25.6 C
Medan
Sunday, June 2, 2024

Harry, Will You Marry Me

Antusiasme Teenagers Menyaksikan Royal Wedding

Sejak Kamis malam (28/4), semakin banyak saja warga yang menginap di jalanan demi menunggu prosesi pernikahan Pangeran William-Kate Middleton keesokannya (29/4). Jawa Pos ikut membaur bersama ribuan warga itu.

D. WIDHIANDONO, London

APA yang kamu nanti sehingga rela menginap di jalan pada malam yang dingin ini? “The big kiss! The big balcony kiss,” ujar Catherine Smith, remaja asal Ruislip, Inggris, kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos).

Malam itu ,Kamis (28/4) pukul 20.00. Meski malam, langit masih terang. Seperti menjelang magrib kalau di Indonesia. Hanya mendung tebal yang membuat langit kian gelap.

Angin terus-menerus mengganggu orang-orang yang sedang duduk-duduk di ratusan tenda yang terhampar mulai Buckingham Palace hingga ujung The Mall, jalan lebar di depan istana sejauh sekitar dua kilometer.

Angin boleh dingin. Tapi, suasana sejatinya begitu hangat. Sepanjang mata memandang, orang-orang melambaikan bendera-bendera kecil bergambar wajah Pangeran William dan Kate Middleton. Yang tak punya bendera bisa membeli di penjual keliling yang beroperasi di sekitar itu. Harganya 1 poundsterling (sekitar Rp14.500) untuk bendera kecil dan 2,5 poundsterling (sekitar Rp36 ribuan) untuk yang berukuran besar. Semakin malam, harga bendera kian mahal.

Yang tidak punya bendera melambaikan apa saja. Topi-topi bermotif bendera Inggris, kertas-kertas bertulisan aneka harapan dan doa, juga kain warna-warni. Pokoknya ada yang dilambaikan. Seru sekali.

Malam itu Catherine sedang menggambari wajah Alice Edwards, kawannya. Gambarnya motif bendera Inggris. “Kami tidak mau besok pagi harus terburu-buru menggambar bendera. Jadi, sekarang saja menggambarnya.

Asal dia tidak tertidur dan gambarnya jadi terhapus,” kata Catherine.
Dua gadis itu tak mau menyebutkan umurnya. Yang jelas, masih remaja. Teenager, kata mereka. Catherine dan Alice boleh jadi berusia belasan.

Mereka mungkin juga masih jauh dari pemikiran soal masih perlukah Inggris mempertahankan sistem monarki. Atau, sudah saatnyakah Inggris beralih menganut sistem republik seperti negara-negara “modern” lainnya.

Bahkan, ketika ditanya apakah mereka mencintai keluarga monarki, dua gadis itu hanya mengangkat bahu lantas tertawa. “Yang penting, kami sekarang menikmati atmosfer ini. Kami ingin menjadi part of the story,” ujar Catherine. “Ya betul. Teman-teman yang tidak bisa datang ke sini pasti iri. Sebab, kami tepat berada di depan istana untuk melihat sang pangeran besok,” timpal Alice.

Dua gadis tersebut memang menyatakan bahwa pengorbanan menginap di jalan pada malam yang dingin itu dilakukan lantaran mereka ingin gaul. Mereka ingin menjadi bagian kecil dari sebuah kisah besar yang sedang disaksikan miliaran mata penduduk dunia.

Sementara itu, sejumlah penginap yang cukup berumur, yang asli Inggris, lebih menganggap bahwa mereka punya ikatan batin dengan monarki. Mereka mencintai keluarga kerajaan. “Merekalah simbol pemersatu Inggris.

Mereka cerminan Inggris yang asli. Jauh lebih besar ketimbang Big Ben,” ujar Samantha Smith, 65, yang menginap bersama anak dan cucunya. Mereka mendirikan tenda di samping gerbang Clarence House, tempat tinggal resmi Pangeran Charles dan anak-anaknya. Di situlah mereka berharap bisa melihat Pangeran William dan Pangeran Harry.

Malam semakin larut. Mendekati dini hari, orang-orang yang berdatangan ke areal The Mall dan Buckingham Palace kian banyak. Mereka membawa peralatan kamping lengkap. Tapi, yang datang tengah malam ini sudah pasti susah mendapat tempat terdepan. Setidaknya, mereka masih mendapat baris ketiga hingga keempat. Orang-orang di baris pertama pun mulai mati-matian menjaga tempatnya.

Berdasar pengamatan Jawa Pos, meski saling bersaing mendapatkan tempat terdepan, orang-orang itu tak sampai gontok-gontokan. Mereka masih bisa bersanding dalam kebahagiaan, menanti pernikahan akbar seorang pangeran dan seorang putri yang telah mencuri hatinya.

Memang, salah satu daya tarik terbesar dalam royal wedding itu adalah pangeran-pangeran Inggris yang ganteng-ganteng tersebut. Kegantengan mereka sudah lama tampil di media sejak masih bayi. Warga juga masih mengingat saat mereka dengan cool berjalan di belakang peti mati Putri Diana, ibu Pangeran William dan Pangeran Harry, pada 1997.

“Pangeran William sudah ada yang punya. Tapi, saya masih punya kesempatan dengan Pangeran Harry,” ujar Cecille, perempuan yang memakai baju bertulisan Suatu Hari Kunikahi Pangeran Harry.

Tulisan-tulisan senada banyak tersebar. Misalnya, Harry, Will You Marry Me. Ada juga yang menulis: Harry, I’m Good Enough to Be A Princess! “Tentu saja, gadis mana yang tidak mau dinikahi pangeran,” tegas Cecille. Itu pula yang katanya membuat dirinya rela menghabiskan malam yang dingin di pinggir jalan.

Memang, bagi orang-orang ’modern’ sekalipun, kisah cinta antara pangeran dan gadis biasa yang akhirnya menjadi putri tetap menarik. Sambil menonton, tentu di antara penonton ada yang berharap bisa bernasib seberuntung Kate Middleton. Dipinang pangeran, tinggal di istana yang megah, dan hidup bahagia selamanya.

Dini hari mulai datang. Dingin kian menggigit. Jalan-jalan di sekitar istana mulai ditutup, bahkan untuk pejalan kaki. Tapi, kemeriahan dan kehangatan orang-orang yang menunggu prosesi itu masih tetap terjaga. Mereka tetap bernyanyi-nyanyi sepanjang malam, menunggu lewatnya sang pangeran. (c5/kum/jpnn)

Antusiasme Teenagers Menyaksikan Royal Wedding

Sejak Kamis malam (28/4), semakin banyak saja warga yang menginap di jalanan demi menunggu prosesi pernikahan Pangeran William-Kate Middleton keesokannya (29/4). Jawa Pos ikut membaur bersama ribuan warga itu.

D. WIDHIANDONO, London

APA yang kamu nanti sehingga rela menginap di jalan pada malam yang dingin ini? “The big kiss! The big balcony kiss,” ujar Catherine Smith, remaja asal Ruislip, Inggris, kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos).

Malam itu ,Kamis (28/4) pukul 20.00. Meski malam, langit masih terang. Seperti menjelang magrib kalau di Indonesia. Hanya mendung tebal yang membuat langit kian gelap.

Angin terus-menerus mengganggu orang-orang yang sedang duduk-duduk di ratusan tenda yang terhampar mulai Buckingham Palace hingga ujung The Mall, jalan lebar di depan istana sejauh sekitar dua kilometer.

Angin boleh dingin. Tapi, suasana sejatinya begitu hangat. Sepanjang mata memandang, orang-orang melambaikan bendera-bendera kecil bergambar wajah Pangeran William dan Kate Middleton. Yang tak punya bendera bisa membeli di penjual keliling yang beroperasi di sekitar itu. Harganya 1 poundsterling (sekitar Rp14.500) untuk bendera kecil dan 2,5 poundsterling (sekitar Rp36 ribuan) untuk yang berukuran besar. Semakin malam, harga bendera kian mahal.

Yang tidak punya bendera melambaikan apa saja. Topi-topi bermotif bendera Inggris, kertas-kertas bertulisan aneka harapan dan doa, juga kain warna-warni. Pokoknya ada yang dilambaikan. Seru sekali.

Malam itu Catherine sedang menggambari wajah Alice Edwards, kawannya. Gambarnya motif bendera Inggris. “Kami tidak mau besok pagi harus terburu-buru menggambar bendera. Jadi, sekarang saja menggambarnya.

Asal dia tidak tertidur dan gambarnya jadi terhapus,” kata Catherine.
Dua gadis itu tak mau menyebutkan umurnya. Yang jelas, masih remaja. Teenager, kata mereka. Catherine dan Alice boleh jadi berusia belasan.

Mereka mungkin juga masih jauh dari pemikiran soal masih perlukah Inggris mempertahankan sistem monarki. Atau, sudah saatnyakah Inggris beralih menganut sistem republik seperti negara-negara “modern” lainnya.

Bahkan, ketika ditanya apakah mereka mencintai keluarga monarki, dua gadis itu hanya mengangkat bahu lantas tertawa. “Yang penting, kami sekarang menikmati atmosfer ini. Kami ingin menjadi part of the story,” ujar Catherine. “Ya betul. Teman-teman yang tidak bisa datang ke sini pasti iri. Sebab, kami tepat berada di depan istana untuk melihat sang pangeran besok,” timpal Alice.

Dua gadis tersebut memang menyatakan bahwa pengorbanan menginap di jalan pada malam yang dingin itu dilakukan lantaran mereka ingin gaul. Mereka ingin menjadi bagian kecil dari sebuah kisah besar yang sedang disaksikan miliaran mata penduduk dunia.

Sementara itu, sejumlah penginap yang cukup berumur, yang asli Inggris, lebih menganggap bahwa mereka punya ikatan batin dengan monarki. Mereka mencintai keluarga kerajaan. “Merekalah simbol pemersatu Inggris.

Mereka cerminan Inggris yang asli. Jauh lebih besar ketimbang Big Ben,” ujar Samantha Smith, 65, yang menginap bersama anak dan cucunya. Mereka mendirikan tenda di samping gerbang Clarence House, tempat tinggal resmi Pangeran Charles dan anak-anaknya. Di situlah mereka berharap bisa melihat Pangeran William dan Pangeran Harry.

Malam semakin larut. Mendekati dini hari, orang-orang yang berdatangan ke areal The Mall dan Buckingham Palace kian banyak. Mereka membawa peralatan kamping lengkap. Tapi, yang datang tengah malam ini sudah pasti susah mendapat tempat terdepan. Setidaknya, mereka masih mendapat baris ketiga hingga keempat. Orang-orang di baris pertama pun mulai mati-matian menjaga tempatnya.

Berdasar pengamatan Jawa Pos, meski saling bersaing mendapatkan tempat terdepan, orang-orang itu tak sampai gontok-gontokan. Mereka masih bisa bersanding dalam kebahagiaan, menanti pernikahan akbar seorang pangeran dan seorang putri yang telah mencuri hatinya.

Memang, salah satu daya tarik terbesar dalam royal wedding itu adalah pangeran-pangeran Inggris yang ganteng-ganteng tersebut. Kegantengan mereka sudah lama tampil di media sejak masih bayi. Warga juga masih mengingat saat mereka dengan cool berjalan di belakang peti mati Putri Diana, ibu Pangeran William dan Pangeran Harry, pada 1997.

“Pangeran William sudah ada yang punya. Tapi, saya masih punya kesempatan dengan Pangeran Harry,” ujar Cecille, perempuan yang memakai baju bertulisan Suatu Hari Kunikahi Pangeran Harry.

Tulisan-tulisan senada banyak tersebar. Misalnya, Harry, Will You Marry Me. Ada juga yang menulis: Harry, I’m Good Enough to Be A Princess! “Tentu saja, gadis mana yang tidak mau dinikahi pangeran,” tegas Cecille. Itu pula yang katanya membuat dirinya rela menghabiskan malam yang dingin di pinggir jalan.

Memang, bagi orang-orang ’modern’ sekalipun, kisah cinta antara pangeran dan gadis biasa yang akhirnya menjadi putri tetap menarik. Sambil menonton, tentu di antara penonton ada yang berharap bisa bernasib seberuntung Kate Middleton. Dipinang pangeran, tinggal di istana yang megah, dan hidup bahagia selamanya.

Dini hari mulai datang. Dingin kian menggigit. Jalan-jalan di sekitar istana mulai ditutup, bahkan untuk pejalan kaki. Tapi, kemeriahan dan kehangatan orang-orang yang menunggu prosesi itu masih tetap terjaga. Mereka tetap bernyanyi-nyanyi sepanjang malam, menunggu lewatnya sang pangeran. (c5/kum/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/