30 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Jet Prancis Rontokkan Pesawat Libya

TRIPOLI-Zona larangan terbang di Libya telah ditetapkan sejak pekan lalu. Tapi, insiden penembakan pesawat kembali terjadi. Tadi malam WIB (24/3), sebuah pesawat latih jenis G-2/Galeb milik pasukan Muammar Kadhafi ditembak jatuh jet tempur Prancis jenis Rafale di langit Misrata, kota yang dikontrol pemberontak.

Seperti dilansir BBC, pesawat yang ditembak itu adalah pesawat dengan mesin tunggal. Belum diketahui apakah pilot pesawat tersebut selamat atau turut jadi korban.

Sebelumnya, pada 19 Maret lalu, sebuah pesawat MIG milik pemberontak ditembak jatuh pasukan pemerintah di Benghazi. Pilot pesawat tersebut berhasil menyelamatkan diri. Dua hari kemudian, ada kabar sebuah jet tempur Prancis juga jatuh tertembak. Tapi, militer Prancis membantahnya.

Beberapa jam sebelumnya, pasukan Kadhafi dilaporkan bergerak kembali melakukan penyerangan ke Misurata. Terletak 200 km dari sebelah timur Tripoli serta dua kota penting lain, Ajdabiya dan Zintan.

Selain dikenal sebagai pusat penyulingan minyak mentah, Misurata merupakan benteng terakhir yang masih dipertahankan pemberontak di kawasan Barat Libya. Serangan ini merupakan balasan atas serangan hari kelima pasukan koalisi yang dimotori Amerika Serikat, Prancis dan Inggris. Pemerintah Libya mengklaim, serangan  yang berlangsung 12 jam sejak Rabu (23/3) malam hingga Kamis (24/3) dini hari waktu setempat, berlangsung pilu.
Pemerintah Libya mengklaim pasukan koalisi telah membunuh puluhan warga sipil. Pihak berwenang lalu mengajak sejumlah jurnalis mengunjungi  rumah sakit di Tripoli. Di tempat itu, para jurnalis ditunjukkan 18 mayat yang sudah gosong. Pemerintah mengklaim bahwa mereka adalah sejumlah personel militer dan warga sipil yang menjadi korban pengeboman Koalisi.

Di rumah sakit utama di Misrata, kota di Libya Barat yang kembali jatuh ke tangan pemberontak, kondisi pasien dan perlengkapan medis serta pendukungnya amat memprihatinkan.
Pasien-pasien dirawat di lantai, peralatan medis dan obat-obatan sangat terbatas, air bersih sudah lama berhenti mengalir, dan listrik hanya mengandalkan satu generator.

Kelaparan juga mulai mengancam di Misrata dan Benghazi. Hal itu juga terjadi di Ajdabiya, kota yang masih diperebutkan secara ketat oleh dua pihak. Contohnya, Ajdabiya. Di kota ini, selama sembilan hari terakhir tak ada pasokan listrik dan air bersih sama sekali.

Menurut seorang komandan militer AS, yang dikutip Al Jazeera, jet-jet tempur Koalisi telah melakukan 175 kali sorti (misi penerbangan) dalam 24 jam terakhir dan 113 di antaranya dilakukan AS.
Di sisi lain, AS membantah adanya korban jiwa di pihak sipil. Militer AS justru mengklaim, pihak koalisi sukses menerapkan zona larangan terbang di sepanjang pesisir Libya, seperti yang diamanatkan dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB 1973. AS juga menyatakan pihaknya telah menyerang tank-tank Kadhafi.

Hal itu disampaikan Laksamana Gerard Hueber selaku Kepala Staf Joint Task Force Odyssey Dawn di Pentagon, di atas kapal USS Mount Whitney, di Laut Mediterania, Kamis dini hari dan dikutip dari VOA News.
Dia mengatakan pasukan koalisi telah terbang selama 24 jam terakhir. Akibatnya Libya kini tidak memiliki kekuatan udara lagi.

“Angkatan udara Libya telah dicegah. Pesawat mereka telah dihancurkan dan tidak bisa beroperasi. Kami tidak memiliki konfirmasi kegiatan penerbangan kekuatan rezim selama 24 jam terakhir,” terangnya.
Hueber mengaku belum menerima laporan tentang korban sipil atas penyerangan tersebut. Pihaknya kini menargetkan tank, artileri dan peluncur roket.

Ia juga memindahkan serangan ke arah barat untuk melindungi kota Ajdabiya dan Misrata. Hueber mengatakan tidak ada indikasi pasukan yang setia kepada pemimpin Libya, Muammar Kadhafi. Pasukan pendukung Kadhafi juga sudah berhenti menyerang penduduk sipil sebagaimana diharuskan oleh resolusi Dewan Keamanan PBB yang menetapkan zona larangan terbang.

Tujuan misi, lanjut Hueber, bukan untuk menggulingkan pemimpin Libya, tapi melindungi warga sipil dan memungkinkan bantuan kemanusiaan menjangkau mereka.

Mantan cawapres AS, Sarah Palin, mengkritik keputusan Obama menyerang Libya. “Apakah kita benar-benar siap untuk menyerahkan komando dan kontrol ke Liga Arab dan ke Inggris dan Perancis?” tanya politisi Republik ini seperti dilansir ABC News, kemarin.
Ketika ditanya dugaannya bagaimana nasib Kadhafi nantinya, dia menyimpulkan,”Dia akan berakhir mati, baik di tangan pemberontak atau lainnya.”

Presiden AS Barack Obama berkeyakinan pasukan sekutu akan mengendalikan operasi militer Libya. Obama bahkan menyebut pengendalian operasi militer tersebut akan terjadi hanya dalam hitungan hari. “Kita akan melanjutkan dukungan dan usaha untuk melindungi rakyat Libya. Tapi kami tidak akan memimpin,” tandasnya.

Di Kairo, Mesir, Menteri Pertahanan AS, Robert Gates menyarankan oposisi pejuang baru sekarang memiliki kesempatan untuk berkumpul kembali setelah serangan angkatan udara Kadhafi. ”Saya rasa banyak orang-orang yang berada di oposisi dan yang memainkan peran di hari-hari awal telah tunduk. Keadaan mungkin berubah di mana oposisi pejuang tidak dapat menggunakan pesawat. Mereka bisa saja kembali untuk melawan tapi kita tidak tahu,” kata Gates. Gates mengatakan pihak AS masih berencana untuk menyerahkan peran kunci dalam serangan terhadap Libya untuk sekutu koalisinya.

Menteri Pertahanan Prancis, Gerard Longuet, juga mengungkapkan mereka telah menghancurkan sekitar sepuluh unit kendaraan lapis baja Libya dalam tiga hari terakhir.
Menlu Prancis Alain Juppe menyebut, serangan koalisi terhadap Libya sejauh ini sukses. “Kami akan terus melakukan serangan-serangan udara,” ujar Juppe pada radio RTL seperti dilansir kantor berita AFP.
Diimbuhkan petinggi Prancis itu, serangan-serangan itu hanya menargetkan lokasi-lokasi militer dan bukan yang lainnya.

Juppe pun bersikeras bahwa operasi militer bersama Amerika Serikat, Inggris dan lainnya tersebut dimaksudkan untuk melindungi penduduk sipil dari serangan-serangan pasukan yang setia pada pemimpin Libya Muammar Kadhafi.

Kelaparan

Pasukan koalisi terus menyerang, loyalis Muammar Kadhafi terus melawan. Buntut konflik bersenjata yang sulit diprediksi kapan berakhir itu adalah terjadinya krisis kemanusiaan. Tentu saja, yang paling menderita adalah warga sipil.

Sebagaimana dilaporkan Washington Post, di rumah sakit utama di Misrata, pasien-pasien dirawat di lantai, peralatan medis dan obat-obatan sangat terbatas, air bersih sudah lama berhenti mengalir, dan listrik hanya mengandalkan satu generator.

Padahal jumlah korban sangat banyak. Akibat serbuan pasukan pro-Kadhafi selama lima hari dan tak menutup kemungkinan karena serangan udara koalisi juga, korban meninggal hampir mencapai 100 orang. Setelah lima hari merangsek ke Misrata, pro-Kadhafi mulai beringsut pergi kemarin seusai dihajar serangan udara selama 12 jam oleh pasukan koalisi.

“Lima hari terakhir benar-benar seperti neraka. Rumah sakit sudah tak kuasa menampung. Sembilan puluh empat orang meninggal, 60 di antaranya warga sipil. Yang luka-luka mencapai 1.300 orang,” ungkap Mohammed Ali, seorang teknisi yang bekerja di rumah sakit utama di Misrata, kepada Reuters melalui sambungan telepon.
Saking tak berdayanya para dokter dan paramedis menghadapi jumlah pasien yang membeludak dengan perlengkapan serba terbatas, yang kondisinya tak kritis langsung dipulangkan. “Saya berkali-kali melihat mereka yang baru diamputasi kakinya disuruh pulang,” jelas Ali.

Kelaparan juga mulai mengancam, terutama di kota-kota yang dikuasai pemberontak. Misalnya, Misrata dan Benghazi. Hal itu juga terjadi di kota yang masih diperebutkan secara ketat oleh dua pihak. Contohnya, Ajdabiya. Di Ajdabiya, selama sembilan hari terakhir tak ada pasokan listrik dan air bersih sama sekali.

Hampir semua toko tutup karena tak ada suplai atau karena faktor keamanan. Di Misrata, misalnya, kendati tank-tank milik loyalis Kadhafi telah terusir, masih banyak sniper yang tak hanya menyasar pemberontak, tapi juga warga sipil.
Menurut Washington Post, berbagai lembaga bantuan internasional tak bisa menembus kota-kota yang menjadi ajang pertempuran dua kubu seperti Misrata dan Ajdabiya. Mengenai kemungkinan militer AS turut mendistribusikan bantuan, seorang pejabat pemerintahan Negeri Paman Sam menyatakan bahwa opsi itu masih terbuka. “Semua opsi masih memungkinkan,” ujar si pejabat yang identitasnya dirahasiakan tersebut.

Di tengah berbagai kesulitan itu, beruntung Komite Palang Merah Internasional menyatakan telah berhasil mengirim dua ribu ton makanan ke kota-kota di bagian timur Libya. Juga, sejumlah peralatan serta obat-obatan untuk merawat sekitar 40 ribu pasien.

Bantuan-bantuan itu berhasil dibawa dengan truk yang masuk melalui perbatasan Libya-Mesir atau lewat Benghazi yang dikontrol pemberontak. Tapi, bantuan masih sulit masuk ke kota-kota di mana pro-Kadhafi masih kuat. Padahal kebutuhan pangan sangat mendesak karena sudah amat langka. Apalagi selama ini Libya sangat mengandalkan pasokan pangan dari impor.

Kalaupun ada, harganya tak terjangkau warga kebanyakan karena saking mahalnya. Harga tepung, misalnya, mencapai dua kali lipat. Harga beras juga naik hingga 88 persen dan minyak goreng meroket 58 persen. “Kalau kondisinya terus seperti ini, tentu sangat mengkhawatirkan (karena bisa terjadi kelaparan),” tegas Abeer Etefa, juru bicara World Food Program, di perbatasan Mesir-Libya.

Karena itu, lanjut dia, pihaknya berencana melakukan operasi darurat untuk menyuplai makanan kepada sekitar 600 ribu warga sipil di sejumlah kota yang saat ini terancam kelaparan.

Seorang pejabat pemerintahan AS juga menuturkan bahwa sekitar 80 ribu warga sipil di Libya saat ini tak punya tempat tinggal atau terusir paksa. “Jumlah riilnya bahkan mungkin bisa lebih tinggi,” ungkap si pejabat itu kepada Washington Post. (bbs/ttg/jpnn)

TRIPOLI-Zona larangan terbang di Libya telah ditetapkan sejak pekan lalu. Tapi, insiden penembakan pesawat kembali terjadi. Tadi malam WIB (24/3), sebuah pesawat latih jenis G-2/Galeb milik pasukan Muammar Kadhafi ditembak jatuh jet tempur Prancis jenis Rafale di langit Misrata, kota yang dikontrol pemberontak.

Seperti dilansir BBC, pesawat yang ditembak itu adalah pesawat dengan mesin tunggal. Belum diketahui apakah pilot pesawat tersebut selamat atau turut jadi korban.

Sebelumnya, pada 19 Maret lalu, sebuah pesawat MIG milik pemberontak ditembak jatuh pasukan pemerintah di Benghazi. Pilot pesawat tersebut berhasil menyelamatkan diri. Dua hari kemudian, ada kabar sebuah jet tempur Prancis juga jatuh tertembak. Tapi, militer Prancis membantahnya.

Beberapa jam sebelumnya, pasukan Kadhafi dilaporkan bergerak kembali melakukan penyerangan ke Misurata. Terletak 200 km dari sebelah timur Tripoli serta dua kota penting lain, Ajdabiya dan Zintan.

Selain dikenal sebagai pusat penyulingan minyak mentah, Misurata merupakan benteng terakhir yang masih dipertahankan pemberontak di kawasan Barat Libya. Serangan ini merupakan balasan atas serangan hari kelima pasukan koalisi yang dimotori Amerika Serikat, Prancis dan Inggris. Pemerintah Libya mengklaim, serangan  yang berlangsung 12 jam sejak Rabu (23/3) malam hingga Kamis (24/3) dini hari waktu setempat, berlangsung pilu.
Pemerintah Libya mengklaim pasukan koalisi telah membunuh puluhan warga sipil. Pihak berwenang lalu mengajak sejumlah jurnalis mengunjungi  rumah sakit di Tripoli. Di tempat itu, para jurnalis ditunjukkan 18 mayat yang sudah gosong. Pemerintah mengklaim bahwa mereka adalah sejumlah personel militer dan warga sipil yang menjadi korban pengeboman Koalisi.

Di rumah sakit utama di Misrata, kota di Libya Barat yang kembali jatuh ke tangan pemberontak, kondisi pasien dan perlengkapan medis serta pendukungnya amat memprihatinkan.
Pasien-pasien dirawat di lantai, peralatan medis dan obat-obatan sangat terbatas, air bersih sudah lama berhenti mengalir, dan listrik hanya mengandalkan satu generator.

Kelaparan juga mulai mengancam di Misrata dan Benghazi. Hal itu juga terjadi di Ajdabiya, kota yang masih diperebutkan secara ketat oleh dua pihak. Contohnya, Ajdabiya. Di kota ini, selama sembilan hari terakhir tak ada pasokan listrik dan air bersih sama sekali.

Menurut seorang komandan militer AS, yang dikutip Al Jazeera, jet-jet tempur Koalisi telah melakukan 175 kali sorti (misi penerbangan) dalam 24 jam terakhir dan 113 di antaranya dilakukan AS.
Di sisi lain, AS membantah adanya korban jiwa di pihak sipil. Militer AS justru mengklaim, pihak koalisi sukses menerapkan zona larangan terbang di sepanjang pesisir Libya, seperti yang diamanatkan dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB 1973. AS juga menyatakan pihaknya telah menyerang tank-tank Kadhafi.

Hal itu disampaikan Laksamana Gerard Hueber selaku Kepala Staf Joint Task Force Odyssey Dawn di Pentagon, di atas kapal USS Mount Whitney, di Laut Mediterania, Kamis dini hari dan dikutip dari VOA News.
Dia mengatakan pasukan koalisi telah terbang selama 24 jam terakhir. Akibatnya Libya kini tidak memiliki kekuatan udara lagi.

“Angkatan udara Libya telah dicegah. Pesawat mereka telah dihancurkan dan tidak bisa beroperasi. Kami tidak memiliki konfirmasi kegiatan penerbangan kekuatan rezim selama 24 jam terakhir,” terangnya.
Hueber mengaku belum menerima laporan tentang korban sipil atas penyerangan tersebut. Pihaknya kini menargetkan tank, artileri dan peluncur roket.

Ia juga memindahkan serangan ke arah barat untuk melindungi kota Ajdabiya dan Misrata. Hueber mengatakan tidak ada indikasi pasukan yang setia kepada pemimpin Libya, Muammar Kadhafi. Pasukan pendukung Kadhafi juga sudah berhenti menyerang penduduk sipil sebagaimana diharuskan oleh resolusi Dewan Keamanan PBB yang menetapkan zona larangan terbang.

Tujuan misi, lanjut Hueber, bukan untuk menggulingkan pemimpin Libya, tapi melindungi warga sipil dan memungkinkan bantuan kemanusiaan menjangkau mereka.

Mantan cawapres AS, Sarah Palin, mengkritik keputusan Obama menyerang Libya. “Apakah kita benar-benar siap untuk menyerahkan komando dan kontrol ke Liga Arab dan ke Inggris dan Perancis?” tanya politisi Republik ini seperti dilansir ABC News, kemarin.
Ketika ditanya dugaannya bagaimana nasib Kadhafi nantinya, dia menyimpulkan,”Dia akan berakhir mati, baik di tangan pemberontak atau lainnya.”

Presiden AS Barack Obama berkeyakinan pasukan sekutu akan mengendalikan operasi militer Libya. Obama bahkan menyebut pengendalian operasi militer tersebut akan terjadi hanya dalam hitungan hari. “Kita akan melanjutkan dukungan dan usaha untuk melindungi rakyat Libya. Tapi kami tidak akan memimpin,” tandasnya.

Di Kairo, Mesir, Menteri Pertahanan AS, Robert Gates menyarankan oposisi pejuang baru sekarang memiliki kesempatan untuk berkumpul kembali setelah serangan angkatan udara Kadhafi. ”Saya rasa banyak orang-orang yang berada di oposisi dan yang memainkan peran di hari-hari awal telah tunduk. Keadaan mungkin berubah di mana oposisi pejuang tidak dapat menggunakan pesawat. Mereka bisa saja kembali untuk melawan tapi kita tidak tahu,” kata Gates. Gates mengatakan pihak AS masih berencana untuk menyerahkan peran kunci dalam serangan terhadap Libya untuk sekutu koalisinya.

Menteri Pertahanan Prancis, Gerard Longuet, juga mengungkapkan mereka telah menghancurkan sekitar sepuluh unit kendaraan lapis baja Libya dalam tiga hari terakhir.
Menlu Prancis Alain Juppe menyebut, serangan koalisi terhadap Libya sejauh ini sukses. “Kami akan terus melakukan serangan-serangan udara,” ujar Juppe pada radio RTL seperti dilansir kantor berita AFP.
Diimbuhkan petinggi Prancis itu, serangan-serangan itu hanya menargetkan lokasi-lokasi militer dan bukan yang lainnya.

Juppe pun bersikeras bahwa operasi militer bersama Amerika Serikat, Inggris dan lainnya tersebut dimaksudkan untuk melindungi penduduk sipil dari serangan-serangan pasukan yang setia pada pemimpin Libya Muammar Kadhafi.

Kelaparan

Pasukan koalisi terus menyerang, loyalis Muammar Kadhafi terus melawan. Buntut konflik bersenjata yang sulit diprediksi kapan berakhir itu adalah terjadinya krisis kemanusiaan. Tentu saja, yang paling menderita adalah warga sipil.

Sebagaimana dilaporkan Washington Post, di rumah sakit utama di Misrata, pasien-pasien dirawat di lantai, peralatan medis dan obat-obatan sangat terbatas, air bersih sudah lama berhenti mengalir, dan listrik hanya mengandalkan satu generator.

Padahal jumlah korban sangat banyak. Akibat serbuan pasukan pro-Kadhafi selama lima hari dan tak menutup kemungkinan karena serangan udara koalisi juga, korban meninggal hampir mencapai 100 orang. Setelah lima hari merangsek ke Misrata, pro-Kadhafi mulai beringsut pergi kemarin seusai dihajar serangan udara selama 12 jam oleh pasukan koalisi.

“Lima hari terakhir benar-benar seperti neraka. Rumah sakit sudah tak kuasa menampung. Sembilan puluh empat orang meninggal, 60 di antaranya warga sipil. Yang luka-luka mencapai 1.300 orang,” ungkap Mohammed Ali, seorang teknisi yang bekerja di rumah sakit utama di Misrata, kepada Reuters melalui sambungan telepon.
Saking tak berdayanya para dokter dan paramedis menghadapi jumlah pasien yang membeludak dengan perlengkapan serba terbatas, yang kondisinya tak kritis langsung dipulangkan. “Saya berkali-kali melihat mereka yang baru diamputasi kakinya disuruh pulang,” jelas Ali.

Kelaparan juga mulai mengancam, terutama di kota-kota yang dikuasai pemberontak. Misalnya, Misrata dan Benghazi. Hal itu juga terjadi di kota yang masih diperebutkan secara ketat oleh dua pihak. Contohnya, Ajdabiya. Di Ajdabiya, selama sembilan hari terakhir tak ada pasokan listrik dan air bersih sama sekali.

Hampir semua toko tutup karena tak ada suplai atau karena faktor keamanan. Di Misrata, misalnya, kendati tank-tank milik loyalis Kadhafi telah terusir, masih banyak sniper yang tak hanya menyasar pemberontak, tapi juga warga sipil.
Menurut Washington Post, berbagai lembaga bantuan internasional tak bisa menembus kota-kota yang menjadi ajang pertempuran dua kubu seperti Misrata dan Ajdabiya. Mengenai kemungkinan militer AS turut mendistribusikan bantuan, seorang pejabat pemerintahan Negeri Paman Sam menyatakan bahwa opsi itu masih terbuka. “Semua opsi masih memungkinkan,” ujar si pejabat yang identitasnya dirahasiakan tersebut.

Di tengah berbagai kesulitan itu, beruntung Komite Palang Merah Internasional menyatakan telah berhasil mengirim dua ribu ton makanan ke kota-kota di bagian timur Libya. Juga, sejumlah peralatan serta obat-obatan untuk merawat sekitar 40 ribu pasien.

Bantuan-bantuan itu berhasil dibawa dengan truk yang masuk melalui perbatasan Libya-Mesir atau lewat Benghazi yang dikontrol pemberontak. Tapi, bantuan masih sulit masuk ke kota-kota di mana pro-Kadhafi masih kuat. Padahal kebutuhan pangan sangat mendesak karena sudah amat langka. Apalagi selama ini Libya sangat mengandalkan pasokan pangan dari impor.

Kalaupun ada, harganya tak terjangkau warga kebanyakan karena saking mahalnya. Harga tepung, misalnya, mencapai dua kali lipat. Harga beras juga naik hingga 88 persen dan minyak goreng meroket 58 persen. “Kalau kondisinya terus seperti ini, tentu sangat mengkhawatirkan (karena bisa terjadi kelaparan),” tegas Abeer Etefa, juru bicara World Food Program, di perbatasan Mesir-Libya.

Karena itu, lanjut dia, pihaknya berencana melakukan operasi darurat untuk menyuplai makanan kepada sekitar 600 ribu warga sipil di sejumlah kota yang saat ini terancam kelaparan.

Seorang pejabat pemerintahan AS juga menuturkan bahwa sekitar 80 ribu warga sipil di Libya saat ini tak punya tempat tinggal atau terusir paksa. “Jumlah riilnya bahkan mungkin bisa lebih tinggi,” ungkap si pejabat itu kepada Washington Post. (bbs/ttg/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/