Pasukan Pertahanan Israel (IDF) meningkatkan intensitas serangan udara di Jalur Gaza. Itu terjadi karena Hamas menolak wacana gencatan senjata yang digagas Mesir dan disepakati Israel. Kemarin (16/7) IDF mengimbau sekitar 100 ribu penduduk Kota Gaza meninggalkan rumah. Sebab, IDF bakal kembali melancarkan serangan. Namun, warga Gaza menyatakan siap mati di tanah mereka.
GAZA-“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” terang Hamas dalam selebaran yang mereka sebar luaskan kemarin.
Menurut Hamas, Israel berusaha menekan warga Gaza secara psikologi melalui peringatan evakuasi tersebut. Mereka berjanji melindungi warga sehingga tidak perlu mengungsi.
Agresi IDF atas Gaza memasuki hari ke-9 kemarin. Sejauh ini, tidak kurang dari 208 nyawa warga Palestina melayang karena serangan udara Israel. Sebagian besar di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Kendati demikian, warga sipil Gaza lebih mendengarkan imbauan Hamas daripada IDF. “Saya tidak akan pergi dari sini, apa pun yang terjadi,” ujar Faisal Hassan, penduduk Gaza.
Pesawat-pesawat militer Israel menjatuhkan sedikitnya 100 ribu selebaran di sisi timur laut Gaza. Tepatnya di Distrik Zeitun dan Distrik Shejaiya di timur Kota Gaza serta Kota Beit Lahiya. Dalam selebaran-selebaran itu, IDF mengimbau warga mengungsi ke lokasi lain yang lebih aman. Sebab, IDF bakal menggempur sarang-sarang militan di tiga titik tersebut.
Selain selebaran, warga Gaza menerima peringatan IDF melalui SMS dan telepon. Dalam peringatan audio yang direkam sebelumnya, IDF meminta warga Gaza meninggalkan rumah mereka dan tidak kembali sebelum ada petunjuk lebih lanjut. “Kami menerbitkan peringatan kepada masyarakat (Gaza) agar mereka mengungsi dan tidak menjadi korban,” ujar Presiden Israel Shimon Peres.
Menurut Peres, Hamaslah yang membuat warga sipil Gaza menderita. Sebab, mereka tetap berpegang pada prinsip kekerasan dan tidak mau berdamai dengan Israel. Selasa (15/7), setelah menolak gencatan senjata, Hamas dan militan-militan Gaza melanjutkan serangan roket ke Israel. Akibatnya, IDF pun menyarangkan roket dan rudal ke sekitar 40 titik di Gaza.
Dalam serangan Selasa malam tersebut, IDF menegaskan bahwa target aksi udara mereka adalah rumah para militan dan pejabat senior Hamas. Itu mereka lakukan setelah militan Gaza menembakkan sekitar 1.200 roket ke Israel. Beberapa di antaranya konon menghantam sejumlah lokasi di dekat Kota Tel Aviv. Untuk kali pertama, roket Hamas menewaskan seorang warga Israel.
“Israel tidak mempunyai pilihan kecuali melanjutkan aksi militer bahkan meningkatkan intensitasnya,” ungkap Giora Eiland, mantan penasihat keamanan nasional Israel. Tetapi, menurut dia, rencana untuk melancarkan serangan darat harus dipertimbangkan lagi. Sebab, satu-satunya cara untuk menghancurkan terowongan bawah tanah Hamas itu juga akan merenggut banyak nyawa warga sipil.
Di sisi lain, seorang profesor Norwegia, Mads Gilbert Frederick, sangat terkejut saat memeriksa korban meninggal dan terluka yang terus berdatangan ke rumah sakit Shifa di Gaza. “Ini mengerikan, menyedihkan, dan tidak bisa dipercaya. Ini adalah pembunuhan massal berencana. Ini adalah pembantaian manusia,” ujarnya saat berjalan di unit perawatan intensif rumah sakit.
Dalam sebuah wawancara dengan kantor berita Safa, Gilbert mengatakan bahwa dalam serangan yang sudah berlangsung selama satu minggu ini, Israel sengaja menggunakan senjata pemusnah yang dilarang secara internasional.
“Bom Israel menyebabkan luka yang tidak bisa langsung dilihat melalui Sinar X. Lalu setelah beberapa waktu, luka tersebut mulai berdarah. Bahan yang digunakan dalam bom-bom ini tidak umum, sehingga para dokter tidak bisa menyembuhkan bagian-bagian yang terluka. Dalam beberapa kasus, dokter terpaksa mengamputasi mereka,” kata Gilbert.
Gilbert tiba di Gaza pada hari Kamis melalui pintu Rafah setelah penjajah melarang ia masuk dari perbatasan Beit Hanoun/Erez. Dokter bedah Norwegia ini telah beberapa kali datang ke Gaza, terakhir adalah saat serangan penjajah ke Gaza tahun 2012.
Gilbert mengatakan bahwa kunjungannya ke Gaza ini terasa berbeda. “Seluruh penjuru Gaza menjadi target militer dari jet-jet tempur penjajah. Tidak ada tempat yang aman di sini. Di semua tempat terdengar serangan-serangan udara, terlihat kecemasan dan ketakutan di wajah seluruh orang dan anak-anak,” jelasnya.
“Mesin media Israel terus membuat propaganda bahwa mereka korban dari Hamas. Akan tetapi, kami menyaksikan sendiri bahwa itu adalah suatu kebohongan besar. Kejahatan apa yang dilakukan para wanita dan anak-anak ini sehingga harus dibunuh dan dibom? Jika Israel tidak mau mengaku, maka mereka harus membuka Gaza agar tim internasional bisa datang dan melihat sendiri,” tegas Gilbert.
Sementara itu ratusan ribu warga Gaza menghadapi krisis air akut setelah pesawat tempur Israel menghancurkan sistem perairan dan pembuangan limbah di Jalur Gaza. Seperti dikutip dari situs World Bulletin, Kepala Komite Internasional Palang Merah (ICRC), Jacques de Maio mengatakan bahwa dalam beberapa hari seluruh penduduk Gaza akan menghadapi krisis air bersih akut. “Air yang ada sekarang sudah terkontaminasi dan limbah meluap. Ini menimbulkan risiko serius pada kesehatan,” ujarnya.
Ia juga menyebutkan, sejumlah insinyur perairan tewas terbunuh dalam konflik Israel-Palestina dan perusahaan penyedia air di Gaza menghentikan sementara operasinya sampai keselamatan para pekerjanya terjamin.
Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) menambahkan, krisis air bersih yang sudah berlangsung sejak Israel memblokade Gaza selama delapan tahun ini semakin parah dengan adanya serangan berkelanjutan dari penjajah zionis baru-baru ini.
“Setiap harinya 90 juta liter limbah yang tidak diolah mengalir ke laut karena tidak adanya listrik untuk mengolahnya. Sekitar 90 persen air minum di Gaza tidak layak untuk dikonsumsi,” sebut UNRWA. Badan Kesehatan Dunia (WHO) pekan lalu juga memperingatkan tentang krisis obat-obatan dan bahan bakar generator di rumah sakit Gaza. (afp/ap/bbc/mem/hep/c23/tia/jpnn/rbb)