Pemerintah Korea Utara (Korut) meradang terhadap sanksi baru yang dijatuhkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas uji coba nuklirnya. Mereka pun mengancam akan melancarkan serangan nuklir terhadap Amerika Serikat (AS).
“Sekarang AS tengah bersiap untuk menghidupkan pencetus perang nuklir, pasukan bersenjata revolusioner kami akan melaksanakan hak serangan nuklir preemtif guna menghancurkan basis-basis para agresor,” ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Korut seperti dikutip kantor berita resmi Korut, Korean Central News Agency (KCNA).
Juru bicara itu juga mengingatkan seperti dilansir kantor berita AFP, Kamis (7/3), bahwa perang Korea babak kedua tak akan bisa hindari. Alasannya, baik AS maupun Korea Selatan (Korsel) menolak desakan Korut untuk membatalkan latihan militer gabungan. Latihan militer AS-Korsel berskala besar itu akan dimulai pekan depan.
Sebelumnya, Korut telah beberapa kali mengancam akan menyerang pasukan AS yang ditempatkan di Korsel.
Pyongyang juga berulang kali mengklaim bahwa rudal-rudal berkemampuan nuklir miliknya bisa menjangkau wilayah AS.
Sementara Dubes AS untuk PBB Susan Rice mengatakan, Korut tak akan memperoleh apa-apa dari ancaman-ancamannya itu. “Hal ini hanya akan kian mengisolasi negara tersebut dan rakyatnya dan mengganggu upaya internasional untuk mendukung perdamaian dan stabilitas di Asia,” tutur Rice.
Bahkan anggota parlemen AS dari partai Demokrat, Robert Menendez menyebut ancaman serangan nuklir Korut “yang tak masuk akal” itu berarti sama saja dengan bunuh diri.
Terkait dengan itu, dengan tegas kemarin (8/3) Pyongyang membatalkan semua perjanjian gencatan senjata yang mengakhiri Perang Korea pada 1953. Dalam sebuah pernyataan resmi pemerintah melalui televisi nasional, Korut menegaskan mencabut semua kesepakatan non-agresi, menutup akses komunikasi langsung (hotline) dengan Seoul, dan menutup jalur perbatasan antara kedua negara. Sebelumnya, Pyongyang menegaskan berhak melancarkan serangan nuklir dan menarik diri dari kesepakatan gencatan senjata yang mengakhiri Perang Korea.
Pengamat Korut dan pejabat Amerika Serikat menyatakan, kemarahan Pyongyang di bawah kepemimpinan Kim Jong-un itu membuat situasi di Semenanjung Korea semakin mengkhawatirkan dan tidak bisa diprediksi.
Pernyataan Korut tersebut dilansir kantor berita KCNA. Pyongyang menyatakan telah membatalkan semua perjanjian non-agresi dengan Selatan. Kemudian, mereka menutup jalur utama lintas perbatasan di Panmunjon dalam zona demiliterisasi.
Pyongyang juga menyatakan telah memutus saluran komunikasi langsung atau hotline yang menghubungkan Utara-Selatan. Korut menyatakan, tidak ada yang perlu dibicarakan dengan “negara boneka pengkhianat”.
Hotline tersebut dipasang pada 1971 dan digunakan sebagai alat komunikasi langsung di tengah ketegangan antara kedua negara. Selain itu, hotline dipakai untuk mengoordinasi jalur perpindahan warga dan pengiriman barang melalui zona demiliterisasi.
Presiden Korea Selatan Park Geun-hye yang baru dilantik akhir bulan lalu menegaskan kemarin bahwa Seoul akan merespons keras provokasi Pyongyang. Menurut kantor berita Yonhap, Park menjamin keselamatan rakyat Korsel dari ancaman negeri rivalnya itu.
Dalam beberapa pekan ke depan sangat mungkin terjadi gesekan. Prediksi tersebut disampaikan Pusat Studi Strategi dan Internasional yang bermarkas di Washington. Mereka menyebutkan, aksi provokasi dari Korut bisa jadi dilakukan dalam waktu dekat.
Dalam sebuah gambar siaran televisi nasional Korut, Jong-un tampak menginspeksi unit pasukan di wilayah terdepan yang pernah terlibat dalam penyerangan ke sebuah pulau Korsel pada 2010. Laporan itu menyebutkan, Jong-un menyerukan kepada tentara untuk bersiaga “menghancurkan musuh” setiap saat.
Kedua Korea telah mencapai sejumlah kesepakatan selama bertahun-tahun. Salah satunya terkait dengan penyelesaian sengketa dan menghindari perselisihan militer pada 1991. Namun, pernyataan Korut kemarin tidak menyebutkan kesepakatan mana yang dibatalkan.
BBC melansir, Korut pernah melanggar kesepakatan antara kedua negara dan menarik diri dari gencatan senjata. Itu tidak berarti perang akan terjadi. Namun, itu menjadi sinyal bahwa situasi di Semenanjung Korea bakal semakin tidak stabil dan tidak bisa diprediksi.
Sementara itu, dengan memutus hotline dengan Korsel, berarti akan lebih sering terjadi kesalahpahaman yang bisa berbuntut perang. (cak/c5/ami/jpnn)