LOS ANGELES- Steve Jobs memang bukan musisi dan bukan produser musik. Tapi, kalau ada sosok yang bisa dianggap berjasa menyelamatkan industri musik Amerika Serikat (AS) “yang juga menjadi kiblat dunia” dari stagnasi di awal milenium ini, pria tak lulus kuliah itulah orangnya.
Sebab, tanpa toko musik digital iTunes yang didirikan Jobs pada 2003, perseteruan musisi plus produser dengan fans dan situs-situs yang menggratiskan download lagu. Produser bahkan mengancam siapa saja yang mengunduh lagu secara ilegal akan diseret ke meja hijau.
Fans menjadi mengambil jarak. Bukan karena tak doyan musik, tapi menganggap musisi dan produser sebagai entitas yang sombong. Mereka sudah demikian kaya ternyata tetap tak mau berbagi.
Di tengah-tengah suasana yang panas itulah, Jobs muncul. Dia meyakinkan label-label rekaman besar bahwa fans yang mengunduh musik itu bukan pencuri. Mereka adalah pencinta musik yang harus difasilitasi keinginannya untuk bisa mendapat lagu dari penyanyi atau band idola secara gampang dan cepat. Mereka rela membayarnya.
“Steve Jobs masuk industri musik saat semua musisi dan perusahaan rekaman angkat tangan terhadap tingkah laku fans mereka,” ujar Eric Garland, chief executive di BigChampagne.
Untuk memuluskan rencananya, Jobs rela “mengamen”, mendemonstrasikan sendiri kelebihan iTunes di hadapan musisi seperti Bono (U2) dan Jimmy Iovine, chairman label rekaman raksasa, Interscope Geffen A&M.
Gaya itu persis dengan ketika dia meyakinkan calon pembeli dan jurnalis yang menghadiri presentasi produk terbaru Apple. Determinasi pria yang kerap tampil sederhana itu mendorong kemajuan iTunes bisa dilihat saat dia meyakinkan Beatles. Pada November tahun lalu, kesepakatan akhirnya tercapai dan Beatles langsung bisa menjual 5 juta lagu hanya dalam tempo dua bulan via iTunes. iTunes pun menjadi satu-satunya tempat lagu Beatles bisa diunduh secara legal. (hep/c4/ttg/jpnn)