30 C
Medan
Friday, June 21, 2024

Kejagung Paling Minimalis Ungkap Pungli

gedung_kejagung

Upaya pemerintahan Presiden Jokowi untuk memberantas pungli ternyata belum dilakukan secara maksimal di Kejaksaan Agung. Buktinya, dari semua lembaga, Kejagung yang paling minim mengungkap pungli, hanya dengan satu kasus pungli yang ditangani. Yakni Jaksa Ahmad Fauzi, yang memeras seorang pihak berperkara.

Bila, dibandingkan dengan kasus pungli yang diungkap Polri dengan 235 kasus dan 101 oknum yang terlibat tentu sangat timpang. Kasus pungli yang diungkap Polri di PT Pelindo, Bea Cukai, dan Kementerian Perhubungan, mencapai 4 kasus.

Wakil Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak), Erna Ratnaningsih mengatakan, memang baru ada 1 kasus pungli ditangani Satgas Saber Pungli Kejagung. Walau begitu, dilihat dari skala kasusnya sebenarnya cukup besar dengan barang bukti uang senilai Rp1,5 miliar.

“Tapi, tetap perlu peningkatan,” jelasnya.

Ia menurutkan, pengawasan perlu ditingkatkan untuk menangkap oknum-oknum yang merusak Kejagung dengan melakukan pungli. “Perlu koordinasi dengan kementerian yang lain juga,” kata Erna.

Selain itu, masyarakat yang sedang berperkara hukum di Kejagung juga harus mengerti hak-haknya. Bila ada oknum jaksa yang ternyata meminta-minta, bisa segera dilaporkan. “Bisa dilaporkan ke Komjak, atau ke Jaksa Agung Muda Pengawasan,” imbaunya.

Komisioner Ombudsman RI, Ninik Rahayu menilai sejauh ini belum ada institusi penegak hukum yang secure dari pungli, dan perilaku korup lainnya. Kondisi itu pun semakin mencemari penegakan hukum secara keseluruhan. “Sebenarnya kami tidak ingin kondisi ini (penegakan hukum, red) dicemari,” jelasnya.

Sampai saat ini, pengaduan dari masyarakat terkait kinerja jaksa terus meningkat. Hingga Juni 2016, Ombudsman menerima 58 laporan yang berkaitan dengan buruknya kinerja kejaksaan. Jumlah tersebut menunjukan tren peningkatan bila dibanding 2015, yakni sebanyak 92 kasus. “Indikasinya memang meningkat, kami akan merilis lagi jumlah itu (pengaduan kinerja kejaksaan, red),” kata Ninik.

Ninik mengatakan, indikator belum maksimalnya reformasi birokrasi kejaksaan itu menunjukan belum berjalannya fungsi pengawasan internal lembaga bersangkutan. Bila tidak ada gebrakan, praktik culas yang melibatkan para jaksa akan terus terjadi sampai kapanpun. “Lagi-lagi memang pengawas internal yang harus berjalan,” tegas mantan anggota Komnas Perempuan ini.

Kejaksaan harus memiliki komitmen kuat untuk berbenah diri. Menurut Ninik, beberapa langkah bisa dilakukan korps adhyaksa tersebut. Salah satunya, merekonstruksi sistem rekrutmen jaksa. Penjaringan tersebut mestinya tidak hanya mengedepankan intelijensi calon jaksa, tapi juga integritas. “Yang harus dibenahi adalah sistemnya,” paparnya.

Sistem yang baik, lanjut Ninik, nantinya akan melahirkan jaksa yang berintegritas. Pembenahan itu juga memberikan harapan positif bagi masyarakat yang saat ini cenderung pesimistis dengan penegakkan hukum. “Sistemnya bisa melahirkan pemimpin (kejaksaan, Red) yang baik juga,” imbuhnya.

Bagian lain, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar menuturkan, minimnya pengungkapan kasus pungli di tubuh Korps Ahdyaksa itu, bisa karena 2 sebab. Yakni saking bersihnya lembaganya atau justru sulit mengusutkan, karena saling menyandera. “Dua itu kemungkinannya,” jelasnya.

Menurutnya, yang pasti harusnya Satgas Saber Pungli lebih terbuka untuk mengumumkan perkara pungli ke masyarakat. “Masyarakat itu berhak untuk mengawasi kerja penegak hukum. Ini bentuk pertanggungjawaban pada masyarakat sebagai pembayar pajak,” tegasnya.

Sementara Direktur Eksekutif Setara Institute, Hendardi menjelaskan, jumlah pengungkapan kasus pungli yang sedikit itu bukan karena lembaganya bersih. Namun, bisa jadi karena lembaganya tidak serius dalam kasus pungli di internal. “Beda antara kepolisian dan Kejagung,” jelasnya.

Menurutnya, hanya satu solusi untuk mempercepat perbaikan kinerja di Kejagung, yakni Jaksa Agungnya harus diganti. “Ganti Jaksa Agungnya dengan yang lebih mampu,” kata Abdul.

Sementara Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung M Rum saat dikonfirmasi justru me-reject telepon selularnya. Pesan singkat yang dikirim juga tidak dibalas. (idr/tyo/jpg/saz)

gedung_kejagung

Upaya pemerintahan Presiden Jokowi untuk memberantas pungli ternyata belum dilakukan secara maksimal di Kejaksaan Agung. Buktinya, dari semua lembaga, Kejagung yang paling minim mengungkap pungli, hanya dengan satu kasus pungli yang ditangani. Yakni Jaksa Ahmad Fauzi, yang memeras seorang pihak berperkara.

Bila, dibandingkan dengan kasus pungli yang diungkap Polri dengan 235 kasus dan 101 oknum yang terlibat tentu sangat timpang. Kasus pungli yang diungkap Polri di PT Pelindo, Bea Cukai, dan Kementerian Perhubungan, mencapai 4 kasus.

Wakil Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak), Erna Ratnaningsih mengatakan, memang baru ada 1 kasus pungli ditangani Satgas Saber Pungli Kejagung. Walau begitu, dilihat dari skala kasusnya sebenarnya cukup besar dengan barang bukti uang senilai Rp1,5 miliar.

“Tapi, tetap perlu peningkatan,” jelasnya.

Ia menurutkan, pengawasan perlu ditingkatkan untuk menangkap oknum-oknum yang merusak Kejagung dengan melakukan pungli. “Perlu koordinasi dengan kementerian yang lain juga,” kata Erna.

Selain itu, masyarakat yang sedang berperkara hukum di Kejagung juga harus mengerti hak-haknya. Bila ada oknum jaksa yang ternyata meminta-minta, bisa segera dilaporkan. “Bisa dilaporkan ke Komjak, atau ke Jaksa Agung Muda Pengawasan,” imbaunya.

Komisioner Ombudsman RI, Ninik Rahayu menilai sejauh ini belum ada institusi penegak hukum yang secure dari pungli, dan perilaku korup lainnya. Kondisi itu pun semakin mencemari penegakan hukum secara keseluruhan. “Sebenarnya kami tidak ingin kondisi ini (penegakan hukum, red) dicemari,” jelasnya.

Sampai saat ini, pengaduan dari masyarakat terkait kinerja jaksa terus meningkat. Hingga Juni 2016, Ombudsman menerima 58 laporan yang berkaitan dengan buruknya kinerja kejaksaan. Jumlah tersebut menunjukan tren peningkatan bila dibanding 2015, yakni sebanyak 92 kasus. “Indikasinya memang meningkat, kami akan merilis lagi jumlah itu (pengaduan kinerja kejaksaan, red),” kata Ninik.

Ninik mengatakan, indikator belum maksimalnya reformasi birokrasi kejaksaan itu menunjukan belum berjalannya fungsi pengawasan internal lembaga bersangkutan. Bila tidak ada gebrakan, praktik culas yang melibatkan para jaksa akan terus terjadi sampai kapanpun. “Lagi-lagi memang pengawas internal yang harus berjalan,” tegas mantan anggota Komnas Perempuan ini.

Kejaksaan harus memiliki komitmen kuat untuk berbenah diri. Menurut Ninik, beberapa langkah bisa dilakukan korps adhyaksa tersebut. Salah satunya, merekonstruksi sistem rekrutmen jaksa. Penjaringan tersebut mestinya tidak hanya mengedepankan intelijensi calon jaksa, tapi juga integritas. “Yang harus dibenahi adalah sistemnya,” paparnya.

Sistem yang baik, lanjut Ninik, nantinya akan melahirkan jaksa yang berintegritas. Pembenahan itu juga memberikan harapan positif bagi masyarakat yang saat ini cenderung pesimistis dengan penegakkan hukum. “Sistemnya bisa melahirkan pemimpin (kejaksaan, Red) yang baik juga,” imbuhnya.

Bagian lain, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar menuturkan, minimnya pengungkapan kasus pungli di tubuh Korps Ahdyaksa itu, bisa karena 2 sebab. Yakni saking bersihnya lembaganya atau justru sulit mengusutkan, karena saling menyandera. “Dua itu kemungkinannya,” jelasnya.

Menurutnya, yang pasti harusnya Satgas Saber Pungli lebih terbuka untuk mengumumkan perkara pungli ke masyarakat. “Masyarakat itu berhak untuk mengawasi kerja penegak hukum. Ini bentuk pertanggungjawaban pada masyarakat sebagai pembayar pajak,” tegasnya.

Sementara Direktur Eksekutif Setara Institute, Hendardi menjelaskan, jumlah pengungkapan kasus pungli yang sedikit itu bukan karena lembaganya bersih. Namun, bisa jadi karena lembaganya tidak serius dalam kasus pungli di internal. “Beda antara kepolisian dan Kejagung,” jelasnya.

Menurutnya, hanya satu solusi untuk mempercepat perbaikan kinerja di Kejagung, yakni Jaksa Agungnya harus diganti. “Ganti Jaksa Agungnya dengan yang lebih mampu,” kata Abdul.

Sementara Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung M Rum saat dikonfirmasi justru me-reject telepon selularnya. Pesan singkat yang dikirim juga tidak dibalas. (idr/tyo/jpg/saz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/