26 C
Medan
Monday, July 8, 2024

Ada Jejak Racun di Kematian Arafat

Yasser Arafat
Yasser Arafat

PARIS – Misteri kematian mantan Presiden Palestina Yasser Arafat semakin jelas. Tim ahli radiasi asal Swiss memastikan bahwa mereka sudah menemukan jejak zat polonium di pakaian tokoh yang meninggal pada 2004 tersebut. Temuan itu mendukung dugaan bahwa mantan pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) tersebut tewas diracun.
Dalam sebuah laporan yang dipublikasikan sebuah jurnal medis, The Lancet, akhir pekan lalu, tim memaparkan bukti ilmiah yang mendukung pernyataan pers pada 2012. Saat itu mereka menyatakan menemukan polonium di sejumlah benda milik Arafat.
Arafat wafat di Prancis, 11 November 2004, saat berusia 75 tahun. Namun, dokter tidak bisa memastikan penyebab kematian Arafat. Selain itu, otopsi tidak dilakukan saat itu sejalan dengan permohonan istrinya.
Delapan bulan kemudian, makamnya digali dan sejumlah sampel pun diambil. Tujuannya, memastikan penyebab kematian Arafat apakah diracun atau tidak. Kecurigaan tersebut muncul setelah kasus pembunuhan terhadap mantan agen intelijen Rusia yang berubah menjadi aktivis oposisi Kremlin, Alexander Litvinenko, pada 2006. Kematiannya juga disebabkan zat polonium.
Penyelidikan kematian Afarat terus berlanjut dan dilakukan secara terpisah oleh tim dari Prancis, Swiss, dan Rusia. Dalam laporan The Lancet, delapan ahli yang bekerja di Institute of Radiation Physics dan University Centre of Legal Medicine di Lausanne menyatakan, uji radiologi sudah dilakukan pada 75 sampel. Sebanyak 38 sampel berasal dari barang Arafat. Termasuk pakaian dalam, sorban atau shapka, penutup kepala rumah sakit, dan pakaian olahraga. Semua benda tersebut diberikan Suha, janda Arafat.
Kemudian, hasilnya dicocokkan dengan 37 sampel referensi berupa pakaian katun yang disimpan di ruang atas tempat tinggal Arafat dan terlindungi dari debu selama sepuluh tahun. ’’Beberapa sampel (darah dan urin) mengandung zat polonium 210,’’ tulis laporan tersebut. ’’Temuan tersebut mendukung dugaan bahwa Arafat diracun dengan polonium 210,’’ tambahnya.
Selain itu, laporan tersebut menegaskan bahwa gejala klinis yang diderita Arafat tidak serta-merta mematahkan dugaan bahwa kematiannya disebabkan racun. Gejalanya mual, muntah, kelelahan, dan sakit perut.
Tim ahli mengaku kecewa karena tidak ada otopsi saat meninggalnya Arafat. ’’Otopsi akan sangat berguna dalam kasus itu, meski zat polonium mungkin tidak ditemukan. Namun, sampel tubuh bisa disimpan dan diuji setelahnya,’’ ungkap tim ahli.
Pada 3 Juli 2012, salah satu penulis, Francois Bochud, yang juga kepala Institute of Radiation Physics kepada Al Jazeera menyatakan bahwa tim menemukan polonium dalam jumlah besar di barang-barang milik Arafat. ’’Jika Suha benar-benar ingin mengetahui apa yang terjadi pada suaminya, kami perlu beberapa sampel. Maksudnya, menggali kembali makam almarhum,’’ jelasnya.
Beatrice Schaad, kepala bidang komunikasi Vaudois University Hospital Centre (CHUV), yang menjadi juru bicara institut tersebut, mengungkapkan bahwa laporan kasus itu merupakan versi ilmiah dari pernyataan ke media setahun lalu. (AFP/cak/c15/dos)

Yasser Arafat
Yasser Arafat

PARIS – Misteri kematian mantan Presiden Palestina Yasser Arafat semakin jelas. Tim ahli radiasi asal Swiss memastikan bahwa mereka sudah menemukan jejak zat polonium di pakaian tokoh yang meninggal pada 2004 tersebut. Temuan itu mendukung dugaan bahwa mantan pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) tersebut tewas diracun.
Dalam sebuah laporan yang dipublikasikan sebuah jurnal medis, The Lancet, akhir pekan lalu, tim memaparkan bukti ilmiah yang mendukung pernyataan pers pada 2012. Saat itu mereka menyatakan menemukan polonium di sejumlah benda milik Arafat.
Arafat wafat di Prancis, 11 November 2004, saat berusia 75 tahun. Namun, dokter tidak bisa memastikan penyebab kematian Arafat. Selain itu, otopsi tidak dilakukan saat itu sejalan dengan permohonan istrinya.
Delapan bulan kemudian, makamnya digali dan sejumlah sampel pun diambil. Tujuannya, memastikan penyebab kematian Arafat apakah diracun atau tidak. Kecurigaan tersebut muncul setelah kasus pembunuhan terhadap mantan agen intelijen Rusia yang berubah menjadi aktivis oposisi Kremlin, Alexander Litvinenko, pada 2006. Kematiannya juga disebabkan zat polonium.
Penyelidikan kematian Afarat terus berlanjut dan dilakukan secara terpisah oleh tim dari Prancis, Swiss, dan Rusia. Dalam laporan The Lancet, delapan ahli yang bekerja di Institute of Radiation Physics dan University Centre of Legal Medicine di Lausanne menyatakan, uji radiologi sudah dilakukan pada 75 sampel. Sebanyak 38 sampel berasal dari barang Arafat. Termasuk pakaian dalam, sorban atau shapka, penutup kepala rumah sakit, dan pakaian olahraga. Semua benda tersebut diberikan Suha, janda Arafat.
Kemudian, hasilnya dicocokkan dengan 37 sampel referensi berupa pakaian katun yang disimpan di ruang atas tempat tinggal Arafat dan terlindungi dari debu selama sepuluh tahun. ’’Beberapa sampel (darah dan urin) mengandung zat polonium 210,’’ tulis laporan tersebut. ’’Temuan tersebut mendukung dugaan bahwa Arafat diracun dengan polonium 210,’’ tambahnya.
Selain itu, laporan tersebut menegaskan bahwa gejala klinis yang diderita Arafat tidak serta-merta mematahkan dugaan bahwa kematiannya disebabkan racun. Gejalanya mual, muntah, kelelahan, dan sakit perut.
Tim ahli mengaku kecewa karena tidak ada otopsi saat meninggalnya Arafat. ’’Otopsi akan sangat berguna dalam kasus itu, meski zat polonium mungkin tidak ditemukan. Namun, sampel tubuh bisa disimpan dan diuji setelahnya,’’ ungkap tim ahli.
Pada 3 Juli 2012, salah satu penulis, Francois Bochud, yang juga kepala Institute of Radiation Physics kepada Al Jazeera menyatakan bahwa tim menemukan polonium dalam jumlah besar di barang-barang milik Arafat. ’’Jika Suha benar-benar ingin mengetahui apa yang terjadi pada suaminya, kami perlu beberapa sampel. Maksudnya, menggali kembali makam almarhum,’’ jelasnya.
Beatrice Schaad, kepala bidang komunikasi Vaudois University Hospital Centre (CHUV), yang menjadi juru bicara institut tersebut, mengungkapkan bahwa laporan kasus itu merupakan versi ilmiah dari pernyataan ke media setahun lalu. (AFP/cak/c15/dos)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/