30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Tripoli Dibombardir, Kadhafi Terdesak

AJDABIYA-Pertanyaan besar kini pantas diajukan kepada pasukan koalisi, apa sebenarnya prioritas mereka, melindungi warga sipil atau menjatuhkan rezim Muammar Kadhafi. Itu muncul setelah kemarin (28/3) pasukan yang dimotori Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis tersebut memutuskan untuk mengambil langkah kontroversial, menggempur Sirte.

Langkah itu kontroversial karena sejak Revolusi Libya mulai meletus 15 Februari lalu, tak pernah ada gerakan anti-Kadhafi di sana. Sebab, Sirte adalah kota kelahiran sang kolonel sekaligus pusat kekuatan pro pemerintah.
Otomatis pula, tak ada pembantaian warga sipil di kota yang pernah diusulkan oleh Kadhafi sebagai ibu kota Libya tersebut. Padahal, mencegah pembantaian sipil adalah klaim yang selama ini dikumandangkan oleh koalisi sebagai argumen untuk menggempur negeri di Afrika Utara itu dari udara.

Dari perspektif tersebut, koalisi tak punya alasan untuk menyerang kota berpenduduk sekitar 140 ribu jiwa itu. Namun, koalisi di bawah kendali NATO toh tetap menggempur.

Seperti dilaporkan oleh BBC, berdasar kesaksian sejumlah jurnalis dari berbagai negara di Sirte, seharian kemarin jet tempur NATO bermanuver di langit kota pelabuhan yang terletak di antara ibu kota Tripolin
di barat dan “ibu kota” pemberontak Benghazi di timur itu.

Setidaknya, sembilan ledakan besar terdengar. Klaim pemerintah Libya, serangan tersebut mengakibatkan tiga warga sipil di Sirte tewas. Namun, sulit mengonfirmasi kabar itu secara independen.

Serangan dari udara tersebut jelas mempermudah gerak pasukan pemberontak yang selama dua hari sebelumnya merebut empat kota di wilayah timur Libya, yaitu Ajdabiya, Uqayla, Ras Lanuf, dan Brega.
“Sirte sudah jatuh ke tangan kami,” klaim seorang juru bicara pemberontak kepada BBC.
Namun, klaim itu diragukan. Sebab, kesaksian sejumlah jurnalis, sebagaimana dilansir BBC, Reuters, dan The Guardian, mengatakan bahwa Sirte masih dikontrol rezim Kadhafi. Kabarnya, gerak pasukan pemberontak terhenti di kota kecil Bin Jawad, 140 kilometer di sebelah timur Sirte, yang kemarin mereka kuasai.

Meski demikian, kalau koalisi, dalam hal ini lewat NATO, tetap meneruskan serangan udara ke Sirte, kota yang terletak 450 kilometer ke arah timur dari Tripoli itu tinggal menunggu waktu untuk lepas dari genggaman Kadhafi.
Jika itu benar terjadi, praktis Kadhafi semakin tersudut di Tripoli. Sebab, kota berikutnya dari Sirte, Misrata, juga sejak lama dikuasai pemberontak kendati pasukan pemerintah tetap memberikan perlawanan sengit.

Bahkan, versi pemberontak, dalam serbuan terakhir pasukan pemerintah ke Misrata kemarin, delapan orang tewas dan 26 lainnya terluka. Televisi pemerintah juga menyatakan bahwa Misrata telah “aman” dan kehidupan di kota terbesar ketiga di Libya itu telah kembali normal.

“Pasukan pemerintah telah menangkapi geng-geng teroris,” tutur seorang juru bicara pasukan Kadhafi, seperti dikutip Reuters dari televisi pemerintah.

Ada pula analisis dari New York Times yang menyebutkan bahwa Kadhafi memang memilih mengonsentrasikan pasukan untuk mati-matian mempertahankan diri. Tripoli dan kota-kota kecil di sekitarnya di wilayah barat, seperti Zuwarah, Zuwaiyah, dan Nalut, memang masih dikontrol pasukan pemerintah.

Namun, kalau Sirte jatuh dan serbuan udara berlanjut, katakanlah selama tiga bulan seperti klaim NATO, Kadhafi sulit bertahan. Karena itu, Qatar kemarin menjadi negara pertama yang mengakui kubu pemberontak, resminya bernama Dewan Transisi Nasional, sebagai wakil resmi Libya. Qatar juga siap menjadi perantara penjualan minyak dari Brega dan Ras Lanuf, dua kota penghasil minyak terbesar di Libya, yang produksinya terhenti sejak 15 Februari lalu. Tetapi, proses produksi itu juga masih harus menunggu kembalinya para pekerja pertambangan asing yang meninggalkan Libya seiring dengan meletusnya revolusi. (c11/ttg/jpnn)

AJDABIYA-Pertanyaan besar kini pantas diajukan kepada pasukan koalisi, apa sebenarnya prioritas mereka, melindungi warga sipil atau menjatuhkan rezim Muammar Kadhafi. Itu muncul setelah kemarin (28/3) pasukan yang dimotori Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis tersebut memutuskan untuk mengambil langkah kontroversial, menggempur Sirte.

Langkah itu kontroversial karena sejak Revolusi Libya mulai meletus 15 Februari lalu, tak pernah ada gerakan anti-Kadhafi di sana. Sebab, Sirte adalah kota kelahiran sang kolonel sekaligus pusat kekuatan pro pemerintah.
Otomatis pula, tak ada pembantaian warga sipil di kota yang pernah diusulkan oleh Kadhafi sebagai ibu kota Libya tersebut. Padahal, mencegah pembantaian sipil adalah klaim yang selama ini dikumandangkan oleh koalisi sebagai argumen untuk menggempur negeri di Afrika Utara itu dari udara.

Dari perspektif tersebut, koalisi tak punya alasan untuk menyerang kota berpenduduk sekitar 140 ribu jiwa itu. Namun, koalisi di bawah kendali NATO toh tetap menggempur.

Seperti dilaporkan oleh BBC, berdasar kesaksian sejumlah jurnalis dari berbagai negara di Sirte, seharian kemarin jet tempur NATO bermanuver di langit kota pelabuhan yang terletak di antara ibu kota Tripolin
di barat dan “ibu kota” pemberontak Benghazi di timur itu.

Setidaknya, sembilan ledakan besar terdengar. Klaim pemerintah Libya, serangan tersebut mengakibatkan tiga warga sipil di Sirte tewas. Namun, sulit mengonfirmasi kabar itu secara independen.

Serangan dari udara tersebut jelas mempermudah gerak pasukan pemberontak yang selama dua hari sebelumnya merebut empat kota di wilayah timur Libya, yaitu Ajdabiya, Uqayla, Ras Lanuf, dan Brega.
“Sirte sudah jatuh ke tangan kami,” klaim seorang juru bicara pemberontak kepada BBC.
Namun, klaim itu diragukan. Sebab, kesaksian sejumlah jurnalis, sebagaimana dilansir BBC, Reuters, dan The Guardian, mengatakan bahwa Sirte masih dikontrol rezim Kadhafi. Kabarnya, gerak pasukan pemberontak terhenti di kota kecil Bin Jawad, 140 kilometer di sebelah timur Sirte, yang kemarin mereka kuasai.

Meski demikian, kalau koalisi, dalam hal ini lewat NATO, tetap meneruskan serangan udara ke Sirte, kota yang terletak 450 kilometer ke arah timur dari Tripoli itu tinggal menunggu waktu untuk lepas dari genggaman Kadhafi.
Jika itu benar terjadi, praktis Kadhafi semakin tersudut di Tripoli. Sebab, kota berikutnya dari Sirte, Misrata, juga sejak lama dikuasai pemberontak kendati pasukan pemerintah tetap memberikan perlawanan sengit.

Bahkan, versi pemberontak, dalam serbuan terakhir pasukan pemerintah ke Misrata kemarin, delapan orang tewas dan 26 lainnya terluka. Televisi pemerintah juga menyatakan bahwa Misrata telah “aman” dan kehidupan di kota terbesar ketiga di Libya itu telah kembali normal.

“Pasukan pemerintah telah menangkapi geng-geng teroris,” tutur seorang juru bicara pasukan Kadhafi, seperti dikutip Reuters dari televisi pemerintah.

Ada pula analisis dari New York Times yang menyebutkan bahwa Kadhafi memang memilih mengonsentrasikan pasukan untuk mati-matian mempertahankan diri. Tripoli dan kota-kota kecil di sekitarnya di wilayah barat, seperti Zuwarah, Zuwaiyah, dan Nalut, memang masih dikontrol pasukan pemerintah.

Namun, kalau Sirte jatuh dan serbuan udara berlanjut, katakanlah selama tiga bulan seperti klaim NATO, Kadhafi sulit bertahan. Karena itu, Qatar kemarin menjadi negara pertama yang mengakui kubu pemberontak, resminya bernama Dewan Transisi Nasional, sebagai wakil resmi Libya. Qatar juga siap menjadi perantara penjualan minyak dari Brega dan Ras Lanuf, dua kota penghasil minyak terbesar di Libya, yang produksinya terhenti sejak 15 Februari lalu. Tetapi, proses produksi itu juga masih harus menunggu kembalinya para pekerja pertambangan asing yang meninggalkan Libya seiring dengan meletusnya revolusi. (c11/ttg/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/