31.7 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Batuk Rejan (Pertusis) pada Anak Berbahayakah?

Batuk merupakan hal yang biasa pada anak namun jika batuk terus menerus bahkan sampai sesak dan muntah tentu bukanlah hal yang sepele lagi. Batuk demikian bisa merupakan batuk rejan atau yang sering disebut pertusis oleh kalangan medis. Batuk rejan atau batuk 100 hari begitulah istilah yang sering kita dengar. Namun  apakah sebenarnya batuk rejan atau pertusis itu? Mari kita telusuri lebih lanjut.

Ilustrasi: Anak batuk
Ilustrasi: Anak batuk

Pertusis adalah infeksi pada saluran nafas atas yang sangat menular dan menyebabkan batuk yang biasanya diakhiri dengan suara nafas dalam bernada tinggi (melengking/whoop). Pertusis dapat menyerang usia berapapun tetapi lebih sering ditemukan pada anak berusia di bawah 4 tahun dan menyebabkan kematian terutama pada anak dibawah usia 1 tahun.

Pertusis disebabkan oleh infeksi bakteri Bordatella pertusis yaitu suatu kokobasilus gram negative yang tidak berspora. Bakteri ini mampu bertahan pada suhu 0-100C, dan mati pada pemanasan dengan suhu 500 C selama setengah jam. Bakteri ini ditularkan melalui udara lewat percikan droplet/air ludah penderita, atau melalui barang-barang yang telah terkontaminasi seperti mainan dan sapu tangan pada anak-anak. Ketika penderita batuk atau bersin maka ribuan kuman akan tersebar ke lingkungan sekitar, itulah mengapa penyakit ini sangat menular. Gejala timbul dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi.

Bakteri ini menginvasi sel epitel bersilia saluran nafas, kemudian bermultiplikasi dan menghasilkan toxin sehingga menyebabkan inflamasi dan neekrosis trakea dan bronkus. Terjadi pembengkakan kelenjar limfoid peribronkial dan nekrose sel epitel basal pada bronkus.
Proses infeksi  berlangsung selama 6 minggu yang berkembang melalui 3 fase yaitu:

  1. Stadium kataral ( 7-10 hari setelah terinfeksi)
    Ditandai dengan gejala seperti flu ringan yaitu: bersin-bersin, mata berair, nafsu makan menurun, batuk, lesu.
  2. Stadium paroximal (10-14 hari setelah gejala pertama)
    Pada fase ini baru timbul gejala khas berupa batuk paroksimal atau hebat dengan frekuensi 5-10 kali, selama batuk anak tidak dapat bernafas dan pada akhir serangan batuk anak menarik napas dengan cepat dan dalam sehingga terdengar bunyi melengking (whoop) dan kadang disertai muntah-muntah.
  3. Stadium paroksismal ini berlangsung 4-8 minggu.
    Pada bayi batuk tidak khas, whoop tidak dijumpai tetapi sering disertai henti napas sehingga bayi menjadi lemas, apnoe, sianosis dan muntah.
  4. Stadium Konvalens (4-6 minggu setelah gejala awal)

Batuk dan muntah semakin berkurang, anak tampak lebih baik. Batuk biasanya masih menetap selama beberapa waktu dan akan menghilang dalam 2-3 minggu.

Namun pada beberapa pasien akan timbul serangan batuk paroksimal kembali dengan gejala whoop dan muntah-muntah. Kejadian ini terjadi berulang-ulang berbulan-bulan, bahkan bisa sampai 1-2 tahun.

Untuk menegakkan diagnose selain dari anamnese, pemeriksaan fisik, dokter biasanya juga akan melakukan pemeriksaan darah lengkap, kultur secret nasofaring, tes serologi, ELISA dan ronsen thoraks.

Komplikasi terparah biasanya terjadi pada bayi berupa:  pneumonia (peradangan jaringan paru), atelektase (kolaps jaringan paru), bronkiektasis (infeksi kontong saluran nafas kecil) dan apnoe (henti nafas). Yang biasa menyebabkan kematian adalah pneumonia dan apnoe.
Pada kasus yang berat biasanya pasien harus diopname di RS, dan diberikan suplementasi oksigen, dipasang cairan infus untuk mengatasi gangguan elektrolit akibat muntah, dan antibiotic eritromisin dengan dosis 50 mg/kg/hari dalam 3-4 dosis selama 5-7 hari, salbutamol untuk mengurangi serangan batuk paroksimal dan apnoe dengan dosis 0,3-0,5mg/kg/hari dalam 3 dosis dan steroid per oral yang diturunkan dosisnya secara bertahap.
Sedangkan terapi suportif lainnya berupa: Isolasi pasien di ruang perawatan yang tenang. pemberian nutrisi yang cukup dan menghindari makanan yang susah ditelan (makanan cair lebih baik).

Sebagian besar penderita mengalami pemulihan total, meskipun berlangsung lambat. Sekitar 1-2% anak dibawah 1 tahun meninggal. Kematian terjadi karena berkurangnya oksigen ke otak (ensefalopati anoksia) dan pneumonia.
Karena anak-anak sangat rentan terhadap infeksi pertusis, untuk mencegah infeksi  berat dapat dilakukan sedini mungkin dengan melakukan vaksinasi DPT ( Dipteri Pertusis Tetanus) terutama pada bayi  usia 2,4,6 bulan,dan diulang saat usia 18 bulan, 5 tahun dan 12 tahun. (*)

Batuk merupakan hal yang biasa pada anak namun jika batuk terus menerus bahkan sampai sesak dan muntah tentu bukanlah hal yang sepele lagi. Batuk demikian bisa merupakan batuk rejan atau yang sering disebut pertusis oleh kalangan medis. Batuk rejan atau batuk 100 hari begitulah istilah yang sering kita dengar. Namun  apakah sebenarnya batuk rejan atau pertusis itu? Mari kita telusuri lebih lanjut.

Ilustrasi: Anak batuk
Ilustrasi: Anak batuk

Pertusis adalah infeksi pada saluran nafas atas yang sangat menular dan menyebabkan batuk yang biasanya diakhiri dengan suara nafas dalam bernada tinggi (melengking/whoop). Pertusis dapat menyerang usia berapapun tetapi lebih sering ditemukan pada anak berusia di bawah 4 tahun dan menyebabkan kematian terutama pada anak dibawah usia 1 tahun.

Pertusis disebabkan oleh infeksi bakteri Bordatella pertusis yaitu suatu kokobasilus gram negative yang tidak berspora. Bakteri ini mampu bertahan pada suhu 0-100C, dan mati pada pemanasan dengan suhu 500 C selama setengah jam. Bakteri ini ditularkan melalui udara lewat percikan droplet/air ludah penderita, atau melalui barang-barang yang telah terkontaminasi seperti mainan dan sapu tangan pada anak-anak. Ketika penderita batuk atau bersin maka ribuan kuman akan tersebar ke lingkungan sekitar, itulah mengapa penyakit ini sangat menular. Gejala timbul dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi.

Bakteri ini menginvasi sel epitel bersilia saluran nafas, kemudian bermultiplikasi dan menghasilkan toxin sehingga menyebabkan inflamasi dan neekrosis trakea dan bronkus. Terjadi pembengkakan kelenjar limfoid peribronkial dan nekrose sel epitel basal pada bronkus.
Proses infeksi  berlangsung selama 6 minggu yang berkembang melalui 3 fase yaitu:

  1. Stadium kataral ( 7-10 hari setelah terinfeksi)
    Ditandai dengan gejala seperti flu ringan yaitu: bersin-bersin, mata berair, nafsu makan menurun, batuk, lesu.
  2. Stadium paroximal (10-14 hari setelah gejala pertama)
    Pada fase ini baru timbul gejala khas berupa batuk paroksimal atau hebat dengan frekuensi 5-10 kali, selama batuk anak tidak dapat bernafas dan pada akhir serangan batuk anak menarik napas dengan cepat dan dalam sehingga terdengar bunyi melengking (whoop) dan kadang disertai muntah-muntah.
  3. Stadium paroksismal ini berlangsung 4-8 minggu.
    Pada bayi batuk tidak khas, whoop tidak dijumpai tetapi sering disertai henti napas sehingga bayi menjadi lemas, apnoe, sianosis dan muntah.
  4. Stadium Konvalens (4-6 minggu setelah gejala awal)

Batuk dan muntah semakin berkurang, anak tampak lebih baik. Batuk biasanya masih menetap selama beberapa waktu dan akan menghilang dalam 2-3 minggu.

Namun pada beberapa pasien akan timbul serangan batuk paroksimal kembali dengan gejala whoop dan muntah-muntah. Kejadian ini terjadi berulang-ulang berbulan-bulan, bahkan bisa sampai 1-2 tahun.

Untuk menegakkan diagnose selain dari anamnese, pemeriksaan fisik, dokter biasanya juga akan melakukan pemeriksaan darah lengkap, kultur secret nasofaring, tes serologi, ELISA dan ronsen thoraks.

Komplikasi terparah biasanya terjadi pada bayi berupa:  pneumonia (peradangan jaringan paru), atelektase (kolaps jaringan paru), bronkiektasis (infeksi kontong saluran nafas kecil) dan apnoe (henti nafas). Yang biasa menyebabkan kematian adalah pneumonia dan apnoe.
Pada kasus yang berat biasanya pasien harus diopname di RS, dan diberikan suplementasi oksigen, dipasang cairan infus untuk mengatasi gangguan elektrolit akibat muntah, dan antibiotic eritromisin dengan dosis 50 mg/kg/hari dalam 3-4 dosis selama 5-7 hari, salbutamol untuk mengurangi serangan batuk paroksimal dan apnoe dengan dosis 0,3-0,5mg/kg/hari dalam 3 dosis dan steroid per oral yang diturunkan dosisnya secara bertahap.
Sedangkan terapi suportif lainnya berupa: Isolasi pasien di ruang perawatan yang tenang. pemberian nutrisi yang cukup dan menghindari makanan yang susah ditelan (makanan cair lebih baik).

Sebagian besar penderita mengalami pemulihan total, meskipun berlangsung lambat. Sekitar 1-2% anak dibawah 1 tahun meninggal. Kematian terjadi karena berkurangnya oksigen ke otak (ensefalopati anoksia) dan pneumonia.
Karena anak-anak sangat rentan terhadap infeksi pertusis, untuk mencegah infeksi  berat dapat dilakukan sedini mungkin dengan melakukan vaksinasi DPT ( Dipteri Pertusis Tetanus) terutama pada bayi  usia 2,4,6 bulan,dan diulang saat usia 18 bulan, 5 tahun dan 12 tahun. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/