26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Apakah Kaum Rohingya Terabaikan oleh Komunitas Islam?

Salah satu tokoh masyarakat Rohingya di Malaysia, Ghiyathudeen Maulana Abdul Salam, menuturkan ia bisa memahami keterbatasan itu.

“Karena negara-negara di ASEAN masing-masing terikat dengan etika, dengan undang-undang, budaya dan sebagainya, kita perlu memahami aspek-aspek ini semua secara total.

“Kita tidak boleh mengatakan ‘karena negara ini Muslim maka kita berhak mendapatkan segalanya’. Jadi sebagai pendatang kita perlu melangkahi dulu segala halangan yang ada sebelum kita mendapatkan proteksi dan sebagainya. Apa yang kita dapatkan sekarang ini adalah 30% belas kasihan,” ungkap Ghiyathudeen Maulana Abdul Salam, Sekjen Gabungan Persatuan Rohingya Sedunia (UWRO) kepada wartawan BBC Indonesia, Rohmatin Bonasir.

Di tingkat internasional, lanjutnya, gaung Rohingya biasanya terdengar apabila ada tragedi. Hal itu berbeda apabila disandingkan dengan isu Palestina yang senantiasa menjadi perhatian masyarakat Muslim.

Mohammad Hafez, Ketua DPD Partai Keadilan Sejahtera Sumatra Utara, salah satu provinsi yang menampung pengungsi Rohingya, menepis anggapan masyarakat Muslim kurang peduli terhadap Rohingya yang tidak diakui sebagai warga negara oleh pemerintah Myanmar.

“Siapa pun umat manusia yang tertindas di dunia ini harus kita bela secara sama. Kalau saya melihat kenapa Palestina itu lebih fokus, karena ini adalah pertarungan yang begitu lama dan di situ ada kiblat pertama umat Islam, Masjidil Aqsa. Jadi sentimen keagamaan jauh lebih tinggi,” jelas anggota Komisi A DPRD Sumatra Utara ini.

Kondisi tersebut, menurutnya, tidak bisa dibandingkan dengan Myanmar yang tidak mempunyai situs-situs Islami yang mempunyai makna global.

Salah satu tokoh masyarakat Rohingya di Malaysia, Ghiyathudeen Maulana Abdul Salam, menuturkan ia bisa memahami keterbatasan itu.

“Karena negara-negara di ASEAN masing-masing terikat dengan etika, dengan undang-undang, budaya dan sebagainya, kita perlu memahami aspek-aspek ini semua secara total.

“Kita tidak boleh mengatakan ‘karena negara ini Muslim maka kita berhak mendapatkan segalanya’. Jadi sebagai pendatang kita perlu melangkahi dulu segala halangan yang ada sebelum kita mendapatkan proteksi dan sebagainya. Apa yang kita dapatkan sekarang ini adalah 30% belas kasihan,” ungkap Ghiyathudeen Maulana Abdul Salam, Sekjen Gabungan Persatuan Rohingya Sedunia (UWRO) kepada wartawan BBC Indonesia, Rohmatin Bonasir.

Di tingkat internasional, lanjutnya, gaung Rohingya biasanya terdengar apabila ada tragedi. Hal itu berbeda apabila disandingkan dengan isu Palestina yang senantiasa menjadi perhatian masyarakat Muslim.

Mohammad Hafez, Ketua DPD Partai Keadilan Sejahtera Sumatra Utara, salah satu provinsi yang menampung pengungsi Rohingya, menepis anggapan masyarakat Muslim kurang peduli terhadap Rohingya yang tidak diakui sebagai warga negara oleh pemerintah Myanmar.

“Siapa pun umat manusia yang tertindas di dunia ini harus kita bela secara sama. Kalau saya melihat kenapa Palestina itu lebih fokus, karena ini adalah pertarungan yang begitu lama dan di situ ada kiblat pertama umat Islam, Masjidil Aqsa. Jadi sentimen keagamaan jauh lebih tinggi,” jelas anggota Komisi A DPRD Sumatra Utara ini.

Kondisi tersebut, menurutnya, tidak bisa dibandingkan dengan Myanmar yang tidak mempunyai situs-situs Islami yang mempunyai makna global.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/