31 C
Medan
Tuesday, July 2, 2024

Dasar MA Kembalikan Tanah ke PT ACR, Mujianto Sudah Beli Tanah dari Tamin

Ilustrasi

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pengadilan Negeri (PN) Medan telah menerima petikan salinan putusan Mahkamah Agung (MA), tentang Kasasi Tamin Sukardi.

Dalam putusan itu, MA menghukum Tamin dengan pidana 5 tahun penjara denda Rp500 juta, dengan ketentuan apabila tidak dibayar terdakwa, maka diganti dengan kurungan selama 6 bulan. Selain Itu, dalam amarnya, MA juga mengembalikan tanah 106 hektare (ha) kepada pihak swasta. Diantaranya, 32 ha kepada Al-Wasliyah dan 74 ha kepada PT Agung Cemara Realty (ACR), dimana Mujianto selaku direktur.

Terkait pengembalian tanah yang awalnya dikuasai Tamin ini, Humas PN Medan, Jamaluddin mengatakan, pegembalian tanah 74 ha ke Mujianto, awalnya telah terjadi jual beli tanah antara Tamin dan Mujianto. “Di situ ada perintah untuk menyerahkan ke dia (Mujianto), kalau tidak ada perintah tidak mungkin bisa diserahkan.

Dia kan sudah bayar, maka disitulah Tamin terjadi korupsinya itu. Tanah itu dia beli dari si Tamin, maka dalam putusan itu ada perintah, Mujianto harus menyerahkan uang itu kepada negara,” ungkapnya kepada Sumut Pos, Jumat (30/8).

Jamaluddin menjelaskan, dalam putusan MA itu, Mujianto diperintahkan membayar sisa uang itu kepada Tamin, untuk selanjutnya diserahkan kepada negara sebagai uang pengganti. “Jadi karna dia (Mujianto) sudah membeli, maka uang ini wajib diserahkan kepada negara,” katanya.

Sedangkan, tanah 32 ha yang diserahkan kepada Al-Wasliyah, Jamaluddin mengaku belum mempelajari putusan MA tersebut. “Apakah itu hibah atau bagaimana, saya belum pelajari amar putusannya,” ujarnya.

Sementara, mengenai adanya warga yang telah mendiami di objek tanah eks HGU PTPN II itu, Jamaluddin mengatakan warga harus tunduk kepada PT ACR dan Al-Wasliyah selaku pemilik tanah. “Merekalah yang mempunyai hak, kalau masyarakat yang menempati itu berarti tanpa seizin dia. Jadi kalau masyarakat ingin apa, berusanlah dengan PT ACR dan Al-Wasliyah,” jelasnya.

Lebih lanjut kata Jamaluddin, pihak Tamin maupun Kejaksaan bisa melakukan upaya hukum luar biasa (Peninjauan Kembali), bila ada novum (bukti baru). “Saya tidak mengatakan ini inckrah, apakah dia (Tamin) melakukan upaya perlawanan hukum atau tidak. Kalau dia tidak melakukan upaya hukum, berarti inckrah,” pungkasnya.

Sebagaimana diketahui, dalam putusan di PN Medan, pada tanggal 27 Agustus 2018, Tamin Sukardi dijatuhi hukuman 6 tahun penjara. Dia dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi, karena telah menjual tanah yang belum dihapus dari aset negara dengan nilai lebih dari Rp132 miliar.

Perkara ini bermula pada tahun 2002, ketika terdakwa Tamin Sukardi mengetahui dari koran bahwa 106 hektare lahan yang dipakai PTPN II (Persero) di Kebun Helvetia tidak diperpanjang hak guna usaha (HGU)-nya. Dia pun berniat menguasai lahan yang berada di Pasar IV Desa Helvetia, Labuhan Deli, Deli Serdang itu berbekal 65 lembar Surat Keterangan Tentang Pembagian dan Penerimaan Tanah Sawah/Ladang (SKTPPSL).

Upaya itu dilakukan dengan Tasman Aminoto dan Misran Sasmita, mantan Karyawan PTPN II, dan Sudarsono. Mereka membayar dan mengoordinasi sejumlah warga agar mengaku sebagai pewaris hak garap di lokasi tanah dengan dikuatkan dengan bukti 65 lembar SKTPPSL yang seolah-olah diterbitkan tahun 1954. Dengan menyerahkan KTP, warga dijanjikan akan mendapatkan tanah masing-masing seluas 2 hektare.

Padahal, nama yang tertera dalam 65 lembar SKPPTSL bukanlah nama orang tua dari warga-warga itu. Mereka juga sama sekali tidak pernah memiliki tanah di lokasi itu. Selanjutnya, warga juga dikoordinasi untuk datang ke notaris. Di sana mereka menandatangani bundel dokumen berkaitan dengan tanah itu.

Pada tahun 2006, warga diakomodasi agar memberikan kuasa kepada Tasman Aminoto (Alm) untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Deliserdang. Setiap selesai persidangan, kata jaksa, warga juga singgah ke rumah Tamin di Jalan Thamrin Medan. Mereka diberi uang Rp100.000-Rp500.000 melalui Tasman Aminoto ataupun anaknya Endang.

Gugatan warga akhirnya dikabulkan pengadilan dan dikuatkan sampai Peninjauan Kembali (PK). Setelah putusan pengadilan tingkat pertama, pada tahun 2007, Tasman Aminoto melepaskan hak atas tanah itu kepada Tamin Sukardi yang menggunakan PT Erni Putera Terari (Direktur Mustika Akbar) dengan ganti rugi Rp7.000.000.000. Akta di bawah tangan kemudian didaftarkan ke Notaris Ika Asnika (waarmerking).

Kemudian, atas dasar akta di bawah tangan dan putusan tingkat pertama itu, pada 2011, PT Erni Putera Terari tanpa mengurus peralihan hak atas tanah itu dan tanpa melalui ketentuan UU Agraria, menjual 74 hektare dari 106 hektare lahan yang dikuasainya kepada Mujianto selaku Direktur PT Agung Cemara Reality sebesar Rp236.250.000.000. Namun, Mujianto baru membayar sekitar Rp132.468.197.742 kepada Tamin Sukardi. Sisanya akan dibayarkan setelah sertifikat tanah terbit.

PT Erni Putera Terari adalah milik anak-anak Tamin Sukardi. Namun Tamin yang menentukan traksaksi itu dan menerima pembayaran. Dia menjadi kuasa Mustika Akbar, Direktur Utama perusahaan itu.

Dalam persidangan, Mustika Akbar maupun Tamin tidak dapat membuktikan bahwa pembayaran berupa uang dan mobil yang telah diterima Tamin dari Mujianto, masuk dalam pembukuan perusahaan. Mobil Land Cruiser yang menjadi bagian pembayaran itu juga belum masuk menjadi aset perusahaan.

Masalahnya, status tanah yang menjadi objek jual beli antara PT Erni Putera Terari dengan PT Agung Cemara Reality masih tercatat sebagai tanah negara. Belum ada rekomendasi melepas hak negara dari Menteri BUMN yang membawahi PTPN2 atas aset itu. (man)

Ilustrasi

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pengadilan Negeri (PN) Medan telah menerima petikan salinan putusan Mahkamah Agung (MA), tentang Kasasi Tamin Sukardi.

Dalam putusan itu, MA menghukum Tamin dengan pidana 5 tahun penjara denda Rp500 juta, dengan ketentuan apabila tidak dibayar terdakwa, maka diganti dengan kurungan selama 6 bulan. Selain Itu, dalam amarnya, MA juga mengembalikan tanah 106 hektare (ha) kepada pihak swasta. Diantaranya, 32 ha kepada Al-Wasliyah dan 74 ha kepada PT Agung Cemara Realty (ACR), dimana Mujianto selaku direktur.

Terkait pengembalian tanah yang awalnya dikuasai Tamin ini, Humas PN Medan, Jamaluddin mengatakan, pegembalian tanah 74 ha ke Mujianto, awalnya telah terjadi jual beli tanah antara Tamin dan Mujianto. “Di situ ada perintah untuk menyerahkan ke dia (Mujianto), kalau tidak ada perintah tidak mungkin bisa diserahkan.

Dia kan sudah bayar, maka disitulah Tamin terjadi korupsinya itu. Tanah itu dia beli dari si Tamin, maka dalam putusan itu ada perintah, Mujianto harus menyerahkan uang itu kepada negara,” ungkapnya kepada Sumut Pos, Jumat (30/8).

Jamaluddin menjelaskan, dalam putusan MA itu, Mujianto diperintahkan membayar sisa uang itu kepada Tamin, untuk selanjutnya diserahkan kepada negara sebagai uang pengganti. “Jadi karna dia (Mujianto) sudah membeli, maka uang ini wajib diserahkan kepada negara,” katanya.

Sedangkan, tanah 32 ha yang diserahkan kepada Al-Wasliyah, Jamaluddin mengaku belum mempelajari putusan MA tersebut. “Apakah itu hibah atau bagaimana, saya belum pelajari amar putusannya,” ujarnya.

Sementara, mengenai adanya warga yang telah mendiami di objek tanah eks HGU PTPN II itu, Jamaluddin mengatakan warga harus tunduk kepada PT ACR dan Al-Wasliyah selaku pemilik tanah. “Merekalah yang mempunyai hak, kalau masyarakat yang menempati itu berarti tanpa seizin dia. Jadi kalau masyarakat ingin apa, berusanlah dengan PT ACR dan Al-Wasliyah,” jelasnya.

Lebih lanjut kata Jamaluddin, pihak Tamin maupun Kejaksaan bisa melakukan upaya hukum luar biasa (Peninjauan Kembali), bila ada novum (bukti baru). “Saya tidak mengatakan ini inckrah, apakah dia (Tamin) melakukan upaya perlawanan hukum atau tidak. Kalau dia tidak melakukan upaya hukum, berarti inckrah,” pungkasnya.

Sebagaimana diketahui, dalam putusan di PN Medan, pada tanggal 27 Agustus 2018, Tamin Sukardi dijatuhi hukuman 6 tahun penjara. Dia dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi, karena telah menjual tanah yang belum dihapus dari aset negara dengan nilai lebih dari Rp132 miliar.

Perkara ini bermula pada tahun 2002, ketika terdakwa Tamin Sukardi mengetahui dari koran bahwa 106 hektare lahan yang dipakai PTPN II (Persero) di Kebun Helvetia tidak diperpanjang hak guna usaha (HGU)-nya. Dia pun berniat menguasai lahan yang berada di Pasar IV Desa Helvetia, Labuhan Deli, Deli Serdang itu berbekal 65 lembar Surat Keterangan Tentang Pembagian dan Penerimaan Tanah Sawah/Ladang (SKTPPSL).

Upaya itu dilakukan dengan Tasman Aminoto dan Misran Sasmita, mantan Karyawan PTPN II, dan Sudarsono. Mereka membayar dan mengoordinasi sejumlah warga agar mengaku sebagai pewaris hak garap di lokasi tanah dengan dikuatkan dengan bukti 65 lembar SKTPPSL yang seolah-olah diterbitkan tahun 1954. Dengan menyerahkan KTP, warga dijanjikan akan mendapatkan tanah masing-masing seluas 2 hektare.

Padahal, nama yang tertera dalam 65 lembar SKPPTSL bukanlah nama orang tua dari warga-warga itu. Mereka juga sama sekali tidak pernah memiliki tanah di lokasi itu. Selanjutnya, warga juga dikoordinasi untuk datang ke notaris. Di sana mereka menandatangani bundel dokumen berkaitan dengan tanah itu.

Pada tahun 2006, warga diakomodasi agar memberikan kuasa kepada Tasman Aminoto (Alm) untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Deliserdang. Setiap selesai persidangan, kata jaksa, warga juga singgah ke rumah Tamin di Jalan Thamrin Medan. Mereka diberi uang Rp100.000-Rp500.000 melalui Tasman Aminoto ataupun anaknya Endang.

Gugatan warga akhirnya dikabulkan pengadilan dan dikuatkan sampai Peninjauan Kembali (PK). Setelah putusan pengadilan tingkat pertama, pada tahun 2007, Tasman Aminoto melepaskan hak atas tanah itu kepada Tamin Sukardi yang menggunakan PT Erni Putera Terari (Direktur Mustika Akbar) dengan ganti rugi Rp7.000.000.000. Akta di bawah tangan kemudian didaftarkan ke Notaris Ika Asnika (waarmerking).

Kemudian, atas dasar akta di bawah tangan dan putusan tingkat pertama itu, pada 2011, PT Erni Putera Terari tanpa mengurus peralihan hak atas tanah itu dan tanpa melalui ketentuan UU Agraria, menjual 74 hektare dari 106 hektare lahan yang dikuasainya kepada Mujianto selaku Direktur PT Agung Cemara Reality sebesar Rp236.250.000.000. Namun, Mujianto baru membayar sekitar Rp132.468.197.742 kepada Tamin Sukardi. Sisanya akan dibayarkan setelah sertifikat tanah terbit.

PT Erni Putera Terari adalah milik anak-anak Tamin Sukardi. Namun Tamin yang menentukan traksaksi itu dan menerima pembayaran. Dia menjadi kuasa Mustika Akbar, Direktur Utama perusahaan itu.

Dalam persidangan, Mustika Akbar maupun Tamin tidak dapat membuktikan bahwa pembayaran berupa uang dan mobil yang telah diterima Tamin dari Mujianto, masuk dalam pembukuan perusahaan. Mobil Land Cruiser yang menjadi bagian pembayaran itu juga belum masuk menjadi aset perusahaan.

Masalahnya, status tanah yang menjadi objek jual beli antara PT Erni Putera Terari dengan PT Agung Cemara Reality masih tercatat sebagai tanah negara. Belum ada rekomendasi melepas hak negara dari Menteri BUMN yang membawahi PTPN2 atas aset itu. (man)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/