Tahir Abbas dari Royal United Services Institute mengatakan, ‘’Ini merupakan situasi yang sulit bagi banyak negara di Eropa Barat. Sebuah masyarakat minoritas Muslim berkembang pesat dan dilatar belakangi dengan berbagai aspek demografi mereka, sementara penduduk mayoritas tidak berkembang sedemikian cepatnya. Jadi ada perkembangan yang kasat mata dan disadari namun acapkali dimuati dengan persepsi-persepsi negatif’’.
Pemerintah Trump mengatakan kebijakan itu serupa dengan apa yang dilakukan Presiden Barack Obama pada tahun 2011 ketika ia melarang pengungsi dari Irak selama enam bulan. Tujuh negara yang disebut dalam perintah eksekutif Trump adalah negara-negara yang sama yang sebelumnya diidentifikasi pemerintah Obama sebagai sumber teror.
“Intervensi kebijakan baru ini merupakan kelanjutan kebijakan dari masa lalu, tetapi yang menjadi masalah sekarang adalah prosesnya, yakni dikeluarkan pada minggu-minggu pertama pemeritahan Trump, ketika begitu banyak gagasan Trump membuat orang mengernyitkan alis serta ada iklim simpati terhadap pengungsi sehingga masyarakat liberal kiri menjadi marah,” tambah Tahir Abbas.
Sementara, demonstrasi menentang larangan Trump semakin luas dan keras, banyaknya pemilih yang bersimpati dengan gerakan nasionalis membuat khawatir para pemimpin di Eropa dan mereka bertindak hati-hati. Apa yang mereka katakan dan bagaimana mengatakannya bisa merugikan mereka saat beberapa negara akan menyelenggarakan pemilu tahun ini. (voa)