27 C
Medan
Monday, June 24, 2024

Negara Rahmat dan Kutukan

MANTAN Perdana Menteri Jordania, Wasfi El-Tall pernah menyebut posisi geografi negerinya sebagai rahmat sekaligus kutukan. Rahmat karena letaknya, menjadi negeri penghubung yang penting bagi negara-negara sekitarnya. Namun, menjadi kutukan karena posisinya, negeri monarki konstitusional terbebani pengungsian.

Kini rahmat itu belum sepenuhnya dirasakan Jordania. Mereka masih kalah oleh Dubai sebagai terminal pengoneksi dunia dengan Timur Tengah atau Jazirah Arab. Tetapi, sebaliknya, kutukan sudah tidak lagi menjadi sekadar beban, melainkan telah berubah menjadi masalah.

Banyak warga Jordania yang cemas kalau negara mereka bakal menjadi negara pengganti bagi warga Palestina “seperti yang diduga diskenariokan Israel dan Amerika Serikat. Sebuah kecemasan yang beralasan karena Israel terbukti terus membangun permukiman baru di Jerusalem dan tidak henti mendesak Hamas keluar dari Jalur Gaza.
“Saya kira masalah (imigran) ini tidak disampaikan orang-orang di sekitar raja kepada raja. Padahal, ini sudah sedemikian buruk,” kata Ali Habashneh, mantan jenderal yang kini memegang badan pensiunan tentara, dalam sebuah wawancara dengan The Independent.

Wajar kalau Habashneh menggunakan terminologi “memburuk”. Sebab, di antara 6,4 juta penduduk Jordan, 2 juta orang adalah warga Palestina. Di luar itu, masih ada 850 ribu warga Palestina yang mendapatkan kewarganegaraan secara ilegal. Sebanyak 950 ribu lainnya berasal dari Tepi Barat Sungai Jordan “sungai yang memisahkan Jordania dengan Palestina yang dikuasai Israel” yang berdiam di Jordania, tetapi tetap dengan kewarganegaraan Palestina. Sedangkan 300 ribu lainnya datang dari Gaza. Itu semua belum termasuk pendatang dari Iraq.

Mereka itulah yang turut memperebutkan kue perekonomian Jordania di level menengah ke bawah. Akibatnya, lowongan pekerjaan makin langka, pengangguran pun semakin banyak. Karena tingginya kebutuhan, properti menjadi sangat mahal. Terutama yang berada di tengah Kota Amman. Warga pun terdesak tinggal di pinggiran. Padahal, sistem transportasi Jordania dikenal tua dan lambat.

Posisi-posisi penting di lingkar dalam pemerintahan pun mulai dikangkangi keturunan Palestina. Salah satu di antara mereka adalah Bassem Awdallah. Dia pernah menjadi tangan kanan raja hingga 2007. Semua itu akhirnya berbuntut pada sentimen negatif di bawah permukaan antara warga Jordania “asli” dan keturunan Palestina. Di atas permukaan, mereka selalu mengaku bersaudara. Tetapi, secara bisik-bisik, kebencian itu terasa sekali.

“Apa yang saya bilang, hati-hati dengan warga Palestina. Mereka suka mengambil keuntungan dengan menghalalkan segala cara,” kata seorang rekan warga Jordania ketika Jawa Pos bercerita tentang upaya penipuan yang dilakukan seorang warga keturunan Palestina yang bekerja sebagai makelar visa. (c4/ttg/jpnn)

MANTAN Perdana Menteri Jordania, Wasfi El-Tall pernah menyebut posisi geografi negerinya sebagai rahmat sekaligus kutukan. Rahmat karena letaknya, menjadi negeri penghubung yang penting bagi negara-negara sekitarnya. Namun, menjadi kutukan karena posisinya, negeri monarki konstitusional terbebani pengungsian.

Kini rahmat itu belum sepenuhnya dirasakan Jordania. Mereka masih kalah oleh Dubai sebagai terminal pengoneksi dunia dengan Timur Tengah atau Jazirah Arab. Tetapi, sebaliknya, kutukan sudah tidak lagi menjadi sekadar beban, melainkan telah berubah menjadi masalah.

Banyak warga Jordania yang cemas kalau negara mereka bakal menjadi negara pengganti bagi warga Palestina “seperti yang diduga diskenariokan Israel dan Amerika Serikat. Sebuah kecemasan yang beralasan karena Israel terbukti terus membangun permukiman baru di Jerusalem dan tidak henti mendesak Hamas keluar dari Jalur Gaza.
“Saya kira masalah (imigran) ini tidak disampaikan orang-orang di sekitar raja kepada raja. Padahal, ini sudah sedemikian buruk,” kata Ali Habashneh, mantan jenderal yang kini memegang badan pensiunan tentara, dalam sebuah wawancara dengan The Independent.

Wajar kalau Habashneh menggunakan terminologi “memburuk”. Sebab, di antara 6,4 juta penduduk Jordan, 2 juta orang adalah warga Palestina. Di luar itu, masih ada 850 ribu warga Palestina yang mendapatkan kewarganegaraan secara ilegal. Sebanyak 950 ribu lainnya berasal dari Tepi Barat Sungai Jordan “sungai yang memisahkan Jordania dengan Palestina yang dikuasai Israel” yang berdiam di Jordania, tetapi tetap dengan kewarganegaraan Palestina. Sedangkan 300 ribu lainnya datang dari Gaza. Itu semua belum termasuk pendatang dari Iraq.

Mereka itulah yang turut memperebutkan kue perekonomian Jordania di level menengah ke bawah. Akibatnya, lowongan pekerjaan makin langka, pengangguran pun semakin banyak. Karena tingginya kebutuhan, properti menjadi sangat mahal. Terutama yang berada di tengah Kota Amman. Warga pun terdesak tinggal di pinggiran. Padahal, sistem transportasi Jordania dikenal tua dan lambat.

Posisi-posisi penting di lingkar dalam pemerintahan pun mulai dikangkangi keturunan Palestina. Salah satu di antara mereka adalah Bassem Awdallah. Dia pernah menjadi tangan kanan raja hingga 2007. Semua itu akhirnya berbuntut pada sentimen negatif di bawah permukaan antara warga Jordania “asli” dan keturunan Palestina. Di atas permukaan, mereka selalu mengaku bersaudara. Tetapi, secara bisik-bisik, kebencian itu terasa sekali.

“Apa yang saya bilang, hati-hati dengan warga Palestina. Mereka suka mengambil keuntungan dengan menghalalkan segala cara,” kata seorang rekan warga Jordania ketika Jawa Pos bercerita tentang upaya penipuan yang dilakukan seorang warga keturunan Palestina yang bekerja sebagai makelar visa. (c4/ttg/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/