27.8 C
Medan
Saturday, May 4, 2024

Rawan Resistensi, Ini Enam Ide Menggantikan Antibiotik

Resistensi antibiotik terjadi ketika suatu obat membasmi bakteri yang sensitif, namun sisa bakteri yang kebal bertahan dan berkembang biak.

SUMUTPOS.CO – Dunia sedang mendekati masa ketika antibiotik tak lagi ampuh untuk mengobati infeksi. Kita menggunakan antibiotik yang kini tersedia secara berlebihan – dan itu menyebabkan bakteri berevolusi dan mengembangkan resistensi terhadap obat yang dibuat untuk membasmi mereka.

Fenomena ini disebut resistensi antibiotik, yang diperkirakan akan menjadi salah satu tantangan terbesar di Abad 21.

 

Tapi ada kabar baik: berbagai organisasi, pemerintahan, inovator, dan ilmuwan di seluruh dunia tengah mencari jalan keluar dari masalah ini. Berikut ini beberapa metode yang dipakai dalam perjuangan melawan resistensi antibiotik.

BAKTERI MELAWAN BAKTERI

Jika obat-obatan telah gagal, kenapa tidak memakai bakteri untuk melawan bakteri?

Beberapa perusahaan bioteknologi berupaya memanfaatkan pemahaman yang terus berkembang tentang mikrobioma manusia, yaitu mikroba ‘baik’ yang hidup di dalam tubuh manusia. Mikroba tersebut menyokong sistem kekebalan tubuh kita, mencegah infeksi, dan mengatur metabolisme.

Pemahaman tentang mikrobioma dapat membantu pengembangan obat jenis baru yang melawan superbug – infeksi yang kebal terhadap obat, dan diperkirakan menewaskan lebih banyak orang daripada kanker pada 2050.

Vedanta Biosciences di Cambridge, Massachusetts, ialah perusahaan yang mendasarkan pengembangan obatnya pada anggapan bahwa banyak bakteri menyebabkan infeksi karena mikrobioma dalam tubuh pasien telah terkuras akibat penggunaan antibiotik berlebihan. Vedanta memanfaatkan penelitian tentang mikrobioma di seluruh dunia untuk mengidentifikasi bakteri ‘baik’ yang bisa mereka kemas dalam pil – solusi yang bisa ditelan dan kemudian merangsang sistem kekebalan tubuh.

“Terapi berbasis mikrobioma, misalnya konsorsium bakteri, ialah alternatif untuk antibiotik. Kita perlu mencari cara baru untuk mengobati infeksi yang tidak cenderung menyebabkan resistensi dan tidak merusak mikrobiota sehingga membuat pasien rawan terinfeksi kembali,” kata CEO Vedanta Bernat Olle.

Namun perlu dicatat bahwa para ilmuwan belum seutuhnya memahami mikrobioma manusia. Meski demikian, penelitian tentang itu sedang berkembang pesat dan Vedanta hampir mencapai tahapan uji klinis untuk dua produk obatnya. Jika obat-obatan itu ampuh, mereka dapat memberi dampak berarti pada perjuangan melawan infeksi.

SEMIKONDUKTOR MINI

Ide ini digagas para peneliti di Universitas Colorado, Boulder, yang mengembangkan titik kuantum untuk mengubah energi matahari menjadi bahan bakar. Titik kuantum merupakan semikonduktor berbentuk kristal kecil, yang biasa digunakan dalam pembuatan ponsel dan komputer. (Sebutan “kecil” sebenarnya masih belum cukup. Menurut peneliti UC Prashant Nagpal, “Perbandingan titik kuantum dengan sehelai rambut kira-kira seperti perbandingan satu blok di dalam kota dengan seluruh planet Bumi.”)

 

Foto: SCIENCE PHOTO LIBRARY
Titik kuantum membantu penelitian kanker, seperti ditunjukkan dalam gambar ini, tapi mereka juga digunakan untuk melawan superbug yang kebal antibiotik.

Bersama kolega Anushree Chattertrjee, yang mengembangkan terapi baru untuk pengobatan dengan antibiotik, Nagpal menduga-duga apakah titik kuantum yang peka terhadap cahaya itu dapat digunakan untuk melawan superbug. Hasilnya ialah wujud baru titik kuantum yang dapat menyasar bakteri secara selektif.

“Titik-titik ini bisa ada di mana-mana, dan ketika dikembangkan sepenuhnya sebagai terapi, mereka bisa diaktifkan dengan cahaya untuk membersihkan infeksi pada hewan atau manusia tanpa membunuh sel inang,” kata Nagpal. Saat diaktifkan, titik kuantum melepas zat beracun dalam kadar yang pas sehingga membunuh sel bakteri tanpa membahayakan sel inangnya.

Ketika diuji dalam kultur sel, titik kuantum tidak memengaruhi sel manusia sehat. Dan paparan cahaya yang dibutuhkan untuk mengaktifkan titik tersebut tidak banyak: lampu ruangan atau sinar matahari sudah cukup (atau lampu LED yang difokuskan untuk merawat infeksi yang lebih parah).

Secara teori, metode ini dapat menjadi begitu efektif, sehingga hanya dibutuhkan dosis yang jutaan kali lebih kecil dari obat tradisional. Proses manufaktur titik kuantum juga mudah dan murah, jadi biaya yang dibutuhkan untuk produksi massal hanya beberapa sen (atau lebih kecil lagi) per dosis.

“Obat dalam kadar yang sangat kecil ditambah sedikit cahaya dapat mengobati beberapa infeksi superbug terburuk dalam uji coba laboratorium,” kata Nagpal. “Tentu saja, perlu dilakukan lebih banyak studi dalam uji coba praklinis dan klinis sebelum kami dapat menggunakan titik kuantum ini untuk merawat pasien. Meski demikian, studi awal menunjukkan banyak hasil yang menjanjikan.”

POLIMER PEMBASMI INFEKSI

Antibiotik mungkin bukan satu-satunya cara untuk melawan superbug. Periset di Universitas Melbourne telah menemukan metode yang sama sekali tidak lazim untuk membasmi bakteri mematikan.

Ternyata polimer (rantai molekul) berbentuk bintang yang diciptakan 15 tahun lalu untuk menambah kekentalan cat otomotif dan oli mesin menunjukkan beberapa kemampuan unik ketika digunakan untuk keperluan biologis. Saat meneliti kemampuan polimer untuk mengantarkan obat dalam pengobatan kanker, para periset menyadari bahwa versi bintang yang disebut Snapp (Structural National Nanoengineered Antimicrobial Peptide Polymer) telah menjadi racun bagi bakteri. Polimer tersebut mampu merobek dinding sel bakteri dengan menyusup ke dalam membran sel dan merusak lapisan lipidnya.

Jika pendanaan untuk riset ini lancar, para peneliti memperkirakan metode ini dapat diuji ke manusia dalam waktu lima tahun.

“Sintesis (pembuatan) polimer kami merupakan proses rekayasa dan dapat dengan mudah ditingkatkan (untuk produksi massal). Prosesnya juga tidak terlalu mahal. Proses legalnya mungkin akan menjadi langkah yang paling lambat,” kata pakar teknik kimia Greg Qiao, yang bertanggung jawab atas penelitian tersebut di laboratorium Sekolah Teknik Melbourne.

MENJEMBATANI PERISET DAN DOKTER

Salah satu persoalan terbesar dalam sains kedokteran, dan sains pada umumnya, ialah peneliti tidak selalu bekerja sama langsung dengan dokter untuk mengatasi masalah kesehatan. Itu berarti mereka cenderung tidak memiliki data kunci yang hanya bisa diperoleh dengan berhadapan langsung dengan pasien.

Di Pusat Resistensi Antibiotik Universitas Emory Georgia, para dokter dan periset bekerja sama demi memahami cara yang lebih baik untuk mendiagnosis dan merawat resistensi antibiotik.

“Saya bukan dokter. Saya perlu mendapat banyak masukan dari para dokter tentang pengalaman mereka di garis depan untuk menuntun riset kami agar serelevan mungkin,” ujar David Weiss, direktur pusat penelitian tersebut.

Salah satu hasil terbesar dari kemitraan ini ialah perkembangan uji diagnostik baru untuk membantu dokter mengidentifikasi bakteri yang menyebabkan resistensi pada pasien yang tidak merespon antibiotik. Berdasarkan kesuksesan model ini, kata Weiss, institusi klinis lainnya mulai membuka pusat penelitian mereka sendiri, yang menghubungkan para periset dengan dokter.

MENJEMBATANI AKADEMISI DAN INDUSTRI

Dunia sangat membutuhkan antibiotik baru, tapi perusahaan obat belum mengembangkannya dalam 30 tahun. Itu karena pengembangan obat ialah proses yang luar biasa mahal dengan keuntungan yang sedikit.

Untuk mengatasi masalah ini, Pew Charitable Trusts, sebuah perusahaan nirlaba di Philadelphia, mengembangkan Shared Platform for Antibiotic Research and Knowledge (Spark). Spark merupakan sebuah perpustakaan virtual berbasis komputasi awan yang menyimpan data penelitian dan analisis untuk dimanfaatkan para peneliti.

“Jaringan untuk berbagi data telah sukses mempercepat penemuan obat dalam area penelitian lain misalnya kanker, penyakit tropis, dan tuberkolosis,” kata Kathy Talkington, direktur program resistensi antibiotik di Pew Charitable Trusts. “Kami berharap Spark juga bisa melakukannya dalam upaya melawan bakteri kebal antibiotik. Kami perkirakan platform ini dapat terbuka untuk publik, dan dapat dimanfaatkan para periset di seluruh dunia dalam satu tahun ke depan.”

Kathy berharap, dengan memungkinkan kerja sama lintas disiplin antara sesama ilmuwan serta menjembatani kerja akademis dan industri, ‘kekeringan’ dalam riset pengembangan antibiotik baru dapat diakhiri.

Pusat Pengendalian Penyakit AS (CDC) juga menanggapi masalah ini dengan membuat jaringan mereka sendiri. Khususnya, Jaringan Laboratorium Resistensi Antibiotik, yang dikembangkan pada 2016, meningkatkan kemampuan organisasi tersebut untuk mendeteksi resistensi antibiotik.

Dengan laboratorium yang ditempatkan secara strategis di seluruh AS, mereka memantau tren resistensi dan berbagi data dengan rumah sakit, dokter, serta badan penelitian yang mengembangkan tes diagnostik dan teknik perawatan baru. Laboratorium CDC di 50 negara bagian juga menerima tambahan dana untuk melakukan uji genetik terhadap serangkaian bakteri kebal antibiotik.

“Jaringan Laboratorium Resistensi Antibiotik (ARLN) meningkatkan kemampuan kami untuk mendeteksi dan mengidentifikasi ancaman resistensi baru di Amerika Serikat,” kata Jean Patel, pemimpin tim ilmuwan di Unit Koordinasi dan Strategi Antibiotik. “Laboratorium dalam jaringan ini berfokus pada tes spesifik yang menyediakan informasi penting untuk menghentikan penyebaran bakteri kebal antibiotik.”

 

Foto: SCIENCE PHOTO LIBRARY
MRSA ialah jenis bakteri yang menyebabkan infeksi dan kebal terhadap sebagian besar agen antibiotik; namun beberapa galur MRSA dapat dibasmi oleh vankomisin.

MEMPERKUAT ANTIBIOTIK YANG SUDAH ADA

Satu antibiotik yang disebut vankomisin telah digunakan untuk mengobati infeksi kira-kira selama 60 tahun. Obat ini dianggap sebagai “upaya terakhir”, yang hanya digunakan bila tidak ada pilihan lain. Itu karena Vankomisin selalu berhasil menghindari resistensi antibakteri – tapi tidak lagi.

Dalam beberapa tahun belakangan, bakteri yang resisten terhadap vankomisin telah ditemukan. Para ilmuwan menanggapi fenomena ini dengan berusaha merekayasa ulang antibiotik agar lebih kuat dan lebih efektif dengan cara mengubah strukturnya.

Sejauh ini sudah ada tiga modifikasi vankomisin yang dilakukan para ilmuwan. Dua modifikasi terbaru, yang dilakukan Dale Bolger beserta timnya di Badan Penelitian Scripps di California, berupa tambahan mekanisme untuk membasmi bakteri.

“Setiap modifikasi meningkatkan keampuhan dan daya tahannya,” kata Bolger. Dan kekebalan terhadap galur bakteri baru, tambahnya, akan berkembang dengan jauh lebih lambat.

Modifikasi pertama saja, kata Bolger, “sudah cukup kuat dan bisa bertahan selama 50 tahun. Jika si bakteri menemukan cara untuk menyiasatinya, mereka masih akan terbasmi oleh dua mekanisme lainnya, dan resistansi akan gagal menyebar.”

Saat ini para periset tengah mengembangkan versi baru obat ini yang lebih praktis untuk diproduksi.

Bolger menyebut prospek ini “menggairahkan” karena pada akhirnya, obat yang dapat diandalkan dan sulit dilawan bakteri dapat menyelamatkan banyak nyawa. (bbc)

Resistensi antibiotik terjadi ketika suatu obat membasmi bakteri yang sensitif, namun sisa bakteri yang kebal bertahan dan berkembang biak.

SUMUTPOS.CO – Dunia sedang mendekati masa ketika antibiotik tak lagi ampuh untuk mengobati infeksi. Kita menggunakan antibiotik yang kini tersedia secara berlebihan – dan itu menyebabkan bakteri berevolusi dan mengembangkan resistensi terhadap obat yang dibuat untuk membasmi mereka.

Fenomena ini disebut resistensi antibiotik, yang diperkirakan akan menjadi salah satu tantangan terbesar di Abad 21.

 

Tapi ada kabar baik: berbagai organisasi, pemerintahan, inovator, dan ilmuwan di seluruh dunia tengah mencari jalan keluar dari masalah ini. Berikut ini beberapa metode yang dipakai dalam perjuangan melawan resistensi antibiotik.

BAKTERI MELAWAN BAKTERI

Jika obat-obatan telah gagal, kenapa tidak memakai bakteri untuk melawan bakteri?

Beberapa perusahaan bioteknologi berupaya memanfaatkan pemahaman yang terus berkembang tentang mikrobioma manusia, yaitu mikroba ‘baik’ yang hidup di dalam tubuh manusia. Mikroba tersebut menyokong sistem kekebalan tubuh kita, mencegah infeksi, dan mengatur metabolisme.

Pemahaman tentang mikrobioma dapat membantu pengembangan obat jenis baru yang melawan superbug – infeksi yang kebal terhadap obat, dan diperkirakan menewaskan lebih banyak orang daripada kanker pada 2050.

Vedanta Biosciences di Cambridge, Massachusetts, ialah perusahaan yang mendasarkan pengembangan obatnya pada anggapan bahwa banyak bakteri menyebabkan infeksi karena mikrobioma dalam tubuh pasien telah terkuras akibat penggunaan antibiotik berlebihan. Vedanta memanfaatkan penelitian tentang mikrobioma di seluruh dunia untuk mengidentifikasi bakteri ‘baik’ yang bisa mereka kemas dalam pil – solusi yang bisa ditelan dan kemudian merangsang sistem kekebalan tubuh.

“Terapi berbasis mikrobioma, misalnya konsorsium bakteri, ialah alternatif untuk antibiotik. Kita perlu mencari cara baru untuk mengobati infeksi yang tidak cenderung menyebabkan resistensi dan tidak merusak mikrobiota sehingga membuat pasien rawan terinfeksi kembali,” kata CEO Vedanta Bernat Olle.

Namun perlu dicatat bahwa para ilmuwan belum seutuhnya memahami mikrobioma manusia. Meski demikian, penelitian tentang itu sedang berkembang pesat dan Vedanta hampir mencapai tahapan uji klinis untuk dua produk obatnya. Jika obat-obatan itu ampuh, mereka dapat memberi dampak berarti pada perjuangan melawan infeksi.

SEMIKONDUKTOR MINI

Ide ini digagas para peneliti di Universitas Colorado, Boulder, yang mengembangkan titik kuantum untuk mengubah energi matahari menjadi bahan bakar. Titik kuantum merupakan semikonduktor berbentuk kristal kecil, yang biasa digunakan dalam pembuatan ponsel dan komputer. (Sebutan “kecil” sebenarnya masih belum cukup. Menurut peneliti UC Prashant Nagpal, “Perbandingan titik kuantum dengan sehelai rambut kira-kira seperti perbandingan satu blok di dalam kota dengan seluruh planet Bumi.”)

 

Foto: SCIENCE PHOTO LIBRARY
Titik kuantum membantu penelitian kanker, seperti ditunjukkan dalam gambar ini, tapi mereka juga digunakan untuk melawan superbug yang kebal antibiotik.

Bersama kolega Anushree Chattertrjee, yang mengembangkan terapi baru untuk pengobatan dengan antibiotik, Nagpal menduga-duga apakah titik kuantum yang peka terhadap cahaya itu dapat digunakan untuk melawan superbug. Hasilnya ialah wujud baru titik kuantum yang dapat menyasar bakteri secara selektif.

“Titik-titik ini bisa ada di mana-mana, dan ketika dikembangkan sepenuhnya sebagai terapi, mereka bisa diaktifkan dengan cahaya untuk membersihkan infeksi pada hewan atau manusia tanpa membunuh sel inang,” kata Nagpal. Saat diaktifkan, titik kuantum melepas zat beracun dalam kadar yang pas sehingga membunuh sel bakteri tanpa membahayakan sel inangnya.

Ketika diuji dalam kultur sel, titik kuantum tidak memengaruhi sel manusia sehat. Dan paparan cahaya yang dibutuhkan untuk mengaktifkan titik tersebut tidak banyak: lampu ruangan atau sinar matahari sudah cukup (atau lampu LED yang difokuskan untuk merawat infeksi yang lebih parah).

Secara teori, metode ini dapat menjadi begitu efektif, sehingga hanya dibutuhkan dosis yang jutaan kali lebih kecil dari obat tradisional. Proses manufaktur titik kuantum juga mudah dan murah, jadi biaya yang dibutuhkan untuk produksi massal hanya beberapa sen (atau lebih kecil lagi) per dosis.

“Obat dalam kadar yang sangat kecil ditambah sedikit cahaya dapat mengobati beberapa infeksi superbug terburuk dalam uji coba laboratorium,” kata Nagpal. “Tentu saja, perlu dilakukan lebih banyak studi dalam uji coba praklinis dan klinis sebelum kami dapat menggunakan titik kuantum ini untuk merawat pasien. Meski demikian, studi awal menunjukkan banyak hasil yang menjanjikan.”

POLIMER PEMBASMI INFEKSI

Antibiotik mungkin bukan satu-satunya cara untuk melawan superbug. Periset di Universitas Melbourne telah menemukan metode yang sama sekali tidak lazim untuk membasmi bakteri mematikan.

Ternyata polimer (rantai molekul) berbentuk bintang yang diciptakan 15 tahun lalu untuk menambah kekentalan cat otomotif dan oli mesin menunjukkan beberapa kemampuan unik ketika digunakan untuk keperluan biologis. Saat meneliti kemampuan polimer untuk mengantarkan obat dalam pengobatan kanker, para periset menyadari bahwa versi bintang yang disebut Snapp (Structural National Nanoengineered Antimicrobial Peptide Polymer) telah menjadi racun bagi bakteri. Polimer tersebut mampu merobek dinding sel bakteri dengan menyusup ke dalam membran sel dan merusak lapisan lipidnya.

Jika pendanaan untuk riset ini lancar, para peneliti memperkirakan metode ini dapat diuji ke manusia dalam waktu lima tahun.

“Sintesis (pembuatan) polimer kami merupakan proses rekayasa dan dapat dengan mudah ditingkatkan (untuk produksi massal). Prosesnya juga tidak terlalu mahal. Proses legalnya mungkin akan menjadi langkah yang paling lambat,” kata pakar teknik kimia Greg Qiao, yang bertanggung jawab atas penelitian tersebut di laboratorium Sekolah Teknik Melbourne.

MENJEMBATANI PERISET DAN DOKTER

Salah satu persoalan terbesar dalam sains kedokteran, dan sains pada umumnya, ialah peneliti tidak selalu bekerja sama langsung dengan dokter untuk mengatasi masalah kesehatan. Itu berarti mereka cenderung tidak memiliki data kunci yang hanya bisa diperoleh dengan berhadapan langsung dengan pasien.

Di Pusat Resistensi Antibiotik Universitas Emory Georgia, para dokter dan periset bekerja sama demi memahami cara yang lebih baik untuk mendiagnosis dan merawat resistensi antibiotik.

“Saya bukan dokter. Saya perlu mendapat banyak masukan dari para dokter tentang pengalaman mereka di garis depan untuk menuntun riset kami agar serelevan mungkin,” ujar David Weiss, direktur pusat penelitian tersebut.

Salah satu hasil terbesar dari kemitraan ini ialah perkembangan uji diagnostik baru untuk membantu dokter mengidentifikasi bakteri yang menyebabkan resistensi pada pasien yang tidak merespon antibiotik. Berdasarkan kesuksesan model ini, kata Weiss, institusi klinis lainnya mulai membuka pusat penelitian mereka sendiri, yang menghubungkan para periset dengan dokter.

MENJEMBATANI AKADEMISI DAN INDUSTRI

Dunia sangat membutuhkan antibiotik baru, tapi perusahaan obat belum mengembangkannya dalam 30 tahun. Itu karena pengembangan obat ialah proses yang luar biasa mahal dengan keuntungan yang sedikit.

Untuk mengatasi masalah ini, Pew Charitable Trusts, sebuah perusahaan nirlaba di Philadelphia, mengembangkan Shared Platform for Antibiotic Research and Knowledge (Spark). Spark merupakan sebuah perpustakaan virtual berbasis komputasi awan yang menyimpan data penelitian dan analisis untuk dimanfaatkan para peneliti.

“Jaringan untuk berbagi data telah sukses mempercepat penemuan obat dalam area penelitian lain misalnya kanker, penyakit tropis, dan tuberkolosis,” kata Kathy Talkington, direktur program resistensi antibiotik di Pew Charitable Trusts. “Kami berharap Spark juga bisa melakukannya dalam upaya melawan bakteri kebal antibiotik. Kami perkirakan platform ini dapat terbuka untuk publik, dan dapat dimanfaatkan para periset di seluruh dunia dalam satu tahun ke depan.”

Kathy berharap, dengan memungkinkan kerja sama lintas disiplin antara sesama ilmuwan serta menjembatani kerja akademis dan industri, ‘kekeringan’ dalam riset pengembangan antibiotik baru dapat diakhiri.

Pusat Pengendalian Penyakit AS (CDC) juga menanggapi masalah ini dengan membuat jaringan mereka sendiri. Khususnya, Jaringan Laboratorium Resistensi Antibiotik, yang dikembangkan pada 2016, meningkatkan kemampuan organisasi tersebut untuk mendeteksi resistensi antibiotik.

Dengan laboratorium yang ditempatkan secara strategis di seluruh AS, mereka memantau tren resistensi dan berbagi data dengan rumah sakit, dokter, serta badan penelitian yang mengembangkan tes diagnostik dan teknik perawatan baru. Laboratorium CDC di 50 negara bagian juga menerima tambahan dana untuk melakukan uji genetik terhadap serangkaian bakteri kebal antibiotik.

“Jaringan Laboratorium Resistensi Antibiotik (ARLN) meningkatkan kemampuan kami untuk mendeteksi dan mengidentifikasi ancaman resistensi baru di Amerika Serikat,” kata Jean Patel, pemimpin tim ilmuwan di Unit Koordinasi dan Strategi Antibiotik. “Laboratorium dalam jaringan ini berfokus pada tes spesifik yang menyediakan informasi penting untuk menghentikan penyebaran bakteri kebal antibiotik.”

 

Foto: SCIENCE PHOTO LIBRARY
MRSA ialah jenis bakteri yang menyebabkan infeksi dan kebal terhadap sebagian besar agen antibiotik; namun beberapa galur MRSA dapat dibasmi oleh vankomisin.

MEMPERKUAT ANTIBIOTIK YANG SUDAH ADA

Satu antibiotik yang disebut vankomisin telah digunakan untuk mengobati infeksi kira-kira selama 60 tahun. Obat ini dianggap sebagai “upaya terakhir”, yang hanya digunakan bila tidak ada pilihan lain. Itu karena Vankomisin selalu berhasil menghindari resistensi antibakteri – tapi tidak lagi.

Dalam beberapa tahun belakangan, bakteri yang resisten terhadap vankomisin telah ditemukan. Para ilmuwan menanggapi fenomena ini dengan berusaha merekayasa ulang antibiotik agar lebih kuat dan lebih efektif dengan cara mengubah strukturnya.

Sejauh ini sudah ada tiga modifikasi vankomisin yang dilakukan para ilmuwan. Dua modifikasi terbaru, yang dilakukan Dale Bolger beserta timnya di Badan Penelitian Scripps di California, berupa tambahan mekanisme untuk membasmi bakteri.

“Setiap modifikasi meningkatkan keampuhan dan daya tahannya,” kata Bolger. Dan kekebalan terhadap galur bakteri baru, tambahnya, akan berkembang dengan jauh lebih lambat.

Modifikasi pertama saja, kata Bolger, “sudah cukup kuat dan bisa bertahan selama 50 tahun. Jika si bakteri menemukan cara untuk menyiasatinya, mereka masih akan terbasmi oleh dua mekanisme lainnya, dan resistansi akan gagal menyebar.”

Saat ini para periset tengah mengembangkan versi baru obat ini yang lebih praktis untuk diproduksi.

Bolger menyebut prospek ini “menggairahkan” karena pada akhirnya, obat yang dapat diandalkan dan sulit dilawan bakteri dapat menyelamatkan banyak nyawa. (bbc)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/