SUMUTPOS.CO – KTT ke-33 ASEAN di Singapura kemarin jadi pengalaman tak mengenakkan bagi penasihat negara Myanmar Aung San Suu Kyi. Dia dipermalukan di depan umum oleh beberapa peserta konferensi karena tak berbuat apa-apa untuk mengatasi kekerasan terhadap etnis Rohingya.
Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad adalah yang paling keras mengecam Suu Kyi. Dia kecewa karena pemimpin de facto Myanmar itu melupakan latar belakangnya sebagai pejuang HAM dan demokrasi. Apa yang dilakukan oleh Mahathir merubah kebiasaan yang terjadi pada acara diplomatik yang biasanya berlangsung ramah.
“Seseorang yang pernah ditahan karena perjuangan demi hak asasi sebelumnya, seharusnya mengetahui penderitaan orang lain bukan malah menyalahkan yang menderita,” kata Mahathir seperti dilansir ABC, Selasa (13/11).
Pernyataan keras Mahathir itu di luar kebiasaan forum ASEAN yang biasanya berlangsung ramah. Namun, persekusi etnis Rohingya di Myanmar bukan tragedi biasa. Sejak 2016 sudah 10 ribu warga sipil tewas dan hampir 750 ribu mengungsi akibat konflik yang berpusat di Negara Bagian Rakhine itu.
Seorang diplomat Asia Tenggara yang tak mau disebutkan namanya mengatakan, “Anda dapat merasakan, dia (Suu Kyi) tidak diterima oleh semua orang seperti dulu. Semua orang mengharapkan ia bisa berbuat lebih banyak,” katanya.
Situasi makin buruk bagi Suu Kyi ketika Wakil Presiden AS Mike Pence pada Rabu (14/11) mengatakan di hadapan para pemimpin ASEAN lainnya bahwa kekerasan dan penganiayaan terhadap Rohingya tak termaafkan.
Namun, semua tekanan itu tampaknya tak mampu menggugah hati Suu Kyi. Dia tetap menyatakan kekerasan di Rakhine sebagai masalah Myanmar yang tak bisa dipahami orang luar. (ina/JPC)
SUMUTPOS.CO – KTT ke-33 ASEAN di Singapura kemarin jadi pengalaman tak mengenakkan bagi penasihat negara Myanmar Aung San Suu Kyi. Dia dipermalukan di depan umum oleh beberapa peserta konferensi karena tak berbuat apa-apa untuk mengatasi kekerasan terhadap etnis Rohingya.
Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad adalah yang paling keras mengecam Suu Kyi. Dia kecewa karena pemimpin de facto Myanmar itu melupakan latar belakangnya sebagai pejuang HAM dan demokrasi. Apa yang dilakukan oleh Mahathir merubah kebiasaan yang terjadi pada acara diplomatik yang biasanya berlangsung ramah.
“Seseorang yang pernah ditahan karena perjuangan demi hak asasi sebelumnya, seharusnya mengetahui penderitaan orang lain bukan malah menyalahkan yang menderita,” kata Mahathir seperti dilansir ABC, Selasa (13/11).
Pernyataan keras Mahathir itu di luar kebiasaan forum ASEAN yang biasanya berlangsung ramah. Namun, persekusi etnis Rohingya di Myanmar bukan tragedi biasa. Sejak 2016 sudah 10 ribu warga sipil tewas dan hampir 750 ribu mengungsi akibat konflik yang berpusat di Negara Bagian Rakhine itu.
Seorang diplomat Asia Tenggara yang tak mau disebutkan namanya mengatakan, “Anda dapat merasakan, dia (Suu Kyi) tidak diterima oleh semua orang seperti dulu. Semua orang mengharapkan ia bisa berbuat lebih banyak,” katanya.
Situasi makin buruk bagi Suu Kyi ketika Wakil Presiden AS Mike Pence pada Rabu (14/11) mengatakan di hadapan para pemimpin ASEAN lainnya bahwa kekerasan dan penganiayaan terhadap Rohingya tak termaafkan.
Namun, semua tekanan itu tampaknya tak mampu menggugah hati Suu Kyi. Dia tetap menyatakan kekerasan di Rakhine sebagai masalah Myanmar yang tak bisa dipahami orang luar. (ina/JPC)