No Fly Zone Belum Sepakat
AJDABIYA – Bentrok loyalis Muammar Kadhafi dan pemberontak alias gerilyawan prodemokrasi terus terjadi. Hingga, Selasa (15/3), pertempuran sengit masih terjadi di Kota Ajdabiya. Beberapa bentrok juga muncul di kota-kota wilayah timur Libya. Sementara, negara-negara G8 tetap terbelah soal larangan terbang (no fly zone) untuk Libya.
Sejak Senin lalu (14/3), pasukan pro-Kadhafi telah merapatkan barisan ke kota vital gerilyawan prodemokrasi itu. Dengan senjata canggih dan keterampilan militernya, pasukan yang loyal terhadap pemimpin berjuluk Brotherly Leader itu membombardir kantong-kantong gerilyawan. Tapi, gerilyawan tak tinggal diam. Meski sempat terpukul mundur sejauh 200 kilometer, mereka berjuang keras merebut Ajdabiya lagi.
Ajdabiya yang hanya berjarak 170 kilometer dari Kota Benghazi, memang menjadi titik strategis gerilyawan Libya. Selain jaraknya yang tak terlalu jauh dari Benghazi—basis gerilyawan—, kota tersebut juga dekat dengan kota pelabuhan Tobruk dan perbatasan Mesir. Dari Ajdabiya, gerilyawan bisa mengakses kota-kota penting Libya sekaligus menyusun strategi perlawanan.
Selain Ajdabiya, beberapa kota lain di wilayah timur Libya juga berubah menjadi medan tempur. Keberhasilan gerilyawan prodemokrasi merebut kembali Kota Bregga setelah sempat dikuasai pasukan pro-Kadhafi, mengobarkan semangat perlawanan di kota-kota lain. Apalagi, mereka juga mampu bertahan di kawasan timur Kota Zawiya setelah dibombardir pasukan pemerintah.
Bentrok di Zawiya berakhir dengan terbelahnya kota tersebut. Sisi timur dikuasai gerilyawan dan sisi barat dikuasai pasukan pro-Kadhafi. Tapi, sejumlah tank dan senjata tempur militer pemerintah disiagakan di alun-alun yang berada di pusat kota, untuk merepresi gerilyawan.
“Alun-alun kota benar-benar telah hancur. Sebagian besar penduduk juga mengungsi,” kata Salem Ganu, seorang gerilyawan. Pasang surut perlawanan gerilyawan Libya itu justru membuat Kadhafi, yang didukung pasukan terampil bersenjata lengkap, semakin ngotot bertahan.
“Mereka (gerilyawan) tak punya harapan. Hanya ada dua opsi yang bisa mereka pilih. Yakni, menyerah atau melarikan diri,” tandas pemimpin 68 tahun itu dalam wawancara dengan harian Italia Il Giornale seperti dilansir AFP kemarin. Sementara itu, negara-negara Barat yang tergabung dalam G8 juga tak kunjung menyepakati larangan terbang untuk Libya. Kondisi yang sama dialami Dewan Keamanan (DK) PBB.
Selain Prancis dan Inggris, negara-negara lainnya ragu menerapkan larangan terbang tersebut. “Sejauh ini, saya belum bisa meyakinkan mereka untuk menerapkan opsi tersebut,” kata Menteri Luar Negeri Prancis Alain Juppe.
Utusan khusus Rusia di PBB, Vitaly Churkin, menyatakan bahwa usulan untuk menerapkan larangan terbang bagi Libya masih belum jelas.
“Jika nantinya larangan terbang diberlakukan, apa implementasinya” Dan, bagaimana menerapkannya” katanya sebagaimana dilansir Associated Press. Tapi, menurut dia, Moskow akan dengan senang hati mendukung opsi itu jika memang selaras dengan keinginan masyarakat global. (hep/dos/jpnn)