MEDAN, SUMUTPOS.CO – Wali Kota Tanjungbalai nonaktif, M Syahrial dituntut Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan pidana selama 3 tahun penjara. Dia dinilai terbukti menyuap penyidik KPK sebesar Rp1,6 miliar, dalam sidang virtual di Ruang Cakra 4 Pengadilan Tipikor Medan, Senin (30/8).
Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK dalam nota tuntutannya menyatakan, terdakwa M Syahrial terbukti melakukan korupsi secara berlanjut sebagaimana Pasal 5 ayat (1) huruf b UU RI No 31 Tahun 1999 tentang Tipikor.
sebagaimana telah diubah dengan UU RI No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHPidana.
“Menuntut supaya majelis hakim pada Pengadilan Negeri Medan, menjatuhkan terdakwa M Syahrial dengan pidana penjara selama 3 tahun denda Rp150 juta subsider 6 bulan kurungan,” ujar JPU Agus Prasetya Raharja.
JPU KPK menilai, perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi. “Sedangkan hal yang meringankan, terdakwa bersikap sopan dan berterus terang,” katanya.
Usai mendengarkan tuntutan, majelis hakim diketuai As’ad Rahim Lubis memberikan kesempatan kepada terdakwa melalui penasihat hukumnya untuk menyampaikan nota pembelaan (pledoi) pada sidang pekan depan.
Mengutip surat dakwaan, perbuatan terdakwa berawal sekitar bulan Oktober tahun 2020, dimana Wali Kota Tanjungbalai yang juga merupakan kader Partai Golongan Karya (Golkar) tersebut, berkunjung ke rumah dinas Muhammad Azis Syamsudin selaku Wakil Ketua DPR RI yang juga merupakan petinggi Partai Golkar
Pada pertemuan itu, terdakwa dan Azis Syamsudin membicarakan mengenai Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada) yang akan diikuti oleh terdakwa di Kota Tanjungbalai. Lalu Azis Syamsudin menyampaikan kepada terdakwa akan mengenalkan dengan seseorang yang dapat membantu memantau dalam proses keikutsertaan terdakwa dalam Pilkada tersebut.
Setelah terdakwa setuju, kemudian Azis Syamsudin mengenalkan Stepanus Robinson Pattuju yang merupakan seorang penyidik KPK kepada terdakwa.
Dalam perkenalan itu, terdakwa menyampaikan kepada Stepanus Robinson Pattuju akan mengikuti Pilkada periode kedua Tahun 2021 sampai dengan Tahun 2026. Namun, ada informasi laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai pekerjaan di Tanjungbalai dan informasi perkara jual beli jabatan di Pemerintahan Kota Tanjungbalai yang sedang ditangani oleh KPK.
Sehingga terdakwa meminta Stepanus Robinson Pattuju supaya membantu tidak menaikkan proses Penyelidikan perkara jual beli jabatan di Pemerintahan Kota Tanjungbalai yang melibatkan terdakwa ke tingkat Penyidikan agar proses Pilkada yang akan diikuti oleh terdakwa tidak bermasalah.
Atas permintaan terdakwa tersebut, Stepanus Robinson Pattuju bersedia membantu dan saling bertukar nomor telepon. Kemudian, Stepanus Robinson Pattuju menelpon rekannya Maskur Husain seorang advokat.
Dia menyampaikan persoalan yang diadukan terdakwa kepada Maskur. Maskur yang seorang advokat itu menyanggupi untuk membantu pengurusan perkara tersebut asalkan ada dananya sebesar Rp1,5 miliar. Permintaan ini ini disetujui Stepanus Robinson Pattuju untuk disampaikan kepada terdakwa.
Singkat cerita, terdakwa kemudian menyanggupi permintaan ini dan mengirimkan uang itu secara bertahap melalui rekening Riefka Amalia. Total pengiriman melalui rekening itu mencapai Rp1.475.000.000.
Bahwa selain pemberian uang secara transfer yang dilakukan oleh terdakwa tersebut di atas, terdakwa pada tanggal 25 Desember 2020 berlanjut menyerahkan uang tunai kepada Stepanus sejumlah Rp210.000.000. Kemudian pada awal Maret 2021, terdakwa juga menyerahkan sejumlah Rp10.000.000,00 di Bandara Kualanamu Medan. Sehingga jumlah seluruhnya Rp1.695.000.000.
Wakil Ketua KPK Diputuskan Bersalah
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar dihukum pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama setahun.
Hukuman diberikan akibat wakil ketua KPK itu terbukti melanggar etik dan pedoman perilaku lantaran menyalahgunakan pengaruh sebagai pimpinan KPK dan berkomunikasi dengan Wali Kota nonaktif Tanjungbalai M Syahrial.
Jalinan komunikasi yang dilakukan lili bertepatan ketika KPK sedang mengusut dugaan jual beli jabatan di lingkungan Pemkot Tanjungbalai yang menyeret nama Syahrial. “Menghukum terperiksa dengan sanksi berat berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan,” kata Ketua Dewas KPK Tumpak Hatarongan Panggabean saat membacakan amar putusan terhadap Lili, Senin (30/8).
Gaji pokok pimpinan KPK diatur dalam Pasal 3 PP Nomor 82 Tahun 2015 tentang Hak Keuangan, Kedudukan Protokol, Perlindungan Keamanan Pimpinan KPK. Sesuai aturan itu, gaji pokok wakil ketua di angka Rp4,62 juta, artinya hukuman pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen yaitu nilainya Rp1,84 juta saja. Namun, Lili masih menggantongi pendapatan lebih dari Rp87 juta per bulan. Berdasarkan PP 82 Tahun 2015, Wakil Ketua KPK mendapat tunjangan jabatan sebesar Rp20,4 juta dan tunjangan kehormatan sebesar Rp2,1 juta. Tak hanya itu, Pasal 4 PP yang sama menyebutkan Wakil Ketua KPK juga mendapat tunjangan fasilitas berupa tunjangan perumahan sebesar Rp34,9 juta, tunjangan transportasi sebesar Rp29,5 juta, tunjangan asuransi dan jiwa sebesar Rp16,3 juta, serta tunjangan hari tua sebesar Rp6,8 juta.
Pendapatan tersebut belum termasuk biaya perjalanan dinas. Dengan menghitung gaji pokok dan berbagai tunjangan, secara total, take home pay yang diterima Wakil Ketua KPK sebesar Rp 89,45 juta per bulan. Sementara yang dipotong Dewas hanya dari gaji pokok atau sekitar Rp 1,8 juta. Dengan demikian, Lili masih menerima sekitar Rp87,65 juta per bulan. (man/tan/jpnn)