26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Wah, Agama Boleh Dinista di Islandia

Sejumlah gereja di Islandia tidak sepakat dengan penghapusan UU Penistaan Agama.
Sejumlah gereja di Islandia tidak sepakat dengan penghapusan UU Penistaan Agama.

SUMUTPOS.CO – Parlemen Islandia telah menghapus undang-undang tentang penistaan agama, meskipun mendapatkan pertentangan dari sejumlah gereja di negara tersebut.

Sebuah aturan baru diusulkan oleh minoritas Pirate Party, yang berkampanye untuk kebebaasan internet dan data.

Usulan itu disampaikan setelah kekerasan yang terjadi di redaksi majalah satir Prancis Charlie Hebdo di Paris.

Pirate Party merupakan sebuah gerakan yang dibentuk di Swedia pada 2006 lalu, dan sejak itu menyebar ke lebih dari 60 negara.

Dalam aturan itu disebutkan “sangat penting bagi sebuah masyarakat yang bebas untuk dapat mengekspresikan diri mereka tanpa ketakutan ataupun hukuman”.

Tiga anggota Pirate Party menyampaikan sebelum parlemen pada Kamis lalu, “Je Suis Charlie” (saya Charlie), merupakan sebuah ekspresi yang digunakan secara global untuk memberikan dukungan terhadap para korban Charlie Hebdo.

Setelah parlemen memutuskan, partai itu menulis dalam blognya dengan bahasa Islandia :”Parlemen Islandia sekarang telah memperkenalkan sebuah pesan yang tidak akan menyerah terhadap serangan berdarah.”
UU Penistaan Agama telah diterapkan sejak 1940, dan semua orang yang terbukti bersalah akan dikenakan hukuman denda atau tiga bulan penjara.

SEJUMLAH GEREJA MENENTANG
Situs lembaga Pemantau Islandia menyatakan bahwa gereja mendukung perubahan tersebut, dan mengutip pernyataan mereka “setiap legislasi yang memiliki kekuatan untuk membatasi ekspresi dalam perilaku di masa modern saat ini bertentangan dengan hak asasi”.

Gereja Katolik Islandia, Gereja Pentecostal dan Gereja di provinsi bagian timur negara itu menentang perubahan.

Gereja Katolik menyampaikan komentarnya setelah RUU itu diusulkan :”Seharusnya kebebasan berekspresi yang terlalu jauh artinya bahwa identitas kepercayaan seseorang dapat dihina, kemudian kebebasan pribadi – sebagai individu atau kelompok – dirusak.”
Lembaga Ethical Humanist Association mengatakan aturan baru tersebut mencantumkan pasal untuk memastikan pelaku penyebaran kebencian akan dihukum. (BBC)

Sejumlah gereja di Islandia tidak sepakat dengan penghapusan UU Penistaan Agama.
Sejumlah gereja di Islandia tidak sepakat dengan penghapusan UU Penistaan Agama.

SUMUTPOS.CO – Parlemen Islandia telah menghapus undang-undang tentang penistaan agama, meskipun mendapatkan pertentangan dari sejumlah gereja di negara tersebut.

Sebuah aturan baru diusulkan oleh minoritas Pirate Party, yang berkampanye untuk kebebaasan internet dan data.

Usulan itu disampaikan setelah kekerasan yang terjadi di redaksi majalah satir Prancis Charlie Hebdo di Paris.

Pirate Party merupakan sebuah gerakan yang dibentuk di Swedia pada 2006 lalu, dan sejak itu menyebar ke lebih dari 60 negara.

Dalam aturan itu disebutkan “sangat penting bagi sebuah masyarakat yang bebas untuk dapat mengekspresikan diri mereka tanpa ketakutan ataupun hukuman”.

Tiga anggota Pirate Party menyampaikan sebelum parlemen pada Kamis lalu, “Je Suis Charlie” (saya Charlie), merupakan sebuah ekspresi yang digunakan secara global untuk memberikan dukungan terhadap para korban Charlie Hebdo.

Setelah parlemen memutuskan, partai itu menulis dalam blognya dengan bahasa Islandia :”Parlemen Islandia sekarang telah memperkenalkan sebuah pesan yang tidak akan menyerah terhadap serangan berdarah.”
UU Penistaan Agama telah diterapkan sejak 1940, dan semua orang yang terbukti bersalah akan dikenakan hukuman denda atau tiga bulan penjara.

SEJUMLAH GEREJA MENENTANG
Situs lembaga Pemantau Islandia menyatakan bahwa gereja mendukung perubahan tersebut, dan mengutip pernyataan mereka “setiap legislasi yang memiliki kekuatan untuk membatasi ekspresi dalam perilaku di masa modern saat ini bertentangan dengan hak asasi”.

Gereja Katolik Islandia, Gereja Pentecostal dan Gereja di provinsi bagian timur negara itu menentang perubahan.

Gereja Katolik menyampaikan komentarnya setelah RUU itu diusulkan :”Seharusnya kebebasan berekspresi yang terlalu jauh artinya bahwa identitas kepercayaan seseorang dapat dihina, kemudian kebebasan pribadi – sebagai individu atau kelompok – dirusak.”
Lembaga Ethical Humanist Association mengatakan aturan baru tersebut mencantumkan pasal untuk memastikan pelaku penyebaran kebencian akan dihukum. (BBC)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/