25 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Talasemia Renggut Nyawa si Bungsu

Mereka yang Berjuang Mendampingi Anak-anak Penderita Talasemia

Banyak alasan yang membuat Syarmawaty (51) peduli terhadap para penderita thalasemia. Betapa tidak, berkisar 4 tahun silam atau tepatnya di tahun 2008, penyakit thalasemia telah merenggut putri bungsunya.

Bersama para orangtua yang juga memiliki anak menderita Talasemia, Syarmawaty mendirikan Perhimpunan Orangtua Penderita Talasemia (POPTI) Wilayah Sumut.

Talasemia adalah penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi sel darah merah mudah rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah normal. Akibatnya penderita Talasemia akan mengalami gejala anemia diantaranya pusing, muka pucat, badan sering lemas, sukar tidur, nafsu makan hilang, dan infeksi berulang. Talasemia tidak dapat disembuhkan. Untuk bisa bertahan, si penderita harus menjalani perawatan secara terpadu seperti transfusi darah setiap bulannya.

“Khairunnisa, putri bungsu saya didiagnosa oleh dokter menderita Talasemia pada usia 2 tahun. Awalnya saya selaku orangtua merasa curiga, tubuh anak saya pucat, lemas, nggak selera makan dan sering demam. Lalu kami membawanya ke rumah sakit untuk diperiksa secara lengkap. Ternyata kecurigaan saya terbukti, Nisa menderita Talasemia,” kata Ketua Popti wilayah Sumut ini saat ditemui dikediamannya di Jalan Pintu Air IV Komplek Politeknik No.27 Medan.

Sejak itu, Nisa menjalani aktifitas seperti anak seusianya. “Seperti biasa, Nisa sekolah, tapi tiap bulan dia harus menjalani transfusi darah dan terapi pengobatan zat besi. Kalau Hemoglobinnya sangat rendah, anak saya sering merasa pusing dan lemas. Kalau sudah begitu, darah yang ditransfusi harus banyak bisa mencapai dua kantong darah,”ujarnya.

Disebutkannya, Nisa juga nggak boleh capek. ‘’Nisa tau memiliki kelainan darah. Tapi dia nggak pernah sedih. Di usianya yang ke-13 tahun, anak saya pergi untuk selamanya karena penyakit komplikasi yang juga dideritanya,” kata Syarmawati.

Menurutnya, jika sudah sering melakukan transfusi darah maka zat besi akan terus menumpuk di limpa. Akibat penumpukan itu maka limpa akan membesar. Pada beberapa kasus jika limpa sudah terlalu besar maka organ limpa harus diangkat. “Bahkan jika terlalu sering transfusi darah saat hemoglobinnya sangat rendah, ini juga pemicu membesarnya limpa. Kalau limpa sudah diangkat, maka akan mudah terserang virus penyakit serta bisa mengalami komplikasi,” ujarnya. Sama halnya dengan Mursida Siregar (45) selaku Bendahara POPTI wilayah Sumut. Awalnya tidak mengetahui kalau putri keduanya mengalami Talasemia. “Dulunya saya pikir, putri saya terkena palasik karena wajah dan tubuhnya pucat saat usia 8 bulan. Setelah menjalani pemeriksaan menyeluruh ternyata anak saya menderita Talasemia. Setelah itu, anak saya menjalani transfusi darah setiap bulannya ke RSUP H Adam Malik. Namun saat usianya memasuki 9 tahun, anak saya nggak tertolong lagi,” terangnya.

Namun, berbeda dengan Zulkifli (45) yang merupakan Humas POPTI wilayah Sumut. Karena Talasemia, putranya, Ibnu Hajar (16) harus putus sekolah saat duduk di kelas 2 SMP. “Tubuh anak saya sempat drop. Sebagai penderita talasemia dia nggak boleh capek. Akhirnya dia nggak sekolah lagi. Setiap bulan saya harus membawanya ke RSUP H Adam Malik Medan untuk tranfusi darah dan dia juga membutuhkan hingga 4 kantong darah golongan O,” urainya. (mag- 11)

Dapat Dicegah dengan Screening Test

Di RSUP H Adam Malik Medan sendiri saat ini ada sekitar 60 anak penderita talasemia yang harus tranfusi darah serta menjalani rawat inap. “Sejak POPTI wilayah Sumut dibentuk dari 2006 lalu, sudah ratusan anak talasemia yang kita dampingi. Masalah kita hadapi hingga kini adalah kurangnya stok darah. Padahal darah ini sangat urgen bagi penderita talasemia. Per bulannya, kita membutuhkan dari 130-150 kantong darah. Namun, jumlah sering tidak tercukupi,”ujar Zulkifli Humas POPTI wilayah Sumut.

Pihaknya juga berharap, adanya ruang khusus untuk para penderita talasemia. “Di RSUP H Adam Malik, ruangannya hanya cukup untuk 3 anak saja. Sedangkan penderita talasemia ini semakin banyak. Padahal kenyamanan sangat dibutuhkan anak-anak talasemia. Kita ingin hal ini menjadi perhatian. Pengurus POPTI wilayah Sumut ada 8 orang yang masing-masing memiliki anak talasemia,” bebernya.

Sebenarnya, katanya, talasemia dapat dicegah dengan melakukan screening test atau pemeriksaan darah. “Dari pemeriksaan ini kita bisa peroleh kesimpulan apakah si ibu mempunyai gen talasemia atau tidak. Jika salah satunya memiliki gen talasemia, ataupun keduanya memiliki gen itu, maka DNA si janin harus dicek. Kalau si janin terbukti menderita talasemia yang mewarisi kedua gen dari ayah-ibunya maka hanya ada dua pilihan. Hentikan kehamilan atau teruskan kehamilan. Jika pilihannya adalah teruskan kehamilan maka kedua orang tua si anak harus menerima konsekensi yaitu si anak terlahir dengan penyakit talasemia seumur hidup,” ucapnya. (mag-11)

Mereka yang Berjuang Mendampingi Anak-anak Penderita Talasemia

Banyak alasan yang membuat Syarmawaty (51) peduli terhadap para penderita thalasemia. Betapa tidak, berkisar 4 tahun silam atau tepatnya di tahun 2008, penyakit thalasemia telah merenggut putri bungsunya.

Bersama para orangtua yang juga memiliki anak menderita Talasemia, Syarmawaty mendirikan Perhimpunan Orangtua Penderita Talasemia (POPTI) Wilayah Sumut.

Talasemia adalah penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi sel darah merah mudah rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah normal. Akibatnya penderita Talasemia akan mengalami gejala anemia diantaranya pusing, muka pucat, badan sering lemas, sukar tidur, nafsu makan hilang, dan infeksi berulang. Talasemia tidak dapat disembuhkan. Untuk bisa bertahan, si penderita harus menjalani perawatan secara terpadu seperti transfusi darah setiap bulannya.

“Khairunnisa, putri bungsu saya didiagnosa oleh dokter menderita Talasemia pada usia 2 tahun. Awalnya saya selaku orangtua merasa curiga, tubuh anak saya pucat, lemas, nggak selera makan dan sering demam. Lalu kami membawanya ke rumah sakit untuk diperiksa secara lengkap. Ternyata kecurigaan saya terbukti, Nisa menderita Talasemia,” kata Ketua Popti wilayah Sumut ini saat ditemui dikediamannya di Jalan Pintu Air IV Komplek Politeknik No.27 Medan.

Sejak itu, Nisa menjalani aktifitas seperti anak seusianya. “Seperti biasa, Nisa sekolah, tapi tiap bulan dia harus menjalani transfusi darah dan terapi pengobatan zat besi. Kalau Hemoglobinnya sangat rendah, anak saya sering merasa pusing dan lemas. Kalau sudah begitu, darah yang ditransfusi harus banyak bisa mencapai dua kantong darah,”ujarnya.

Disebutkannya, Nisa juga nggak boleh capek. ‘’Nisa tau memiliki kelainan darah. Tapi dia nggak pernah sedih. Di usianya yang ke-13 tahun, anak saya pergi untuk selamanya karena penyakit komplikasi yang juga dideritanya,” kata Syarmawati.

Menurutnya, jika sudah sering melakukan transfusi darah maka zat besi akan terus menumpuk di limpa. Akibat penumpukan itu maka limpa akan membesar. Pada beberapa kasus jika limpa sudah terlalu besar maka organ limpa harus diangkat. “Bahkan jika terlalu sering transfusi darah saat hemoglobinnya sangat rendah, ini juga pemicu membesarnya limpa. Kalau limpa sudah diangkat, maka akan mudah terserang virus penyakit serta bisa mengalami komplikasi,” ujarnya. Sama halnya dengan Mursida Siregar (45) selaku Bendahara POPTI wilayah Sumut. Awalnya tidak mengetahui kalau putri keduanya mengalami Talasemia. “Dulunya saya pikir, putri saya terkena palasik karena wajah dan tubuhnya pucat saat usia 8 bulan. Setelah menjalani pemeriksaan menyeluruh ternyata anak saya menderita Talasemia. Setelah itu, anak saya menjalani transfusi darah setiap bulannya ke RSUP H Adam Malik. Namun saat usianya memasuki 9 tahun, anak saya nggak tertolong lagi,” terangnya.

Namun, berbeda dengan Zulkifli (45) yang merupakan Humas POPTI wilayah Sumut. Karena Talasemia, putranya, Ibnu Hajar (16) harus putus sekolah saat duduk di kelas 2 SMP. “Tubuh anak saya sempat drop. Sebagai penderita talasemia dia nggak boleh capek. Akhirnya dia nggak sekolah lagi. Setiap bulan saya harus membawanya ke RSUP H Adam Malik Medan untuk tranfusi darah dan dia juga membutuhkan hingga 4 kantong darah golongan O,” urainya. (mag- 11)

Dapat Dicegah dengan Screening Test

Di RSUP H Adam Malik Medan sendiri saat ini ada sekitar 60 anak penderita talasemia yang harus tranfusi darah serta menjalani rawat inap. “Sejak POPTI wilayah Sumut dibentuk dari 2006 lalu, sudah ratusan anak talasemia yang kita dampingi. Masalah kita hadapi hingga kini adalah kurangnya stok darah. Padahal darah ini sangat urgen bagi penderita talasemia. Per bulannya, kita membutuhkan dari 130-150 kantong darah. Namun, jumlah sering tidak tercukupi,”ujar Zulkifli Humas POPTI wilayah Sumut.

Pihaknya juga berharap, adanya ruang khusus untuk para penderita talasemia. “Di RSUP H Adam Malik, ruangannya hanya cukup untuk 3 anak saja. Sedangkan penderita talasemia ini semakin banyak. Padahal kenyamanan sangat dibutuhkan anak-anak talasemia. Kita ingin hal ini menjadi perhatian. Pengurus POPTI wilayah Sumut ada 8 orang yang masing-masing memiliki anak talasemia,” bebernya.

Sebenarnya, katanya, talasemia dapat dicegah dengan melakukan screening test atau pemeriksaan darah. “Dari pemeriksaan ini kita bisa peroleh kesimpulan apakah si ibu mempunyai gen talasemia atau tidak. Jika salah satunya memiliki gen talasemia, ataupun keduanya memiliki gen itu, maka DNA si janin harus dicek. Kalau si janin terbukti menderita talasemia yang mewarisi kedua gen dari ayah-ibunya maka hanya ada dua pilihan. Hentikan kehamilan atau teruskan kehamilan. Jika pilihannya adalah teruskan kehamilan maka kedua orang tua si anak harus menerima konsekensi yaitu si anak terlahir dengan penyakit talasemia seumur hidup,” ucapnya. (mag-11)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/