JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Saat ini merupakan detik-detik krusial upaya pembebasan Satinah binti Jumaidi Ahmad dari eksekusi pancung. Menurut sejumlah informasi, TKI Arab Saudi yang membunuh majikannya itu akan dieksekusi awal April depan. Perkiraan itu menyusul batas akhir atau deadline pembayaran diyat kepada keluarga korban.
Ramai diperbincangkan oleh publik, saat ini harga leher TKI asal Semarang, Jawa Tengah itu senilai Rp 21 miliar. Harga itu merujuk pada tuntutan uang darah atau diyat keluarga korban senilai 7 juta riyal. Harga kompensasi yang dipatok keluarga ahli waris korban pembunuhan yang dilakukan Satinah itu sudah dikorting beberapa kali.
Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Wardana mengatakan, laporan dari satuan tugas penanganan WNI yang terancam hukuman mati menyebutkan bahwa awalnya keluarga korban menuntut uang diyat sebesar 15 juta riyal (kurs saat ini senilai Rp 45,5 miliar). Kemudian setelah beberapa negosiasi, tuntutan uang diyat itu diturunkan menjadi 10 juta riyal (senilai Rp 30,3 miliar).
“Sementara posisi saat ini, tuntutan uang diyat sebesar 7 juta riyal (senilai sekitar Rp 21,2 miliar, red),” katanya di kantor Kemenlu kemarin. Wardana mengatakan saat ini sudah terkumpul uang sebesar 4 juta riyal (senilai Rp 12,1 miliar) untuk membantu keluarga Satinah memenuhi tuntutan keluarga korban pembunuhan yang dilakukan perempuan kelahiran Semarang, 27 Juli 1969 itu.
Wardana mengatakan uang bantuan untuk keluarga Satinah itu sudah dititipkan ke pengadilan yang memperkarakan kasus Satinah. “Semoga keluarga korban menerima uang diyat yang sudah kami titipkan ke pengadilan itu,” katanya. Wardana merinci uang itu terkumpul dari dana perlindungan WNI sebesar 3 juta riyal, dan uang santunan dari sosiasi pengerah tenaga kerja serta donator Saudi masing-masing sebesar 500 ribu riyal.
Menurut Wardana skema pembebasan Satinah melalui pembayaran uang diyat itu tidak dilakukan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Saudi. Tetapi langsung antara keluarga korban dengan keluarga Satinah. Untuk itu dia menegaskan uang tadi sudah diberikan ke keluarga Satinah dengan status dana bantuan.
Mantan ketua satgas penanganan WNI yang terancam hukuman mati Maftuh Basyuni mengatakan, pemerintah Saudi sudah melakukan lobi-lobi kepada keluarga ahli waris korban pembunuhan itu. “Supaya jangan mengambil kesempatan dari orang yang sedang kesusahan. Meskipun Satinah sudah mengakui membunuh majikannya. Tetapi itu bukan pembunuhan berencana,” papar Maftuh.
Maftuh mengatakan uang yang sudah disiapkan senilai 4 juta riyal itu sejatinya sudah sangat besar. Dia lantas membuka informasi dari kerajaan Saudi, bahwa lazimnya uang diyat kasus pembunuhan itu sekitar 500 ribu riyal (sekitar Rp 1,5 miliar).
Mantan Menteri Agama itu mengatakan, masyarakat di Indonesia perlu mengetahui bahwa awalnya Satinah itu divonis hukuman mati mutlak. Dengan vonis itu, maka sudah tertutup jalan untuk permohonan pengampunan dari keluarga korban.
Tetapi setelah ada intervensi dari pemerintah Indonesia, vonis Satinah yang hukuman mati mutlak itu ditinjau ulang. Akhirnya hukumannya diganti menjadi qisas. Sehingga Satinah berpeluang bebas asalkan mendapatkan pengampunan dari keluarga korban. Budaya di Saudi umumnya pengampunan itu tidak gratis. Tetapi harus membayar uang darah atau diyat kepada keluarga ahli waris korban.
“Saya optimis Satinah bisa bebas dari hukuman mati,” kata mantan Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi itu. Asalkan keluarga korban dengan legawa menerima uang yang sudah disiapkan sebesar 4 juta riyal itu. Atau jika belum terwujud, uang yang disiapkan itu harus ditambah hingga disepakati keluarga korban.
Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Gatot Abdullah Mansyur menuturkan ketika masih berdinas di Saudi sebagai dubes, dia sering melihat langsung kondisi Satinah. Dia bahkan menjenguk Satinah di penjara bersama anak dan saudara kandung Satinah.
“Satinah sehat, tegar, dan badannya gemuk,” papar Gatot. Dia mengatakan di dalam penjara ternyata Satinah menjalani hari-harinya dengan menghafal Alquran. Dia mengatakan saat ini Satinah sudah hafal beberapa juz Alquran. Gatot juga mengatakan, anak Satinah pernah menulis surat langsung kepada ahli waris majikan Satinah. Intinya anak Satinah meminta pengampunan untuk ibunya.
Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kemenlu Tatang Razaq mengatakan semua kepedulian yang ditujukan kepada Satinah harus terukur. “Prinsipnya harus menjunjung asal keadilan,” paparnya. Tatang menegaskan bahwa Satinah membunuh majikaanya tidak terencana seperti tuduhan keluarga korban.
Indikasinya Satinah membunuh majikannya dengan alat pebuat kue yang terbuat dari kayu. Alat itu dipukulkan ke kepala dan beberapa saat kemudian si majikan itu tewas. “Menghadapi kasus ini jangan gadug,” tandas Tatang.
Dia mengatakan sampai saat ini belum ada kepastian kapan tanggal eksekusi Satinah. Menurut Tatang tanggal 3 April itu merupakan batas akhir pembayaran uang diyat, bukan tanggal eksekusi mati. “Apa yang terjadi jika hingga tanggal itu perundingan buntu? Wallahu a”lam,” katanya.
Tatang mengingatkan bahwa Satinah sejatinya sudah dieksekusi pada 2011 silam. Tetapi setelah ada upaya perlindungan dari pemerintah, batas akhir pembayaran diyat diperpanjang hingga lima kali sampai awal April depan. Dengan kecenderunga itu, pemerintah optimis peluang untuk membebaskan Satinah belum tertutup.
Menkopolhukam Djoko Suyanto menuturkan pemerintah selalu berupaya keras untuk membebaskan setiap TKI yang terancam hukuman mati, tidak terkecuali Satinah. Dia mencontohkan, ketika TKI bernama Sadinem terancam hukuman pancung di Arab Saudi, pemerintah Indonesia juga melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan yang bersangkutan. “Seluruh upaya saat itu dilakukan pemerintah Indonesia, termasuk surat Presiden kepada Raja Saudi, dan beberapa diantaranya sudah dikabulkan,”ujarnya kepada wartawan, kemarin.
Namun, lanjut Djoko, kasus Satinah dinilai cukup berat. Sebab, keluarga majikan meminta uang diyat yang jumlahnya cukup sulit dipenuhi pemerintah. Menurut dia, secara adat, jumlah uang diyat biasanya setara dengan harga 100 sampai 150 ekor unta atau sekitar Rp 2 miliar. “Khusus untuk Satinah ini, permintaah uang diyat yang sangat tidak masuk akal, permintaannya sekitar Rp 25 miliar. Karena itu, dalam rapat Kemenkopolhukam, permintaan Rp 25 miliar meski tidak bisa diukur dengan harga nyawa. Namun, itu berlebihan dan bisa menjadi komoditi yang tidak pas, tidak bagus di masa depan, karena yang bersangkutan melakukan tindak kejahatan dan pembunuhan, membawa lari harta majikannya,”lanjutnya.
Djoko menuturkan, kasus Satinah memang cukup berat. Sebab, yang bersangkutan terbukti bersalah di pengadilan. Namun, bukan berarti pemerintah tidak berupaya keras. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menulis surat kepada raja Arab Saudi Abdullah bin Abdulaziz untuk meringankan hukuman bagi Satinah. Sementara kementriannya telah mengirim tim pengacara untuk membela Satinah, dan mengirimkan tim khusus untuk melobby keluarga korban.
“Dalam proses pengadilan, pemerintah Saudi dan Indonesia tidak bisa campuri proses pengadilan, tapi sudah diputuskan bersalah. Kita tidak bisa berargumen, meski demikian kita melakukan puluhan upaya hukum, pengampunan raja sudah diberikan, upaya terakhir dari pihak keluarga,”imbuhnya. (wan/kem)