Keberadaan teri Medan mulai rawan. Selain harganya terus meningkat, pasokan teri halus itu pun mulai berkurang. Penyebabnya? Adalah keputusan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang tak lagi mengizinkan pengoperasian pukat teri tarik dua. Kini alat tangkap teri medan yang ditarik dua kapal dilarang beroperasi dengan alasan merusak lingkungan.
Amatan Sumut Pos di sejumlah pasar tradisional di Medan bagian utara, hampir rata pedagang mengeluhkan soal pasokan teri dimaksud. Dalam bulan ini saja menurut penuturan para pedagang, kenaikan teri Medan sudah dua kali terjadi. Sebelumnya teri nasi halus naik mencapai Rp85.000 per kilogram, dari sebelumnya Rp70.000 per kg. Saat ini harganya terus melambung, bahkan tembus Rp90.000 hingga Rp100.000 per kg.
“Kenaikan harga jual teri terjadi dikarenakan pasokan dari Gabion Belawan tak ada, kabarnya sebagian besar nelayan kapal ikan penangkap teri halus tidak beroperasi,” kata Ratnauli br Tarigan, seorang pedagang di Pasar Tradisional Titipapan Kecamatan Medan Deli.
Minimnya pasokan teri ke pasaran juga diakui pedagang di Pasar Tradisional Jalan Marelan Raya Kelurahan Rengas Pulau Kecamatan Medan Marelan. ”Mahal pun harganya kalau pasokan tidak ada seperti sekarang ini sama saja, sedangkan permintaan terus meningkat,” katanya.
Dia menambahkan, selama pasokan teri medan lancar dirinya bisa menjual teri hingga mencapai 10 kg pada setiap harinya.”Tapi sekarang jangankan 10 kg untuk mendapatkan pasokan sekilo teri saja sulit,” imbuhnya.
Keputusan DKP soal pukat teri tarik dua memang cukup menimbulkan kontroversi. Setidaknya hal ini diungkapkan Wakil Ketua DPC Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Medan, Abdul Rahman.
“Di satu sisi pukat teri tarik dua dilarang beroperasi, sementara kapal ikan pukat trawl (pukat harimau) dibiarkan. Ini bukti dari ketidakjelasan pemerintah pusat dan ini pula membuat daerah bingung,” ujarnya.
Pengoperasian trawl yang sebelumnya jelas dilarang, tapi akhirnya dibolehkan itu memiliki perjalanan panjang. Dengan dalih modifikasi alat tangkap trawl menjadi pukat ikan (fish net), akhirnya membuat Keputusan Presiden (Keppres) nomor 39 Tahun 1980 tak berdaya. Revisi pun dilakukan, Permen (Peraturan Kementerin) Kelautan Perikanan No.06/MEN/2008 dikeluarkan.
“Apakah cerita perjalanan soal alat tangkap ini nantinya akan terjadi juga terhadap pukat teri tarik dua? Alat tangkap yang sebelumnya mendapat izin itu kini dilarang, bahasa merusak lingkungan kembali didengungkan. Pertanyaannya, apakah nantinya pemerintah akan kembali mengizinkan dengan alasan modifikasi. Nah ini tugas kita bersama untuk mengawalnya. Tidak cuma sekadar latah atau ikut-ikutan saja, yang justru akan menimbulkan konflik baru,” ungkap Rahman.
Khusus di perairan Sumatera Utara kapal-kapal motor penangkap ikan yang menggunakan alat tangkap trawl telah dimodifikasi hilir mudik tanpa takut ditangkap karena di antara mereka memegang izin penggunaan alat tangkap tersebut dari pemerintah pusat. Pro dan kontra mulai bermunculan, tidak hanya itu kritisi dari berbagai pihak pun terjadi dan menilai ada muatan tertentu di balik keputusan kontroversial itu.
Kini hal serupa terjadi terhadap pukat teri tarik dua, setelah memicu terjadi konflik seperti di Kabupaten Langkat dan Tanjungbalai, dan Asahan keputusan pelarangan itupun diputuskan di Hotel Asean Internasional Medan beberapa hari lalu. Keputusan tersebut tidak hanya menimbulkan keresahan ribuan nelayan pukat teri yang terancam akan menjadi pengangguran, tapi kalangan pengusaha juga mengaku tidak merestuinya.
Dengan kata lain, penolakan cukup besar bakal terjadi lagi. Pelaku usaha yang bertahun-tahun merintis usahanya dengan mengantongi perizinan dari Dinas Perikanan dan Kelautan Sumut maupun kabupaten/kota kini harus merugi serta gigit jari dengan keputusan pemerintah dituding sepihak tersebut.
Semestinya kata dia, DKP dapat berlaku bijak dengan melakukan peninjauan langsung ke lapangan, sebelum mengambil keputusan soal pelarangan kapal ikan pukat teri tarik dua.
“Keberadaan alat tangkap kapal ikan pukat teri tarik dua di Belawan tidak sama dengan yang di Tanjungbalai dan Asahan. Kalau di sana mereka menggunakan pemberat berlebihan hingga pukat (jaring) jatuh ke dasar laut, sedangkan kita di sini menggunakan pemberat untuk sekedar membuka mulut jaring,” kata dia.
Dalam pengoperasiannya, pukat teri tarik dua kata, Sailendra tetap melayang di antara permukaan dan dasar laut.”Jadi tidak benar kalau sampai ke dasar laut. Secara logika saja kalau ditarik sampai ke dasar laut sudah jelas teri yang didapat akan rusak karena teri Medan bukan jenis teri kasar, tapi teri halus.
Kalau sampai ke dasar laut tentunya hasil tangkapan akan bercampur lumpur,” jelasnya.
Dia juga mengaku heran atas keputusan yang dikeluarkan tanpa melibatkan pengusaha.
Bahkan dampak dari keputusan sepihak tersebut membuat sekitar 70 unit kapal pukat teri tarik dua sudah hampir dua minggu terakhir ini tidak beroperasi disebabkan PSDKP tidak mengeluarkan SLO (Surat Layak Operasi) dan SIB (Surat Izin Berlayar).
“Kalau memang dilarang semestinya dari dulu pemerintah melarangnya, bukan mengeluarkan izin tapi belakangan ditertibkan,” ungkapnya. (mag-17)