Seperti di Wisconsin, di dua negara bagian tersebut juga muncul anomali-anomali yang mengindikasikan adanya kecurangan. Stein kian yakin dengan kecurigaannya itu ketika dua pakar juga menyatakan hal yang sama. Salah seorang di antara mereka, J. Alex Halderman, pakar pemilu dari University of Michigan.
Bersama aktivis HAM John Bonifaz, Halderman mengatakan bahwa pemungutan suara elektronik di Wisconsin menguntungkan Trump.
’’Perolehan suara Clinton di negara bagian tersebut berbeda sekitar 7 persen dari proyeksi awal. Itu terjadi di sejumlah county yang menggunakan metode pemungutan suara elektronik,’’ ungkap Halderman.
Oleh karena itu, perlu dilakukan penghitungan suara ulang. Tetapi, karena pemungutan suara dilakukan secara elektronik, tidak ada kertas suara yang bisa menjadi bukti fisik.
Sebenarnya, Stein berharap agar Clinton pun menggugat hasil penghitungan suara di Rust Belt. Sebab, politikus 69 tahun itulah yang dirugikan. Tetapi, kubu Clinton tidak merespons aksi Stein tersebut. Justru kubu Trump-lah yang berkomentar.
Kellyanne Conway, penasihat senior Trump, menyebut penghitungan suara ulang sebagai langkah yang ironis. Dia yakin, penghitungan suara ulang tidak akan mengubah apa pun.
Saat ini selisih perolehan suara Clinton dan Trump secara popular vote sudah tembus angka 2 juta untuk kemenangan sang mantan first lady.
Sedangkan secara electoral vote, Clinton yang hanya mengantongi 232 suara kalah oleh Trump yang mendapat 306 suara. Jika penghitungan suara ulang Wisconsin berpihak kepada Clinton, dukungan electoral vote Trump akan berkurang 10.
Namun, jika hanya membalikkan suara di Wisconsin yang sejak 1984 selalu memenangkan capres Partai Demokrat, Clinton masih belum bisa memperbaiki nasibnya.
Tetapi, jika dia menang di dua negara bagian lain yang juga digugat Stein, perubahan besar akan terjadi. Sebab, total electoral vote di tiga negara bagian itu 46.
Jika Trump kehilangan 46 suara yang lantas menambahi suara Clinton, Trump batal menjadi presiden. (afp/reuters/cnn/bbc/hep/c4/any/jpnn)