Garuda Indonesia. Mendengar nama maskapai ini dan merasakan berada di pesawatnya sepertinya tidak akan jauh berbeda dengan Indonesia secara utuh. Dengan kata lain, semua cita rasa Indonesia akan terasa. Semua indra di tubuh pun akan merasakan kekayaan Indonesia, mulai dari indra penglihatan, penciuman, pendengaran, hingga indra perasa akan mengecap betapa besar anugerah yang diberikan Tuhan pada negeri beribu pulau ini.
Garuda Indonesia, maskapai yang telah beroperasional sejak 1949 adalah maskapai yang merupakan perusahaan milik negara. Maskapai yang memiliki penerbangan domestik maupun internasional ini sempat mengalami keterpurukan. Tetapi, dukungan masyarakat dan pemerintah, mampu membuat maskapai yang identik dengan warna biru tersebut bangkit dan mencapai posisi sebagai maskapai dengan bintang 4.
Ya, walaupun persaingan dalam moda transportasi udara terus meningkat, tetapi Garuda Indonesia terus mengalami peningkatan. Tekadnya, tidak mau mengikuti tren bisnis dalam penerbangan, yang berperang dalam memberikan harga murah. Dengan keyakinan penuh, maskapai ini tetap berada pada orientasi memberikan pelayanan dengan maksimal.
Menurut General Manager Garuda Indonesia Medan, Syamsuddin JS, strategi bisnis dengan bermain harga tidak akan menyelesaikan masalah. Sebaliknya akan terus bermunculan maskapai yang akan menawarkan harga yang lebih murah. “Strategi bisnis yang kita gunakan adalah penjualanan dengan nilai pelayanan. Dan terbukti, strategis ini berhasil karena tidak semua maskapai memiliki pelayanan maksimal yang kita miliki,” ujarnya.
Dengan mengambil market di pelayanan bukan di harga, membuat maskapai ini tetap bertahan di posisi sebagai maskapai nomor 1 di Indonesia. Karena menurutnya, kualitas itu tidak dapat diturunkan, melainkan sebaliknya, harus ditingkatkan. “Saya contohkan, dengan tipe pesawat yang sama. Garuda hanya memiliki 162 bangku, yang terdiri dari 12 bangku kelas bisnis dan sisanya ekonomi. Sementara itu, maskapai kompetitor memiliki 219 bangku,” urainya.
“Bisa dibayangkan bagaimana sakitnya menahan duduk dengan posisi yang kurang nyaman. Selama 2 jam pula. Belum lagi, rasa lapar, yang akibatnya, penumpang memilih makan di luar. Dan jelas, akan membuat uang yang keluar lebih mahal,” tambah Syamsuddin.
Seperti yang diungkapkan di atas, value (nilai) yang dijual pun tidak sembarangan, semua harus disesuaikan dengan cita rasa Indonesia. Dan minimal, harus tertangkap oleh indra manusia. Setidaknya, 5 sense langsung terasa saat berada di pesawat ini.
Pertama, sense mata. Kabin di pesawat Garuda terdiri dari warna coklat dan maroon. Warna ini bukan asal pilih, ternyata 2 warna tersebut dilihat dari berbagai hasil survei merupakan warna yang pada dasarnya ada di Indonesia. Seperti batik, tanah, dan lainnya.
engan kata lain, 2 warna ini sangat identik dengan Indonesia. Warna cokelat akan terlihat pada bangku, sedangkan biru akan terlihatdari kain yang menghiasi bangku pesawat. “Semua warna dalam pesawat memiliki filosofi. Kita bukan sembarangan untuk memilihnya,” tambahnya.
Memanjakan mata dengan keindahan Indonesia juga dapat dilihat pada aksesoris yang memisahkan kabin kelas ekonomi dan bisnis. Di mana, di dalam pesawat diletakkan benda berbahan bambu.”Bambu merupakan salah satu bahan yang sering digunakan dalam perlengkapan sehari-hari di Indonesia,” tambahnya.
Lalu, sense penciuman. Dalam pesawat, hidung penumpang akan dimanjakan dengan memberikan aroma terapi yang menjadi ciri khas Indonesia. Dan dipastikan, tidak semua tempat dapat menikmati aroma ini bila tidak di Garuda Indonesia. “Untuk menentukan aroma ini juga kita lakukan survei, bukan hanya asal saja,” tambah Syamsuddin.
etiga, sense pendengaran. Penumpang akan dimanja dengan musik hasil aransemen dari Addie MS. Musik daerah yang khusus di aransemen ulang di Australia. Bahkan, musik yang didengar ini banyak yang berminat. “Karena banyak permintaan, kita jual CD-nya juga. Bahkan, Addie MS jadi sangat berterima kasih pada kita,” terang Syamsuddin.
Untuk yang yang keempat adalah, sense rasa tepatnya lidah. Cita rasa di makanan di Garuda bukan sembarangan. Untuk mendapatkan cita rasa yang maksimal, maskapai ini menggunakan jasa konsultan, William Wongso. Tak pelak, rendang ala Garuda Indonesia sempat menjadi buah bibir di kalangan penumpang. “Bahkan, untuk welcome drink (minuman selamat datang) juga kita gunakan ala Indonesia, khusunya Sumatera Utara. Jus Martabe (markisa dan terong Belanda),” ungkapnya.
Walaupun mencoba untuk tidak terpengaruh dengan strategi harga murah, tetapi Garuda Indonesia sudah mulai mengantisipasi akan perubahan bisnis ini. Tak pelak, perusahaan yang telah jatuh bangun dalam bisnis penerbangan ini membangun anak perusahaan yang mampu mengapai pasar ‘menengah ke Bawah’. Citilink pun didirikan, sebagai penghalang masuknya kompetitor ke pasar yang telah Garuda Indonesia miliki. “Kita umpamakan, saat kompetitor sudah mulai memasuki harga kita, maka Citilink akan menjadi penghalang dengan strategi bisnis yang telah kita susun,” tegasnya.
Dijelaskannya, pada 1990, Garuda Indonesia sempat berada di posisi 30 besar maskapai di dunia. Tetapi, memasuki pertengahan 2000-an, Garuda Indonesia mengalami masa-masa yang tidak menyenangkan. “Saat itu, produk atau pesawat kita sudah berusia sekitar 11,5 tahun. Itu sangat jauh, bila dibandingkan dengan pesaing kita yaitu Singapura Airlines, Malaysia Airlines, dan Qantas. Itulah, salah satu alasan kita untuk mulai berbenah,” tambahnya.
Pada 2005 hingga 2007 masalah yang dihadapi adalah keuangan. Bahkan, maskapai ini terkena fault dari lembaga pembiayaan. Pembenahan tersebut mulai dilakukan sejak 2006, dan mulai mendapat dampaknya pada 2009, dimana Eropa sudah mulai menerima Garuda Indonesia.(*)