25.6 C
Medan
Sunday, June 16, 2024

Suku Loyalis Makin Berani Mengkritik

Jordania, Terjepit Revolusi Arab dan Tekanan Internal

Kondisi perekonomia dan dugaan korupsi sang istri, Raja Abdullah II terpojok lantaran terlalu sibuk menjangkau Barat. Bagaimana nasib Jordania akan datang di tengah gejolak revolusi di kawasan sekitarnya?

DENGAN mata mendelik, kedua tentara bertopi kafiyeh merah mengibas-ngibaskan tangan ke arah Jawa Pos  (grup Sumut Pos) yang tengah bersiap memotret gerbang kediaman Ratu Noor di kawasan Zahran Street, Amman.
“Anda tidak boleh memotret di sini. Silakan pergi.” Begitulah kira-kira kata-kata dua pria kekar yang menjaga kediaman ibu tiri penguasa Jordania, Raja Abdullah II, dalam bahasa Arab sembari memeriksa kamera Jawa Pos.

Mereka bukan sembarang tentara, tetapi anggota pasukan elite Angkatan Bersenjata Jordania yang direkrut dari suku terbesar di Jordania yang terkenal tangguh, Bedouin. Karena loyalitas mereka, sepanjang sejarah Jordania, dari suku yang tersebar di berbagai penjuru gurun pasir di Jazirah Arab itulah pasukan pengawal raja dan keluarganya diambil.
Sebagai bentuk penghormatan, sebelum mengambil keputusan-keputusan penting, mendiang Raja Hussein, ayahanda Raja Abdullah, saat berkuasa selalu menyempatkan diri menyambangi wilayah hunian Bedouin terbesar di dekat kota kuno Petra. Lebih sering dilakukan untuk sosialisasi, tetapi tidak jarang pula guna penguatan legitimasi.

Itu menandakan betapa pentingnya posisi suku “peternak unta (demikian Bedouin dulu lebih dikenal, Red)” dalam konstelasi politik Jordania. “Hubungan kami dengan kerajaan itu kira-kira begini, kami ini selalu mendukung apa pun keputusan kerajaan. Dengan dukungan kami, apa pun keputusan kerajaan selalu bisa diterima seluruh elemen masyarakat Jordania,” kata Sameer Wahab, seorang warga Bedouin yang kini menetap di Amman.

Dengan latar belakang hubungan itu, tidak mengherankan kalau Jordania geger, Februari lalu sejumlah tokoh Bedouin melayangkan kritik terbuka kepada Ratu Rania, sekaligus menyindir Raja Abdullah. Lewat pernyataan bersama 36 tokoh, Rania dituding korup karena menjadi otak penghadiahan tanah “konsesi” yang selama ini diberikan kerajaan ke suku-suku pendukung kepada keluarga Al Yassin, keluarga asal Rania. Adapun Abdullah diminta tegas mengingatkan sang permaisuri yang keturunan Palestina tersebut.

Itu merupakan “serangan” pertama suku loyalis tersebut kepada kekuasaan monarki sepanjang sejarah negeri berpenduduk sekitar 6,4 juta jiwa itu. Hal itu juga menempatkan Raja Abdullah dalam posisi sulit dan terjepit.
Sebab, sebelumnya, raja berdarah Inggris itu sudah harus memecat Perdana Menteri Samir Rifai per 1 Februari karena desakan demonstrasi yang mulai menjalar tidak lama setelah Husni Mubarak tumbang di Mesir. Namun, sang pengganti, Marouf Al Bakhit, ternyata juga tidak sepenuhnya diterima karena dianggap konservatif dan antidemokrasi.  Akibatnya, aksi jalanan yang melibatkan pemuda, mahasiswa, serikat buruh, hingga para ulama tersebut terus berlangsung hingga sekarang. Terutama setelah salat Jumat.

Tidak semata soal pengangguran, kemiskinan, dan korupsi yang merupakan perkara laten di Jordania. Kewenangan raja yang dahulu merupakan isu tabu kini diteriakkan agar dibatasi. “Ibaratnya, kotak pandora kini telah terbuka. Semua orang menjadi tidak takut lagi untuk bersuara,” kata Randa Habib, jurnalis senior yang sejak 1987 menjadi kepala Biro Kantor Berita AFP di Amman.

Memang, belum ada yang meminta bentuk negara diubah menjadi republik seperti yang kini menjadi topik usungan demonstran di Bahrain. Itu berarti Abdullah belum akan bernasib seperti Zine Abidin Ben Ali di Tunisia dan Mubarak di Mesir yang sudah terguling, serta Ali Abdullah Saleh di Yaman dan Muammar Kadhafi di Libya yang tengah berjuang mati-matian mempertahankan kursi.

Tetapi, kalau pengangguran yang mencapai 25 persen (versi sumber independen, sedangkan versi pemerintah hanya 14,3 persen) dan kemiskinan yang tercatat 31 persen (versi pemerintah hanya 14,7 persen) tidak segera diatasi, tidak ada yang bisa menjamin posisi Abdullah bakal seterusnya aman. Apa lagi Jordania, yang tak punya sumber daya alam, masih harus menanggung utang luar negeri dolar US 5,2 miliar. Bahkan, Abdullah kerap lebih memilih mendatangi calon investor di luar negeri ketimbang menghadiri konferensi regional.

Buntutnya, ekonomi memang bergerak. Infrastruktur dibangun di mana-mana untuk memuluskan langkah Jordania menjadi pusat layanan jasa di Timur Tengah. Namun, bukannya tanpa risiko.  Upaya Abdullah meliberalkan sepenuhnya perekonomian harus dibayar dengan dicabutnya sejumlah subsidi yang selama ini justru menopang kehidupan rakyat menengah ke bawah. Itu yang memicu keresahan karena roti dan bahan bakar menjadi mahal.
Munculnya pemogokan menuntut perbaikan kesejahteraan bergantian terjadi dalam tiga pekan terakhir.

Mulai pekerja perusahaan listrik negara, sopir angkutan umum, hingga dokter. “Bagaimana kami bisa bekerja dengan tenang kalau setiap bulan kami masalah keuangan,” kata Serikat Dokter Jordania dalam rilis resminya sebelum memulai pemogokan di Amman pada Minggu lalu (13/3).   Seorang dokter pegawai negeri di Jordania rata-rata hanya bergaji sekitar 500 dinar (1 dinar sekitar Rp 12.300) dengan hitungan harga bensin per liter 5 dinar itu.
Jordania adalah negeri yang 92 persen penduduknya muslim. Hampir 40 persen di antaranya merupakan pengungsi atau keturunan pengungsi dari Palestina dan Iraq.(c4/ttg/jpnn)

Jordania, Terjepit Revolusi Arab dan Tekanan Internal

Kondisi perekonomia dan dugaan korupsi sang istri, Raja Abdullah II terpojok lantaran terlalu sibuk menjangkau Barat. Bagaimana nasib Jordania akan datang di tengah gejolak revolusi di kawasan sekitarnya?

DENGAN mata mendelik, kedua tentara bertopi kafiyeh merah mengibas-ngibaskan tangan ke arah Jawa Pos  (grup Sumut Pos) yang tengah bersiap memotret gerbang kediaman Ratu Noor di kawasan Zahran Street, Amman.
“Anda tidak boleh memotret di sini. Silakan pergi.” Begitulah kira-kira kata-kata dua pria kekar yang menjaga kediaman ibu tiri penguasa Jordania, Raja Abdullah II, dalam bahasa Arab sembari memeriksa kamera Jawa Pos.

Mereka bukan sembarang tentara, tetapi anggota pasukan elite Angkatan Bersenjata Jordania yang direkrut dari suku terbesar di Jordania yang terkenal tangguh, Bedouin. Karena loyalitas mereka, sepanjang sejarah Jordania, dari suku yang tersebar di berbagai penjuru gurun pasir di Jazirah Arab itulah pasukan pengawal raja dan keluarganya diambil.
Sebagai bentuk penghormatan, sebelum mengambil keputusan-keputusan penting, mendiang Raja Hussein, ayahanda Raja Abdullah, saat berkuasa selalu menyempatkan diri menyambangi wilayah hunian Bedouin terbesar di dekat kota kuno Petra. Lebih sering dilakukan untuk sosialisasi, tetapi tidak jarang pula guna penguatan legitimasi.

Itu menandakan betapa pentingnya posisi suku “peternak unta (demikian Bedouin dulu lebih dikenal, Red)” dalam konstelasi politik Jordania. “Hubungan kami dengan kerajaan itu kira-kira begini, kami ini selalu mendukung apa pun keputusan kerajaan. Dengan dukungan kami, apa pun keputusan kerajaan selalu bisa diterima seluruh elemen masyarakat Jordania,” kata Sameer Wahab, seorang warga Bedouin yang kini menetap di Amman.

Dengan latar belakang hubungan itu, tidak mengherankan kalau Jordania geger, Februari lalu sejumlah tokoh Bedouin melayangkan kritik terbuka kepada Ratu Rania, sekaligus menyindir Raja Abdullah. Lewat pernyataan bersama 36 tokoh, Rania dituding korup karena menjadi otak penghadiahan tanah “konsesi” yang selama ini diberikan kerajaan ke suku-suku pendukung kepada keluarga Al Yassin, keluarga asal Rania. Adapun Abdullah diminta tegas mengingatkan sang permaisuri yang keturunan Palestina tersebut.

Itu merupakan “serangan” pertama suku loyalis tersebut kepada kekuasaan monarki sepanjang sejarah negeri berpenduduk sekitar 6,4 juta jiwa itu. Hal itu juga menempatkan Raja Abdullah dalam posisi sulit dan terjepit.
Sebab, sebelumnya, raja berdarah Inggris itu sudah harus memecat Perdana Menteri Samir Rifai per 1 Februari karena desakan demonstrasi yang mulai menjalar tidak lama setelah Husni Mubarak tumbang di Mesir. Namun, sang pengganti, Marouf Al Bakhit, ternyata juga tidak sepenuhnya diterima karena dianggap konservatif dan antidemokrasi.  Akibatnya, aksi jalanan yang melibatkan pemuda, mahasiswa, serikat buruh, hingga para ulama tersebut terus berlangsung hingga sekarang. Terutama setelah salat Jumat.

Tidak semata soal pengangguran, kemiskinan, dan korupsi yang merupakan perkara laten di Jordania. Kewenangan raja yang dahulu merupakan isu tabu kini diteriakkan agar dibatasi. “Ibaratnya, kotak pandora kini telah terbuka. Semua orang menjadi tidak takut lagi untuk bersuara,” kata Randa Habib, jurnalis senior yang sejak 1987 menjadi kepala Biro Kantor Berita AFP di Amman.

Memang, belum ada yang meminta bentuk negara diubah menjadi republik seperti yang kini menjadi topik usungan demonstran di Bahrain. Itu berarti Abdullah belum akan bernasib seperti Zine Abidin Ben Ali di Tunisia dan Mubarak di Mesir yang sudah terguling, serta Ali Abdullah Saleh di Yaman dan Muammar Kadhafi di Libya yang tengah berjuang mati-matian mempertahankan kursi.

Tetapi, kalau pengangguran yang mencapai 25 persen (versi sumber independen, sedangkan versi pemerintah hanya 14,3 persen) dan kemiskinan yang tercatat 31 persen (versi pemerintah hanya 14,7 persen) tidak segera diatasi, tidak ada yang bisa menjamin posisi Abdullah bakal seterusnya aman. Apa lagi Jordania, yang tak punya sumber daya alam, masih harus menanggung utang luar negeri dolar US 5,2 miliar. Bahkan, Abdullah kerap lebih memilih mendatangi calon investor di luar negeri ketimbang menghadiri konferensi regional.

Buntutnya, ekonomi memang bergerak. Infrastruktur dibangun di mana-mana untuk memuluskan langkah Jordania menjadi pusat layanan jasa di Timur Tengah. Namun, bukannya tanpa risiko.  Upaya Abdullah meliberalkan sepenuhnya perekonomian harus dibayar dengan dicabutnya sejumlah subsidi yang selama ini justru menopang kehidupan rakyat menengah ke bawah. Itu yang memicu keresahan karena roti dan bahan bakar menjadi mahal.
Munculnya pemogokan menuntut perbaikan kesejahteraan bergantian terjadi dalam tiga pekan terakhir.

Mulai pekerja perusahaan listrik negara, sopir angkutan umum, hingga dokter. “Bagaimana kami bisa bekerja dengan tenang kalau setiap bulan kami masalah keuangan,” kata Serikat Dokter Jordania dalam rilis resminya sebelum memulai pemogokan di Amman pada Minggu lalu (13/3).   Seorang dokter pegawai negeri di Jordania rata-rata hanya bergaji sekitar 500 dinar (1 dinar sekitar Rp 12.300) dengan hitungan harga bensin per liter 5 dinar itu.
Jordania adalah negeri yang 92 persen penduduknya muslim. Hampir 40 persen di antaranya merupakan pengungsi atau keturunan pengungsi dari Palestina dan Iraq.(c4/ttg/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/