25 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

Jeri Terpaksa Mengaku Karena Ditekan Polisi

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pengakuan Jeri Ornando Ginting (38) warga Jl. Abdullah Lubis Medan dalam BAP Ditres Narkoba Poldasu atas kepemilikan sabu seberat 5 gram yang diamankan polisi di Hotel Robinson Medan, dibantah istrinya, Popy Andriani (22). Popy menegaskan, Jeri terpaksa mengaku karena tak tahan dipres sama polisi.

Hal ini dikatakan Popy saat ditemui, Sabtu (29/3) siang. Selain melakukan rekayasa penangkapan sesuai rekaman CCTV, Popy juga menyesalkan aksi koboy polisi yang memukuli suaminya.

“Kenapa mereka harus memukulinya. Disamping itu, hasil pemeriksaan (BAP) juga berbeda dengan rekaman CCTV,” ucapnya. Selain itu, Popy juga meragukan pengakuan Brigadir H yang mengatakan, sebelum menangkap ia lebih dulu memesan sabu pada Jeri.

“Kalau itu saya tidak tau. Tapi itukan pengakuan polisi, saya tidak percaya dengan ucapan polisi,” kata wanita berkulit kuning langsat itu. Lalu kenapa dalam BAP, Jeri mengakui kalau sabu itu adalah miliknya? Ditanya begitu, Popy mengaku suaminya terpaksa mengakui karena terus dianiaya sama polisi.

“Kata suami saya. Dia dipaksa mengakui, karna dia dipres habis-habisan. Kepala suami saya juga mendapat luka 16 jahitan,” pungkasnya. Sementara itu, tindakan penyiksaan yang rekayasa penangkapan dilakukan kepolisian terhadap pelaku tindak pidana telah melanggar hak asasi manusia (HAM).

Seperti dalam kasus penangkapan Jeri di Hotel Robinson Medan, beberapa waktu lalu.  Dalam rekaman CCTV Hotel Robinson, terlihat petugas sengaja menggeser bungkusan sabu ke arah tempat duduk Jeri saat hendak diamankan. Dari hal itu, Kordinator Kontras, Hendensi mengatakan, tindakan seperti itu telah melanggar UU Kepolisian dan juga HAM.

“Jika memang hasil CCTV tersebut terbukti, maka itu petugas harus secepatnya melepaskan orang yang disangkakan itu. Mengingat pelaku tindak pidana narkotika ditangkap saat barang buktinya melekat di badannya. Walaupun dia bandar, tapi barang tersebut kan tidak melekat di badannya,” ucapnya. Di samping itu, lanjut Hendensi, polisi berhak menahan pelaku jika sudah memiliki saksi dan adanya barang bukti. “Tapi, jika itu tidak ada bagaimana? Kan polisi tidak bisa menahan orang,” ucapnya. Kemudian, dia juga memandang tindakan penangkapan yang dilakukan akibat adanya target membuat oknum polisi menghalalkan segala cara, termasuk melanggar HAM.

“Kadang mereka (polisi) mendudukkan perkara dengan cara melakukan penyiksaan. Jadi semuanya terkesan dipaksakan, padahal tidak duduk perkaranya,” ucapnya.

Seharusnya, beber Herdensi, dalam reformasi kepolisian saat ini, polisi harus bisa mengungkap kasus berdasarkan alat bukti yang cukup bukan melakukan dengan melakuan tindakan penyiksaan dan rekayasa. “Pengungkapan kasus itu harus ada saksi, ada olah TKP dan adanya barang bukti. Jadi itulah perangkat-perangkat yang bisa membuat polisi mengungkap kasus. Bukan melakukan penyiksaan supaya orang mengakuinya,” pungkasnya.

Kabid Humas Poldasu, Kombes Pol Heru Prakoso yang ditemui terpisah membantah adanya tindakan pemukulan yang dilakukan pihaknya saat mengungkap kasus tersebut. Pasalnya, tindakan pemukulan tidak dibenarkan dalam kesatuan Polri. “Tidak ada itu anggota yang melakukan pemukulan dalam mengungkap kasus. Mungkin dulu seperti itu untuk mengejar pengakuan pelaku. Tapi sekarang itu tidak,” ucapnya.

Lebih lanjut, bebernya, pengejaran pengakuan dari pelaku tersebut sudah lama ditinggalkan Polri. Saat ini, untuk mengungkap kasus, anggota harus mencari pembuktian mulai dari saksi-saksi, dan barang bukti. “Tidak ada dibenarkan tindakan penganiayaan seperti itu untuk mencari pengakuan. Itu sudah lama kita tinggalkan,” sangkalnya.

Kemudian, Heru menegaskan, anggota hanya akan memberikan tindakan tegas terhadap pelaku tindak kriminal dengan pelumpuhan. Kalau pemukulan-pemukulan tidak ada. “Biasa itu. Pelakukan kalau ditangkap bilang polisi mukuli. Polisi tidak profesional. Itu biasa itu,” ucapnya. Untuk itu, dirinya mengimbau supaya media massa jangan terlalu percaya.

“Artinya, kalau memang betul adanya penganiayaan, dirinya meminta untuk dilaporkan ke Propam,” ucapnya. Namun saat disinggung kalau saat ini kru koran ini ada memegang CCTV penganiayaan yang dilakukan anggota Polri terhadap pelaku, Heru berkilah kalau memang ada bukti-bukti tindak penganiayaan seperti adanya memar dan luka supaya korban melapor ke propam.

“Jadi jangan cuma ngomong-ngomong saja ada penganiayaan. Saya sarankan laporkan ke Propam, tapi nggak ada yang mau melaporkan. Laporkan, jadi kita bisa kontrol anggota kita di lapangan. Banyak yang seperti itu, tapi saya sarankan untuk ngelapor, banyak yang tidak mau. Jadi mereka hanya menyudutkan anggota saya melalui media,” pungkasnya.

Tapi tiba-tiba saja, Heru menyebutkan, tidak menutup kemungkinan ada personel yang masih mengejar pengakuan pelaku dengan cara pemukulan. “Bisa jadi masih ada satu atau dua anggota yang melakukan pemukulan untuk mencari pengakuan pelaku. Maka itu, kita minta jika ada bukti yang cukup laporkan saja. Biar bisa kita kontrol anggota,” ucapnya.

Saat disinggung, apakah pihaknya melakukan tes psikologis saat melakukan penerimaan anggota Polri, dirinya mengaku ada. Namun sayang, perwira yang 4 ban mobilnya pernah dicuri maling itu tidak mengetahui secara detail apa-apa saja yang dinilai saat tes psikologis. “Ada tes psikologis yang kita lakukan saat penerimaan anggota. Tapi saya tidak tau apa-apa saja nilai kelulusan secara psikologis. Yang tau itu dokter. Kalau dulu saya cuma ngetes saja. Terus lulus. Mungkin saya normal makanya saya lulus,” pungkasnya. (ind/deo)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pengakuan Jeri Ornando Ginting (38) warga Jl. Abdullah Lubis Medan dalam BAP Ditres Narkoba Poldasu atas kepemilikan sabu seberat 5 gram yang diamankan polisi di Hotel Robinson Medan, dibantah istrinya, Popy Andriani (22). Popy menegaskan, Jeri terpaksa mengaku karena tak tahan dipres sama polisi.

Hal ini dikatakan Popy saat ditemui, Sabtu (29/3) siang. Selain melakukan rekayasa penangkapan sesuai rekaman CCTV, Popy juga menyesalkan aksi koboy polisi yang memukuli suaminya.

“Kenapa mereka harus memukulinya. Disamping itu, hasil pemeriksaan (BAP) juga berbeda dengan rekaman CCTV,” ucapnya. Selain itu, Popy juga meragukan pengakuan Brigadir H yang mengatakan, sebelum menangkap ia lebih dulu memesan sabu pada Jeri.

“Kalau itu saya tidak tau. Tapi itukan pengakuan polisi, saya tidak percaya dengan ucapan polisi,” kata wanita berkulit kuning langsat itu. Lalu kenapa dalam BAP, Jeri mengakui kalau sabu itu adalah miliknya? Ditanya begitu, Popy mengaku suaminya terpaksa mengakui karena terus dianiaya sama polisi.

“Kata suami saya. Dia dipaksa mengakui, karna dia dipres habis-habisan. Kepala suami saya juga mendapat luka 16 jahitan,” pungkasnya. Sementara itu, tindakan penyiksaan yang rekayasa penangkapan dilakukan kepolisian terhadap pelaku tindak pidana telah melanggar hak asasi manusia (HAM).

Seperti dalam kasus penangkapan Jeri di Hotel Robinson Medan, beberapa waktu lalu.  Dalam rekaman CCTV Hotel Robinson, terlihat petugas sengaja menggeser bungkusan sabu ke arah tempat duduk Jeri saat hendak diamankan. Dari hal itu, Kordinator Kontras, Hendensi mengatakan, tindakan seperti itu telah melanggar UU Kepolisian dan juga HAM.

“Jika memang hasil CCTV tersebut terbukti, maka itu petugas harus secepatnya melepaskan orang yang disangkakan itu. Mengingat pelaku tindak pidana narkotika ditangkap saat barang buktinya melekat di badannya. Walaupun dia bandar, tapi barang tersebut kan tidak melekat di badannya,” ucapnya. Di samping itu, lanjut Hendensi, polisi berhak menahan pelaku jika sudah memiliki saksi dan adanya barang bukti. “Tapi, jika itu tidak ada bagaimana? Kan polisi tidak bisa menahan orang,” ucapnya. Kemudian, dia juga memandang tindakan penangkapan yang dilakukan akibat adanya target membuat oknum polisi menghalalkan segala cara, termasuk melanggar HAM.

“Kadang mereka (polisi) mendudukkan perkara dengan cara melakukan penyiksaan. Jadi semuanya terkesan dipaksakan, padahal tidak duduk perkaranya,” ucapnya.

Seharusnya, beber Herdensi, dalam reformasi kepolisian saat ini, polisi harus bisa mengungkap kasus berdasarkan alat bukti yang cukup bukan melakukan dengan melakuan tindakan penyiksaan dan rekayasa. “Pengungkapan kasus itu harus ada saksi, ada olah TKP dan adanya barang bukti. Jadi itulah perangkat-perangkat yang bisa membuat polisi mengungkap kasus. Bukan melakukan penyiksaan supaya orang mengakuinya,” pungkasnya.

Kabid Humas Poldasu, Kombes Pol Heru Prakoso yang ditemui terpisah membantah adanya tindakan pemukulan yang dilakukan pihaknya saat mengungkap kasus tersebut. Pasalnya, tindakan pemukulan tidak dibenarkan dalam kesatuan Polri. “Tidak ada itu anggota yang melakukan pemukulan dalam mengungkap kasus. Mungkin dulu seperti itu untuk mengejar pengakuan pelaku. Tapi sekarang itu tidak,” ucapnya.

Lebih lanjut, bebernya, pengejaran pengakuan dari pelaku tersebut sudah lama ditinggalkan Polri. Saat ini, untuk mengungkap kasus, anggota harus mencari pembuktian mulai dari saksi-saksi, dan barang bukti. “Tidak ada dibenarkan tindakan penganiayaan seperti itu untuk mencari pengakuan. Itu sudah lama kita tinggalkan,” sangkalnya.

Kemudian, Heru menegaskan, anggota hanya akan memberikan tindakan tegas terhadap pelaku tindak kriminal dengan pelumpuhan. Kalau pemukulan-pemukulan tidak ada. “Biasa itu. Pelakukan kalau ditangkap bilang polisi mukuli. Polisi tidak profesional. Itu biasa itu,” ucapnya. Untuk itu, dirinya mengimbau supaya media massa jangan terlalu percaya.

“Artinya, kalau memang betul adanya penganiayaan, dirinya meminta untuk dilaporkan ke Propam,” ucapnya. Namun saat disinggung kalau saat ini kru koran ini ada memegang CCTV penganiayaan yang dilakukan anggota Polri terhadap pelaku, Heru berkilah kalau memang ada bukti-bukti tindak penganiayaan seperti adanya memar dan luka supaya korban melapor ke propam.

“Jadi jangan cuma ngomong-ngomong saja ada penganiayaan. Saya sarankan laporkan ke Propam, tapi nggak ada yang mau melaporkan. Laporkan, jadi kita bisa kontrol anggota kita di lapangan. Banyak yang seperti itu, tapi saya sarankan untuk ngelapor, banyak yang tidak mau. Jadi mereka hanya menyudutkan anggota saya melalui media,” pungkasnya.

Tapi tiba-tiba saja, Heru menyebutkan, tidak menutup kemungkinan ada personel yang masih mengejar pengakuan pelaku dengan cara pemukulan. “Bisa jadi masih ada satu atau dua anggota yang melakukan pemukulan untuk mencari pengakuan pelaku. Maka itu, kita minta jika ada bukti yang cukup laporkan saja. Biar bisa kita kontrol anggota,” ucapnya.

Saat disinggung, apakah pihaknya melakukan tes psikologis saat melakukan penerimaan anggota Polri, dirinya mengaku ada. Namun sayang, perwira yang 4 ban mobilnya pernah dicuri maling itu tidak mengetahui secara detail apa-apa saja yang dinilai saat tes psikologis. “Ada tes psikologis yang kita lakukan saat penerimaan anggota. Tapi saya tidak tau apa-apa saja nilai kelulusan secara psikologis. Yang tau itu dokter. Kalau dulu saya cuma ngetes saja. Terus lulus. Mungkin saya normal makanya saya lulus,” pungkasnya. (ind/deo)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/