25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Keamanan Ketat Usik Gaya Hidup dan Kenyamanan Warga

10 Tahun Amerika Serikat Dibayangi Trauma Tragedi 9/11

Pada 2002, setahun pascatragedi 9/11, di Lax Los Angeles International Airport, petugas imigrasi menyapa dengan rasa curiga. “What you do in US?” Tetapi, Rabu lalu (7/9) petugas imigrasi di Seattle Tacoma International Airport menyapa saya dengan keramahan. “How are you?”

SUHENDRO BOROMA, Seattle

SEMINGGU sebelum peringatan setahun tragedi 9/11 di Amerika Serikat (AS), petugas imigrasi di Lax Los Angeles International Airport tak cukup menyapa saya dengan rasa curiga. Dia juga membawa saya ke tempat khusus yang saat  itu berisi mayoritas orang Asia, termasuk beberapa warga Indonesia.

Beberapa orang sudah diborgol. Saya duduk berdampingan dengan orang-orang yang sebagian besar berkulit kuning dan sawo matang yang diborgol tersebut. Orang-orang itu siap dideportasi karena tidak lolos di tahap special registration.

Setelah 2,5 jam menunggu, akhirnya saya diwawancarai secara detail selama 30 menit. Meski hati berdebar begitu melihat tatapan petugas yang penuh curiga, hasilnya, saya lolos di tahap special registration tersebut. “Good luck,” kata petugas.

Nah, empat hari sebelum peringatan sepuluh tahun tragedi 9/11, saya kembali ke AS. Saya sangat tertegun gembira saat disapa “How are you?” oleh petugas imigrasi di Seattle Tacoma International Airport (Seatec). Di sana, mereka hanya mengajukan tujuh pertanyaan secara ramah, lalu memberikan stempel paspor dengan wajah ceria serta mengembalikan paspor sambil tersenyum dan berujar, “Enjoy your trip.” Mungkin paspor saya sudah dinyatakan “bersih diri”.

Sapaan “How are you?” membuat perasaan berdebar-debar saya hilang. Senyum petugas berpostur kekar itu membuat rasa gundah saya lenyap seketika. Maklum, saat masuk ke bandara-bandara di AS, prosedur belum berubah. Saya sangat takut untuk melewati prosedur tersebut. Apalagi, sepatu, ikat pinggang, jam tangan, dompet, laptop, kacamata, handphone, kamera, dan semua barang harus dikeluarkan dari tas. Karena itu, saking leganya, ketika petugas menyerahkan paspor, saya benar-benar merasa sebagai orang tercepat yang melewati pemeriksaan di imigrasi.
Apa yang saya alami ternyata juga dirasakan warga AS. Sepuluh tahun setelah 9/11, publik Paman Sam mempertanyakan keberadaan Transportation Security Authorization (TSA) dan Department of Homeland Security, departemen yang membawahkan imigrasi, bea cukai, dan border cross area (lintas perbatasan). Itu merupakan sebuah departemen yang lahir setelah serangan teroris terhadap gedung kembar World Trade Center (WTC) di Lower Manhattan, New York, 11 September 2011.

Sejak itu pula semua prosedur masuk dan keluar AS berubah, sangat ketat. Di immigration form dan custom form, tulisan Department of Justice sudah hilang. Tak ada lagi tulisan Departemen Keuangan di formulir bea cukai. Di bagian atasnya ditulisi (dengan tujuan yang sangat jelas): Homeland Security and Border Protection.

Belakangan, melalui acara debat di senat AS bertajuk Terrorism and Homeland Security, departemen pengelola imigrasi itu disorot tajam karena AS sekarang sedang memulihkan sektor ekonomi, tidak lagi berfokus ke keamanan. Bahkan, Homeland Security itu sempat dianggap salah satu pos yang memberatkan keuangan negara karena menyedot banyak anggaran.

Saat AS sedang dilanda ancaman krisis ekonomi tahap kedua seperti sekarang, semua pos biaya mahal dikuliti. Tahun lalu, media gencar mengkritik departemen itu terlalu boros. Mereka menilai pemerintah tidak lagi bisa membiayai setiap orang yang masuk bandara (ongkos prosedur keamanan ketat), membuang banyak waktu menghasilkan uang, hingga ketidaknyamanan setiap turis. “Panik yang tidak penting,” judul USA Today beberapa waktu lalu.

Koran bergengsi AS itu merujuk prosedur keamanan ketat tersebut yang ternyata juga diberlakukan di tempat lain. Mereka yang sebelum 11 September 2001 sama sekali tak berurusan atau berhubungan dengan pihak keamanan kini dibuat repot saat masuk bandara, kantor-kantor pemerintah, tempat umum, atau pertemuan-pertemuan di hotel.

Bahkan, kata Jim Grossman, presiden Asosiasi Sejarah Amerika, tragedi 9/11 telah mengubah ritme kehidupan setiap hari warga AS.

Banyak hal yang berubah di AS setelah tragedi 9/11. Hajatan-hajatan tahunan seperti Festival Musim Dingin, pertandingan football, atau kongres organisasi profesi ditunda gara-gara kerisauan terhadap serangan teroris. Orang-orang yang pergi ke basement, anak-anak ke sekolah, pergi ke supermarket, serta nonton bioskop, konser, atau teater harus melalui prosedur tertentu yang sebelumnya tak pernah ada.

Ada fase ketika anak-anak pergi ke sekolah merupakan tindakan pemberani dan naik pesawat sama dengan pilihan heroik. Pascatragedi 9/11, tingkat kewaspadaan nasional dan perasaan nasionalisme warga AS meningkat tajam. Tapi, itu juga “dibayar” dengan kepanikan yang meningkat dahsyat, kenyamanan terhadap hak-hak individu berkurang, dan munculnya sejumlah kasus diskriminasi terhadap warga muslim AS.

USA Today dan Gallup Poll melakukan polling dengan pertanyaan (setelah 10 tahun tragedi 9/11) apakah teroris menang” Sebanyak 3/4 warga AS menjawab tidak. Mereka beralasan, pascatragedi 9/11, AS memang berhasil menangani semua celah ancaman dan aksi teroris, ekonomi bisa pulih, Osama bin Laden dan pengikutnya sudah ditembak atau dipenjara, Ground Zero (istilah untuk reruntuhan WTC) sudah dibangun kembali, patriotisme warga AS meningkat, dan perasaan nasionalisme bangsa Amerika naik berlipat.

Tapi, kenyamanan dan hak-hak individu berkurang tajam. AS juga mengeluarkan banyak biaya untuk berperang. “Security AS hanya mengubah sikap dan gaya hidup warga Amerika,” tulis USA Today.
Pihak itu menyebutkan, pascatragedi 9/11, yang dikategorikan “ancaman teroris” telah berevolusi dalam cara pandang warga dan pemerintah AS.

Karena itu, hanya 17 persen responden yang menjawab teroris menang. Mayoritas justru merasa kenyamanannya tersandera. Mayoritas warga AS berpendapat bahwa teroris telah dikalahkan. Tapi, mereka juga mengingatkan, “setiap memperingati tragedi 9/11 seperti memperingati kemenangan teroris”.

Lihat saja, ada sejumlah acara peringatan tragedi 9/11 yang dilakukan setiap tahunnya. Sabtu 10/11 (tadi malam waktu WIB) ada peringatan di Flight 93 National Memorial, Shanksville, Piennsylvania. Acara yang mulai pukul 12.30 itu dijadwalkan dihadiri mantan Presiden George W. Bush, Wapres Joe Biden, dan Gubernur Pennsylvania Tom Corbett.

Minggu, 11 September pukul 9.30 (nanti malam waktu WIB), ada acara di The Pentagon Memorial, Arlington, Virginia. Wapres Joe Biden dan Menteri Pertahanan Leon Panetta dijadwalkan hadir. Puncak acara peringatan tragedi 9/11 dilakukan di National September 11 Memorial, Ground Zero, New York. Dimulai pukul 8.30 (nanti malam WIB), acara tersebut dipimpin Presiden Barack Obama dan dihadiri mantan Presiden George W. Bush, Wali Kota New York Michael Bloomberg, serta mantan Wali Kota Rudy Giuliani.

Tahun ini, puncak peringatan jatuh pada Minggu, hari libur di seluruh dunia. USA Today edisi 8 September 2011 menurunkan hasil polling terhadap pertanyaan: apakah 11 September dijadikan hari libur” Sebanyak 51 persen responden menjawab yes dan 49 persen menjawab no. Jawaban yang secara statistik sama saja. Dengan tingkat kepercayaan 99 persen, atau margin error 1 persen (taraf signifikansi yang sulit dalam survei sosial), 52 persen orang bisa menjawab yes dan 48 persen menjawab no. Tapi, ada juga peluang 50 persen menjawab yes dan 50 persen menjawab no.
“Setelah sepuluh tahun tragedi 9/11, bangsa Amerika masih trauma. Setidaknya masih ambigu. Tapi, sejarah juga banyak membuktikan: Amerika selalu bisa keluar dari berbagai masalah,” analisis USA Today dari polling itu.

Tapi, taruhannya, ancaman terorisme akan menjadi “virus” yang memaksa mengubah gaya hidup masyarakat AS. Diperlukan “hard war” dan “soft war” sekaligus dengan berbagai strategi dan taktik.
Kapan perang itu berakhir” Belum ada yang tahu. Editorial USA Today edisi 9 September 2011 menutup ulasannya dengan kalimat: “In the battle against the ideology and fanatics responsible for 9/11, we know we are winning, but it will be hard to know when have won”. (*/c11/c5/iro/jpnn)

10 Tahun Amerika Serikat Dibayangi Trauma Tragedi 9/11

Pada 2002, setahun pascatragedi 9/11, di Lax Los Angeles International Airport, petugas imigrasi menyapa dengan rasa curiga. “What you do in US?” Tetapi, Rabu lalu (7/9) petugas imigrasi di Seattle Tacoma International Airport menyapa saya dengan keramahan. “How are you?”

SUHENDRO BOROMA, Seattle

SEMINGGU sebelum peringatan setahun tragedi 9/11 di Amerika Serikat (AS), petugas imigrasi di Lax Los Angeles International Airport tak cukup menyapa saya dengan rasa curiga. Dia juga membawa saya ke tempat khusus yang saat  itu berisi mayoritas orang Asia, termasuk beberapa warga Indonesia.

Beberapa orang sudah diborgol. Saya duduk berdampingan dengan orang-orang yang sebagian besar berkulit kuning dan sawo matang yang diborgol tersebut. Orang-orang itu siap dideportasi karena tidak lolos di tahap special registration.

Setelah 2,5 jam menunggu, akhirnya saya diwawancarai secara detail selama 30 menit. Meski hati berdebar begitu melihat tatapan petugas yang penuh curiga, hasilnya, saya lolos di tahap special registration tersebut. “Good luck,” kata petugas.

Nah, empat hari sebelum peringatan sepuluh tahun tragedi 9/11, saya kembali ke AS. Saya sangat tertegun gembira saat disapa “How are you?” oleh petugas imigrasi di Seattle Tacoma International Airport (Seatec). Di sana, mereka hanya mengajukan tujuh pertanyaan secara ramah, lalu memberikan stempel paspor dengan wajah ceria serta mengembalikan paspor sambil tersenyum dan berujar, “Enjoy your trip.” Mungkin paspor saya sudah dinyatakan “bersih diri”.

Sapaan “How are you?” membuat perasaan berdebar-debar saya hilang. Senyum petugas berpostur kekar itu membuat rasa gundah saya lenyap seketika. Maklum, saat masuk ke bandara-bandara di AS, prosedur belum berubah. Saya sangat takut untuk melewati prosedur tersebut. Apalagi, sepatu, ikat pinggang, jam tangan, dompet, laptop, kacamata, handphone, kamera, dan semua barang harus dikeluarkan dari tas. Karena itu, saking leganya, ketika petugas menyerahkan paspor, saya benar-benar merasa sebagai orang tercepat yang melewati pemeriksaan di imigrasi.
Apa yang saya alami ternyata juga dirasakan warga AS. Sepuluh tahun setelah 9/11, publik Paman Sam mempertanyakan keberadaan Transportation Security Authorization (TSA) dan Department of Homeland Security, departemen yang membawahkan imigrasi, bea cukai, dan border cross area (lintas perbatasan). Itu merupakan sebuah departemen yang lahir setelah serangan teroris terhadap gedung kembar World Trade Center (WTC) di Lower Manhattan, New York, 11 September 2011.

Sejak itu pula semua prosedur masuk dan keluar AS berubah, sangat ketat. Di immigration form dan custom form, tulisan Department of Justice sudah hilang. Tak ada lagi tulisan Departemen Keuangan di formulir bea cukai. Di bagian atasnya ditulisi (dengan tujuan yang sangat jelas): Homeland Security and Border Protection.

Belakangan, melalui acara debat di senat AS bertajuk Terrorism and Homeland Security, departemen pengelola imigrasi itu disorot tajam karena AS sekarang sedang memulihkan sektor ekonomi, tidak lagi berfokus ke keamanan. Bahkan, Homeland Security itu sempat dianggap salah satu pos yang memberatkan keuangan negara karena menyedot banyak anggaran.

Saat AS sedang dilanda ancaman krisis ekonomi tahap kedua seperti sekarang, semua pos biaya mahal dikuliti. Tahun lalu, media gencar mengkritik departemen itu terlalu boros. Mereka menilai pemerintah tidak lagi bisa membiayai setiap orang yang masuk bandara (ongkos prosedur keamanan ketat), membuang banyak waktu menghasilkan uang, hingga ketidaknyamanan setiap turis. “Panik yang tidak penting,” judul USA Today beberapa waktu lalu.

Koran bergengsi AS itu merujuk prosedur keamanan ketat tersebut yang ternyata juga diberlakukan di tempat lain. Mereka yang sebelum 11 September 2001 sama sekali tak berurusan atau berhubungan dengan pihak keamanan kini dibuat repot saat masuk bandara, kantor-kantor pemerintah, tempat umum, atau pertemuan-pertemuan di hotel.

Bahkan, kata Jim Grossman, presiden Asosiasi Sejarah Amerika, tragedi 9/11 telah mengubah ritme kehidupan setiap hari warga AS.

Banyak hal yang berubah di AS setelah tragedi 9/11. Hajatan-hajatan tahunan seperti Festival Musim Dingin, pertandingan football, atau kongres organisasi profesi ditunda gara-gara kerisauan terhadap serangan teroris. Orang-orang yang pergi ke basement, anak-anak ke sekolah, pergi ke supermarket, serta nonton bioskop, konser, atau teater harus melalui prosedur tertentu yang sebelumnya tak pernah ada.

Ada fase ketika anak-anak pergi ke sekolah merupakan tindakan pemberani dan naik pesawat sama dengan pilihan heroik. Pascatragedi 9/11, tingkat kewaspadaan nasional dan perasaan nasionalisme warga AS meningkat tajam. Tapi, itu juga “dibayar” dengan kepanikan yang meningkat dahsyat, kenyamanan terhadap hak-hak individu berkurang, dan munculnya sejumlah kasus diskriminasi terhadap warga muslim AS.

USA Today dan Gallup Poll melakukan polling dengan pertanyaan (setelah 10 tahun tragedi 9/11) apakah teroris menang” Sebanyak 3/4 warga AS menjawab tidak. Mereka beralasan, pascatragedi 9/11, AS memang berhasil menangani semua celah ancaman dan aksi teroris, ekonomi bisa pulih, Osama bin Laden dan pengikutnya sudah ditembak atau dipenjara, Ground Zero (istilah untuk reruntuhan WTC) sudah dibangun kembali, patriotisme warga AS meningkat, dan perasaan nasionalisme bangsa Amerika naik berlipat.

Tapi, kenyamanan dan hak-hak individu berkurang tajam. AS juga mengeluarkan banyak biaya untuk berperang. “Security AS hanya mengubah sikap dan gaya hidup warga Amerika,” tulis USA Today.
Pihak itu menyebutkan, pascatragedi 9/11, yang dikategorikan “ancaman teroris” telah berevolusi dalam cara pandang warga dan pemerintah AS.

Karena itu, hanya 17 persen responden yang menjawab teroris menang. Mayoritas justru merasa kenyamanannya tersandera. Mayoritas warga AS berpendapat bahwa teroris telah dikalahkan. Tapi, mereka juga mengingatkan, “setiap memperingati tragedi 9/11 seperti memperingati kemenangan teroris”.

Lihat saja, ada sejumlah acara peringatan tragedi 9/11 yang dilakukan setiap tahunnya. Sabtu 10/11 (tadi malam waktu WIB) ada peringatan di Flight 93 National Memorial, Shanksville, Piennsylvania. Acara yang mulai pukul 12.30 itu dijadwalkan dihadiri mantan Presiden George W. Bush, Wapres Joe Biden, dan Gubernur Pennsylvania Tom Corbett.

Minggu, 11 September pukul 9.30 (nanti malam waktu WIB), ada acara di The Pentagon Memorial, Arlington, Virginia. Wapres Joe Biden dan Menteri Pertahanan Leon Panetta dijadwalkan hadir. Puncak acara peringatan tragedi 9/11 dilakukan di National September 11 Memorial, Ground Zero, New York. Dimulai pukul 8.30 (nanti malam WIB), acara tersebut dipimpin Presiden Barack Obama dan dihadiri mantan Presiden George W. Bush, Wali Kota New York Michael Bloomberg, serta mantan Wali Kota Rudy Giuliani.

Tahun ini, puncak peringatan jatuh pada Minggu, hari libur di seluruh dunia. USA Today edisi 8 September 2011 menurunkan hasil polling terhadap pertanyaan: apakah 11 September dijadikan hari libur” Sebanyak 51 persen responden menjawab yes dan 49 persen menjawab no. Jawaban yang secara statistik sama saja. Dengan tingkat kepercayaan 99 persen, atau margin error 1 persen (taraf signifikansi yang sulit dalam survei sosial), 52 persen orang bisa menjawab yes dan 48 persen menjawab no. Tapi, ada juga peluang 50 persen menjawab yes dan 50 persen menjawab no.
“Setelah sepuluh tahun tragedi 9/11, bangsa Amerika masih trauma. Setidaknya masih ambigu. Tapi, sejarah juga banyak membuktikan: Amerika selalu bisa keluar dari berbagai masalah,” analisis USA Today dari polling itu.

Tapi, taruhannya, ancaman terorisme akan menjadi “virus” yang memaksa mengubah gaya hidup masyarakat AS. Diperlukan “hard war” dan “soft war” sekaligus dengan berbagai strategi dan taktik.
Kapan perang itu berakhir” Belum ada yang tahu. Editorial USA Today edisi 9 September 2011 menutup ulasannya dengan kalimat: “In the battle against the ideology and fanatics responsible for 9/11, we know we are winning, but it will be hard to know when have won”. (*/c11/c5/iro/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/