BANGKOK, SUMUTPOS.CO – Thailand semakin terjebak di konflik internal yang tiada ujung. Pemilu yang dipaksakan 2 Februari lalu justru menciptakan perpecahan dan kekerasan. Yang terbaru, demonstrasi antipemerintah Thailand bentrok dengan polisi antihuru-hara di tengah Kota Bangkok kemarin (18/2). Akibatnya, tiga orang tewas dan 60 lainnya luka-luka dari dua pihak.
Bentrokan terjadi saat polisi berusaha merebut kembali gedung-gedung pemerintahan yang dikepung demonstran. “Seorang polisi tertembak dan empat lainnya mengalami luka-luka,” kata Letnan Polisi Prawut Thavornsiri sebagaimana dilansir Channel News Asia tadi malam. Tidak hanya menewaskan seorang polisi, bentrokan tersebut juga mengakibatkan 44 orang terluka.
Demonstran menolak permintaan polisi untuk meninggalkan daerah sekitar Kantor Perdana Menteri Yingluck Shinawatra dalam waktu satu jam. Polisi yang sempat kewalahan akhirnya menangkap seratus orang demonstran yang semakin rusuh. Itu merupakan penangkapan demonstran terbesar sejak aksi massa bergulir menuntut mundur Yingluck.
Meski demikian, para demonstran tidak terpengaruh oleh penangkapan itu. Mereka bersikeras bertahan di sana. “Penangkapan tidak akan memengaruhi kami. Kehendak rakyat masih kuat. Pemerintah terjebak dan tidak punya jalan ke depan,” ujar Akanat Promphan, juru bicara gerakan antipemerintah.
Dalam aksi itu, mereka terus mendesak Yingluck agar mundur dan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah sementara yang akan melaksanakan reformasi untuk mengatasi korupsi dan penyalahgunaan dana publik sebelum pemilu baru diadakan.
Beberapa jam setelah bentrokan, Perdana Menteri Yingluck semakin tersudut ketika Komisi Antikorupsi Nasional mengumumkan dakwaan terhadap dirinya. Menurut komisi tersebut, perdana menteri menyadari adanya korupsi dalam rencana pembelian beras nasional, tetapi program itu tetap dilanjutkan. Komisi Antikorupsi Nasional memerintah Yingluck menghadapi dakwaan itu pada 27 Februari.
Para pengunjuk rasa melancarkan aksi sejak November lalu dalam upaya menggulingkan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra, yang dituduh menjalankan kekuasaan mewakili kakaknya, Thaksin Shinawatra, yaitu mantan perdana menteri yang juga konglomerat telekomunikasi. Thaksin digulingkan dari jabatannya sebagai perdana menteri melalui kudeta militer pada 2006. (ap/afp/kim/jpnn/rbb)
BANGKOK, SUMUTPOS.CO – Thailand semakin terjebak di konflik internal yang tiada ujung. Pemilu yang dipaksakan 2 Februari lalu justru menciptakan perpecahan dan kekerasan. Yang terbaru, demonstrasi antipemerintah Thailand bentrok dengan polisi antihuru-hara di tengah Kota Bangkok kemarin (18/2). Akibatnya, tiga orang tewas dan 60 lainnya luka-luka dari dua pihak.
Bentrokan terjadi saat polisi berusaha merebut kembali gedung-gedung pemerintahan yang dikepung demonstran. “Seorang polisi tertembak dan empat lainnya mengalami luka-luka,” kata Letnan Polisi Prawut Thavornsiri sebagaimana dilansir Channel News Asia tadi malam. Tidak hanya menewaskan seorang polisi, bentrokan tersebut juga mengakibatkan 44 orang terluka.
Demonstran menolak permintaan polisi untuk meninggalkan daerah sekitar Kantor Perdana Menteri Yingluck Shinawatra dalam waktu satu jam. Polisi yang sempat kewalahan akhirnya menangkap seratus orang demonstran yang semakin rusuh. Itu merupakan penangkapan demonstran terbesar sejak aksi massa bergulir menuntut mundur Yingluck.
Meski demikian, para demonstran tidak terpengaruh oleh penangkapan itu. Mereka bersikeras bertahan di sana. “Penangkapan tidak akan memengaruhi kami. Kehendak rakyat masih kuat. Pemerintah terjebak dan tidak punya jalan ke depan,” ujar Akanat Promphan, juru bicara gerakan antipemerintah.
Dalam aksi itu, mereka terus mendesak Yingluck agar mundur dan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah sementara yang akan melaksanakan reformasi untuk mengatasi korupsi dan penyalahgunaan dana publik sebelum pemilu baru diadakan.
Beberapa jam setelah bentrokan, Perdana Menteri Yingluck semakin tersudut ketika Komisi Antikorupsi Nasional mengumumkan dakwaan terhadap dirinya. Menurut komisi tersebut, perdana menteri menyadari adanya korupsi dalam rencana pembelian beras nasional, tetapi program itu tetap dilanjutkan. Komisi Antikorupsi Nasional memerintah Yingluck menghadapi dakwaan itu pada 27 Februari.
Para pengunjuk rasa melancarkan aksi sejak November lalu dalam upaya menggulingkan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra, yang dituduh menjalankan kekuasaan mewakili kakaknya, Thaksin Shinawatra, yaitu mantan perdana menteri yang juga konglomerat telekomunikasi. Thaksin digulingkan dari jabatannya sebagai perdana menteri melalui kudeta militer pada 2006. (ap/afp/kim/jpnn/rbb)