman terhadap media sosial. Ditambah minimnya pengetahuan, tentang UU ITE yang bisa menjerat seseorang kedalam kasus pidana. “Medsos adalah sarana informasi kegiatan positif. Ketidakpahaman atas fungsi medsos tersebut dapat berdampak hukum pagi penggunanya. Hate speech dapat terjadi karena ketidakpahaman atau kesengajaan,” ungkap Direktur LBH Humaniora ini kepada Sumut Pos, Minggu (27/1).

“Pengguna medsos sebaiknya harus memahami dulu rambu-rambu hukum terhadap suatu postingan, baik dari link yang diterima atau yang dishare,” tambahnya.

Menurutnya, masyarakat sebagai pengguna teknologi wajib memahami UU ITE sebagai rambu-rambu agar tidak terjebak. Karena memiliki UU, masyarakat harus mempelajarinya sebelum berkecimpung dalam dunia ITE tersebut. “Seperti kita mengendarai sepedamotor, kita harus pelajari bagaimana mekanisme aturan berkendara. Begitu juga di ranah teknologi atau media sosial, harus dipelajari aturan penggunaannya. Pemerintah juga berkewajiban memberikan penjelasan pada seluruh masyarakat tentang ini,” urainya.

Untuk itu Redyanto menyarankan, masyarakat diminta bijak menggunakan medsos sebelum menshare. Sebab, alur teknologi kini semuanya telah diatur. “Pengguna medsos sebaiknya ‘saring’ dulu sebelum sharing. Jangan terpancing isu, cek dulu fakta, cari sumber berita termasuk info pembandingnya. Gunakan medsos sebagai sarana lintas informasi, jangan untuk hal-hal yang mengarah ‘mencaci maki’. Atau UU ITE menanti,” katanya.

Jika dilihat dari kasus yang menjerat Himma Dewiyana Lubis dan Juara Seherman, bisa dibilang adalah korban dari arus perpolitikan.

Namun, disadari atau tidak, Redyanto menganggap kebencian terhadap tokoh ataupun kelompok tertentu harus disikapi dengan bijak. “Derasnya arus politik menjelang pemilu 2019 ini harus diantisipasi dengan edukasi, pemerintah jangan terbawa arus. Pemerintah harus tegas kepada oknum perseorangan atau terkelompok sebagai pendukung paslon agar tidak memprovokasi masyarakat yang awam,” jelasnya. “Beda pilihan merupakan ciri demokrasi. Namun tidak boleh dipertentangkan, apalagi di medsos sehingga jadi konsumsi publik. Karena masyarakat bisa cenderung terpancing jadi ikut-ikutan,” sambungnya. Untuk meminimalisir tindakan ujaran kebencian, pemerintah perlu mengedukasi masyarakat. Caranya sebut Redyanto, melakukan sosialisasi, penyuluhan lisan dan tulisan, imbauan mengenai rambu-rambu dampak hukum medsos sesuai UU ITE.

“Mendata dan menertibkan akun fake dan kontroling terhadap akun yang mengarah kepada hate speech,” imbuhnya. Diapun sependapat, bila UU ITE ini salah satunya untuk melakukan pembungkaman. Namun semuanya itu, untuk melakukan kontrol terhadap hal-hal yang menjurus fitnah terhadap kelompok tertentu.

“Disatu sisi iya, karena salah satu fungsi hukum adalah sanksi. Saya pikir fitnah jelas berbeda dengan kritisi, hanya saja jangan menyerang dengan niat yang kurang baik. Sebaiknya kritisi dibarengi dengan data fakta dan saran sehingga jelas dan tegas,” pungkasnya. (man/ala)

.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Belakangan kasus-kasus ujaran kebencian di media sosial (medsos) marak terjadi. Bahkan kasusnya, tak sedikit yang harus berurusan dengan kepolisian dan berujung persidangan. Merujuk UU ITE, Pengadilan Negeri (PN) Medan saja menangani dua perkara kasus ujaran kebencian.

Diantaranya, dosen Universitas Sumatera Utara (USU), Himma Dewiyana Lubis yang didakwa menyebarkan SARA menyebut bom Surabaya sebagai pengalihan isu.

Kemudian, Juara Seherman alias Kembar. Ia didakwa menghina Presiden Jokowi di akun facebook miliknya. Keduanya kini masih duduk di kursi pesakitan PN Medan menjalani persidangan.

Dari kedua kasus ini, pengamat hukum Redyanto Sidi mengatakan, salah satu faktor seseorang melakukan ujaran kebencian akibat ketidakpahaman terhadap media sosial. Ditambah minimnya pengetahuan, tentang UU ITE yang bisa menjerat seseorang kedalam kasus pidana. “Medsos adalah sarana informasi kegiatan positif. Ketidakpahaman atas fungsi medsos tersebut dapat berdampak hukum pagi penggunanya. Hate speech dapat terjadi karena ketidakpahaman atau kesengajaan,” ungkap Direktur LBH Humaniora ini kepada Sumut Pos, Minggu (27/1).

“Pengguna medsos sebaiknya harus memahami dulu rambu-rambu hukum terhadap suatu postingan, baik dari link yang diterima atau yang dishare,” tambahnya.

Menurutnya, masyarakat sebagai pengguna teknologi wajib memahami UU ITE sebagai rambu-rambu agar tidak terjebak. Karena memiliki UU, masyarakat harus mempelajarinya sebelum berkecimpung dalam dunia ITE tersebut. “Seperti kita mengendarai sepedamotor, kita harus pelajari bagaimana mekanisme aturan berkendara. Begitu juga di ranah teknologi atau media sosial, harus dipelajari aturan penggunaannya. Pemerintah juga berkewajiban memberikan penjelasan pada seluruh masyarakat tentang ini,” urainya.

Untuk itu Redyanto menyarankan, masyarakat diminta bijak menggunakan medsos sebelum menshare. Sebab, alur teknologi kini semuanya telah diatur. “Pengguna medsos sebaiknya ‘saring’ dulu sebelum sharing. Jangan terpancing isu, cek dulu fakta, cari sumber berita termasuk info pembandingnya. Gunakan medsos sebagai sarana lintas informasi, jangan untuk hal-hal yang mengarah ‘mencaci maki’. Atau UU ITE menanti,” katanya.

Jika dilihat dari kasus yang menjerat Himma Dewiyana Lubis dan Juara Seherman, bisa dibilang adalah korban dari arus perpolitikan.

Namun, disadari atau tidak, Redyanto menganggap kebencian terhadap tokoh ataupun kelompok tertentu harus disikapi dengan bijak. “Derasnya arus politik menjelang pemilu 2019 ini harus diantisipasi dengan edukasi, pemerintah jangan terbawa arus. Pemerintah harus tegas kepada oknum perseorangan atau terkelompok sebagai pendukung paslon agar tidak memprovokasi masyarakat yang awam,” jelasnya. “Beda pilihan merupakan ciri demokrasi. Namun tidak boleh dipertentangkan, apalagi di medsos sehingga jadi konsumsi publik. Karena masyarakat bisa cenderung terpancing jadi ikut-ikutan,” sambungnya. Untuk meminimalisir tindakan ujaran kebencian, pemerintah perlu mengedukasi masyarakat. Caranya sebut Redyanto, melakukan sosialisasi, penyuluhan lisan dan tulisan, imbauan mengenai rambu-rambu dampak hukum medsos sesuai UU ITE.

“Mendata dan menertibkan akun fake dan kontroling terhadap akun yang mengarah kepada hate speech,” imbuhnya. Diapun sependapat, bila UU ITE ini salah satunya untuk melakukan pembungkaman. Namun semuanya itu, untuk melakukan kontrol terhadap hal-hal yang menjurus fitnah terhadap kelompok tertentu.

“Disatu sisi iya, karena salah satu fungsi hukum adalah sanksi. Saya pikir fitnah jelas berbeda dengan kritisi, hanya saja jangan menyerang dengan niat yang kurang baik. Sebaiknya kritisi dibarengi dengan data fakta dan saran sehingga jelas dan tegas,” pungkasnya. (man/ala)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/