30 C
Medan
Thursday, November 21, 2024
spot_img

Mahasiswa Itu Tak Jelas di Mana…

Dewan Pimpinan Nasional Serikat Kerakyatan Indonesia (SAKTI) menyebut langkah Polresta Medan yang sampai saat ini masih menahan 46 mahasiswa pascademonstrasi menentang kenaikan harga BBM, tindakan penculikan.
“Kami menyebutnya diculik, karena tidak ada surat penahanan maupun identitas korban represif aparat. Karena itu hari ini (Senin,red) kami melaporkan dugaan tindakan pelanggaran hak azasi manusia yang dilakukan Polresta Medan ke Komnas HAM,” ujar Ketua Umum SAKTI, Standarkiaa Latif di gedung Komnas HAM, Jakarta, Senin (24/6).
Menurutnya, langkah pengaduan dilakukan sekaligus mendesak agar Komnas HAM segera membentuk tim investigasi guna memeriksa Polresta Medan. Sebagai langkah awal, SAKTI menurut Standarkiaa, telah menyerahkan berbagai bukti yang ada. Selain itu mereka juga akan segera menyerahkan bukti tambahan paling lambat Rabu (26/6) besok.
“Ada tujuh dugaan pelanggaran yang dilakukan Polresta Medan. Di antaranya pelanggaran atas UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya pasal 1 ayat 4 tentang penyiksaaan. Kemudian Pasal 4 tentang hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut,” katanya.
Dugaan pelanggaran lainnya atas UU No 5 /1998 tentang pengesahan konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia. “Selain itu kita menduga Polresta Medan juga telah melakukan pelanggaran UU No 12/2005 tentang kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik. Pelanggaran UU No. 9/1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, khususnya Pasal 7 yang mengatur bahwa dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara, aparatur pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melindungi hak asasi manusia, menghargai asas legalitas, menghargai prinsip praduga tidak bersalah dan menyelenggarakan pengamanan,” katanya.
Sementara itu Sekretaris Jenderal SAKTI, Girindra Sandino, menduga Polresta Medan melakukan pelanggaran UU No. 2/2002 tentang Kepolisian, khususnya Pasal 14 ayat (1) huruf a, yang mengatur bahwa polisi bertugas melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patrol terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.
“Kita juga menduga Polresta Medan telah melakukan pelanggaran UU No. 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni khususnya penetapan para tersangka serta pelanggaran hak untuk didampingi oleh penasehat hukum sejak pertama kali ditetapkan sebagai tersangka, juga pelanggaran atas hak untuk menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan,” ujarnya.
Menurutnya dugaan pelanggaran terjadi saat aksi unjukrasa digelar 17 Juni lalu. Saat itu berbagai organisasi mahasiswa dan rakyat di Medan yang tergabung dalam Barisan Mahasiswa dan Rakyat (BARAK), menggelar aksi massa menolak kenaikan harga BBM.
Menurut Girindra berdasarkan laporan yang diterima SAKTI, aksi awalnya berlangsung damai di kantor DPRD Medan. Kemudian siang harinya BARAK menggeser aksinya ke kampus Universitas HKBP Nommensen dengan menggelar mimbar bebas, pemblokiran jalan, dan membakar ban bekas.
Dalam aksi tersebut SAKTI mencatat 87 orang ditangkap, 5 mahasiswa kritis akibat tembakan dan penyiksaan, dan 126 mengalami bocor di bagian kepala. Selain itu, sejumlah aktivis mengalami tangan dan kaki patah, gigi rontok, muntah darah dan lain-lain.
Sementara itu, alumni aktivis Nomensen, mantan aktivis Farum Aspirasi Mahasiswa untuk Demokrasi (Famud), Koceng mengatakan kerusuhan bukanlah ulah dari mahasiswa, khususnya mahasiswa Nomensen yang selama ini diheboh-hebohkan oleh media. “Saya ada disitu saat kejadia, masyarakat, mahasiswa dan intel udah menyatu di situ. Ada bukti kalau itu mahasiswa yang merusak. Tidak ada yang bisa membuktikan,” katanya.
Menambahkan, JW yang juga alumni UHN mengatakan, memang sudah ada desain dari peristiwa ini. “Mahasiswa itu melakukan karena dorongan, kalau perusakan trafic light pada tanggal 15 Mei lalu, itu memang kita akui. Karena satu mahasiswa Nomensen mati karena ulah polisi. Tapi kalau aksi BBM ini, semua bergabung, bukan mahasiswa Nommensen saja namun aliansi, kita juga tidak tahu siapa yang merusak gedung KFC apa mahasiswa, masyarakat,  intel atau juga provokator,” katanya. (*)

Dewan Pimpinan Nasional Serikat Kerakyatan Indonesia (SAKTI) menyebut langkah Polresta Medan yang sampai saat ini masih menahan 46 mahasiswa pascademonstrasi menentang kenaikan harga BBM, tindakan penculikan.
“Kami menyebutnya diculik, karena tidak ada surat penahanan maupun identitas korban represif aparat. Karena itu hari ini (Senin,red) kami melaporkan dugaan tindakan pelanggaran hak azasi manusia yang dilakukan Polresta Medan ke Komnas HAM,” ujar Ketua Umum SAKTI, Standarkiaa Latif di gedung Komnas HAM, Jakarta, Senin (24/6).
Menurutnya, langkah pengaduan dilakukan sekaligus mendesak agar Komnas HAM segera membentuk tim investigasi guna memeriksa Polresta Medan. Sebagai langkah awal, SAKTI menurut Standarkiaa, telah menyerahkan berbagai bukti yang ada. Selain itu mereka juga akan segera menyerahkan bukti tambahan paling lambat Rabu (26/6) besok.
“Ada tujuh dugaan pelanggaran yang dilakukan Polresta Medan. Di antaranya pelanggaran atas UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya pasal 1 ayat 4 tentang penyiksaaan. Kemudian Pasal 4 tentang hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut,” katanya.
Dugaan pelanggaran lainnya atas UU No 5 /1998 tentang pengesahan konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia. “Selain itu kita menduga Polresta Medan juga telah melakukan pelanggaran UU No 12/2005 tentang kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik. Pelanggaran UU No. 9/1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, khususnya Pasal 7 yang mengatur bahwa dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara, aparatur pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melindungi hak asasi manusia, menghargai asas legalitas, menghargai prinsip praduga tidak bersalah dan menyelenggarakan pengamanan,” katanya.
Sementara itu Sekretaris Jenderal SAKTI, Girindra Sandino, menduga Polresta Medan melakukan pelanggaran UU No. 2/2002 tentang Kepolisian, khususnya Pasal 14 ayat (1) huruf a, yang mengatur bahwa polisi bertugas melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patrol terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.
“Kita juga menduga Polresta Medan telah melakukan pelanggaran UU No. 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni khususnya penetapan para tersangka serta pelanggaran hak untuk didampingi oleh penasehat hukum sejak pertama kali ditetapkan sebagai tersangka, juga pelanggaran atas hak untuk menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan,” ujarnya.
Menurutnya dugaan pelanggaran terjadi saat aksi unjukrasa digelar 17 Juni lalu. Saat itu berbagai organisasi mahasiswa dan rakyat di Medan yang tergabung dalam Barisan Mahasiswa dan Rakyat (BARAK), menggelar aksi massa menolak kenaikan harga BBM.
Menurut Girindra berdasarkan laporan yang diterima SAKTI, aksi awalnya berlangsung damai di kantor DPRD Medan. Kemudian siang harinya BARAK menggeser aksinya ke kampus Universitas HKBP Nommensen dengan menggelar mimbar bebas, pemblokiran jalan, dan membakar ban bekas.
Dalam aksi tersebut SAKTI mencatat 87 orang ditangkap, 5 mahasiswa kritis akibat tembakan dan penyiksaan, dan 126 mengalami bocor di bagian kepala. Selain itu, sejumlah aktivis mengalami tangan dan kaki patah, gigi rontok, muntah darah dan lain-lain.
Sementara itu, alumni aktivis Nomensen, mantan aktivis Farum Aspirasi Mahasiswa untuk Demokrasi (Famud), Koceng mengatakan kerusuhan bukanlah ulah dari mahasiswa, khususnya mahasiswa Nomensen yang selama ini diheboh-hebohkan oleh media. “Saya ada disitu saat kejadia, masyarakat, mahasiswa dan intel udah menyatu di situ. Ada bukti kalau itu mahasiswa yang merusak. Tidak ada yang bisa membuktikan,” katanya.
Menambahkan, JW yang juga alumni UHN mengatakan, memang sudah ada desain dari peristiwa ini. “Mahasiswa itu melakukan karena dorongan, kalau perusakan trafic light pada tanggal 15 Mei lalu, itu memang kita akui. Karena satu mahasiswa Nomensen mati karena ulah polisi. Tapi kalau aksi BBM ini, semua bergabung, bukan mahasiswa Nommensen saja namun aliansi, kita juga tidak tahu siapa yang merusak gedung KFC apa mahasiswa, masyarakat,  intel atau juga provokator,” katanya. (*)

Artikel Terkait

Tragedi Akhir Tahun si Logo Merah

Incar Bule karena Hasil Lebih Besar

Baru Mudik Usai Lebaran

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/