25 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Ada Permainan di Balik Penetapan Status Terdakwa

Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Abdullah Dahlan, memastikan dari catatan yang ada, tidak sedikit kepala daerah mengalami nasib seperti dialami Wali Kota Medan Rahudman Harahap. Meski ditetapkan menjadi tersangka sejak 26 Oktober 2010 lalu, kasusnya baru dibuka kembali pertengahan 2013. Kondisi ini benar-benar menjadikan seorang kepala daerah tersandera hingga mengganggu kerja mereka.

PENINJAUAN: Wali Kota Medan Drs Rahudman Harahap saat melakukan peninjauan  salah satu wilayah Kecamatan  Kota Medan. ///file/sumut pos
PENINJAUAN: Wali Kota Medan Drs Rahudman Harahap saat melakukan peninjauan di salah satu wilayah Kecamatan di Kota Medan. ///file/sumut pos

“Jadi yang kita temukan itu banyak kasus yang tak diselesaikan, tapi diperlambat. Seharusnya penegak hukum melakukan langkah-langkah sesuai fungsi kerja yang ada. Perlu ada kepastian hukum dan sebaiknya proses yang ada itu dipercepat. Tapi ini malah tidak dilaksanakan,” ujarnya kepada koran ini di Jakarta, Rabu (2/5).

Karena itu atas kasus Rahudman, kondisi yang ada menurut Abdullah patut dipertanyakan. Sebab bukan tidak mungkin dimanfaatkan pihak-pihak tertentu mejadikan seseorang ‘sapi perahan’ dengan alasan telah ditetapkan menjadi tersangka. “Saya kira sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka perlu ada bukti kuat. Standarnya itu kan minimal dua alat bukti, kalau ini tidak terpenuhi, jangan dilakukan (penetapan, Red),” ujarnya.

Ketika seseorang telah ditetapkan menjadi tersangka, namun pada tahap selanjutnya tidak ditemukan adanya perkembangan terhadap kasus yang disangkakan kepadanya, pihak kejaksaan jangan menggantung nasib seseorang. “Harus ada penjelasan yang konkret. Jadi dalam hal ini saya kira perlu adanya pengawasan,” ujarnya.

Secara terpisah, Koordinator Bidang Monitoring Peradilan ICW Emerson Juntho, memberikan pernyataan senada. Ia menilai sangat mungkin lamanya proses hukum yang melibatkan kepala daerah dijadikan alat tawar-menawar antara pihak-pihak tertentu dengan tersangka.
Menurut dia, apa yang dialami Rahudman saat ini, juga dialami sejumlah kepala daerah. Semisal, Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faoruk. Kasusnya diketahui sampai saat ini masih menggantung padahal sudah tujuh bulan lebih ditetapkan sebagai tersangka. Demikian juga Gubernur Bengkulu, Agusrin Najamuddin.

“Jadi sangat mungkin dijadikan itu (tawar-menawar,Red). Kalau kita lihat, kasus-kasus kepala daerah, background politiknya kental sekali. Semestinya penuntasan kasus-kasus korupsi menjadi prioritas. Jangan ada alasan menunda-nunda. Kalau menunda-nunda wajar publik menduga ada apa-apa dibaliknya,” ujar Emerson.

Emerson juga memertanyakan mengapa proses hukum di kejaksaan tak sama dengan proses yang ada di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada tahap penetapan tersangka, memang kedua lembaga tersebut, menganut paham harus memiliki dua alat bukti yang kuat. Hanya anehnya, jika di KPK proses selanjutnya berjalan dengan sangat cepat, di kejaksaan justru bisa tertahan hingga bertahun-tahun.

Karena itu Emerson juga menilai perlunya perbaikan hukum yang lebih baik di tanah air, sehingga semua masyarakat benar-benar dapat merasakan manfaatnya. Paling tidak ada kepastian waktu agar masyarakat tidak menjadi bertanya-tanya dan menduga ada permainan di dalamnya. “Kalau terus menggantu, wajar saja bila saya dan masyarakat lain curiga, ada apa ini. Jangan-jangan kan…” kata-nya.

Dihubungi terpisah, Pengacara Rahudman Harahap Hasrul Benny Harahap mengakui kalau dirinya belum bisa memberikan keterangan lebih banyak tentang kasus dugaan korupsi yang dialami Rahudman Harahap. “Saya akan beberkan sesuai tahapannya. Yang jelas, kami akan ikuti setiap tahapan persidangan sesuai aturan yang ada,” ujarnya.

Saat didesak apa saja yang akan disiapkan tim pengacara, Hasrul enggan memberikan keterangan panjang. “Belum saatnya kami buka, tunggu waktunya ya,” sebutnya.

Sedangkan, Wali Kota Medan Rahudman Harahap ketika ditemui di rumah dinas mengaku akan mengikuti aturan yang ada. “Saya ikut aturan,” tegasnya singkat. (gir)

Rahudman: “Ini Bagian Persaingan Politik”

Dugaan korupsi  anggaran di Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan (Pemkab Tapsel) pada tahun anggaran 2004-2005 untuk program Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintah Desa (TPAPD) Pemkab Tapsel sebesar Rp5,9 miliar, tengah membidik Rahudman Harahap.  Awalnya aparat penegak hukum mulai melakukan pengusutan menjelang digelarnya Pilkada Medan pada 12 Mei 2010 silam.

Nah, hasil audit BPKP menyebutkan, indikasi korupsi TPAPD itu terjadi karena uang diambil sebelum disahkannya APBD Tapsel. Peruntukannya juga tidak mengarah kepada program yang tercatat sesuai dengan di buku APBD Pemkab Tapsel.

Dasar itulah, Polres Tapsel menetapkan Amrin Tambunan sebagai tersangka pada tahun 2006. Tapi, kasusnya seperti terendam “dikubangan” dan mengapung kembali pada April 2010. Setelah mantan Sekda Tapsel Rahudman Harahap menjadi salah satu calon Wali Kota Medan nomor urut 6 bersama Dzulmi Eldin.

Pengusutan dugaan kasus korupsi yang sepertinya sudah melupakan masyarakat Tapsel, oleh Poldasu dibuka kembali atas ditangkapnya Amrin Tambunan. Babak baru pengusutan kasus dugaan korupsi yang melibatkan Rahudman Harahap bergerak cepat.
Isu dugaan korupsi beredar di tengah hasil survei Pilkada Kota Medan masih menjagokan Rahudman Harahap kala Pilkada Kota Medan dulu. Dugaan korupsi menjadi pembicaraan dan sering dihembuskan lawan politik Rahudman Harahap ketika itu. Tapi, masyarakat tak menggubrisnya karena status Rahudman tidak terjerat hukum.

Sebelumnya, kepada Sumut Pos, Wali Kota Medan Rahudman Harahap mengaku heran atas penetapan dirinya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tunjangan pejabat aparatur desa (TPAD) tahun 2005. Dia menilai, pengusutan kasus yang terjadi saat dirinya menjabat sebagai Sekda Tapanuli Selatan (Tapsel) adalah bagian dari persaingan politik kala itu.

Setelah Rahudman Harahap resmi menjabat sebagai Wali Kota Medan periode 2010-2015, tepatnya pada 26 Oktober 2010, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) Sution Usman Adjie menetapkan mantan Sekda Tapsel, Rahudman Harahap menjadi tersangka.

Pasca menjadi tersangka, Rahudman tak kunjung diperiksa hingga April 2011. Sution pindah tugas menjabat sebagai Sekretaris Badan Diklat (Sesdandiklat) Kejagung, selanjutnya Asisten Pidana Khusus (Apidsus) Kejatisu Erbindo Saragih juga pindah ke Kejagung. Status tersangka Rahudman mengambang hingga 3 Desember 2012 dan untuk pertama kalinya Rahudman menjalani pemeriksaan sebagai tersangka.

Dua tahun pasca ditetapkan tersangka, Rahudman baru mulai diperiksa pada 12 April 2013. Kasusnya pun semakin cepat disidangkan pasca turunnya sejumlah petinggi penegak hukum, seperti Ketua KPK, Wakajagung, dan Kapolri pada 5 Februari 2013. (*)

Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Abdullah Dahlan, memastikan dari catatan yang ada, tidak sedikit kepala daerah mengalami nasib seperti dialami Wali Kota Medan Rahudman Harahap. Meski ditetapkan menjadi tersangka sejak 26 Oktober 2010 lalu, kasusnya baru dibuka kembali pertengahan 2013. Kondisi ini benar-benar menjadikan seorang kepala daerah tersandera hingga mengganggu kerja mereka.

PENINJAUAN: Wali Kota Medan Drs Rahudman Harahap saat melakukan peninjauan  salah satu wilayah Kecamatan  Kota Medan. ///file/sumut pos
PENINJAUAN: Wali Kota Medan Drs Rahudman Harahap saat melakukan peninjauan di salah satu wilayah Kecamatan di Kota Medan. ///file/sumut pos

“Jadi yang kita temukan itu banyak kasus yang tak diselesaikan, tapi diperlambat. Seharusnya penegak hukum melakukan langkah-langkah sesuai fungsi kerja yang ada. Perlu ada kepastian hukum dan sebaiknya proses yang ada itu dipercepat. Tapi ini malah tidak dilaksanakan,” ujarnya kepada koran ini di Jakarta, Rabu (2/5).

Karena itu atas kasus Rahudman, kondisi yang ada menurut Abdullah patut dipertanyakan. Sebab bukan tidak mungkin dimanfaatkan pihak-pihak tertentu mejadikan seseorang ‘sapi perahan’ dengan alasan telah ditetapkan menjadi tersangka. “Saya kira sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka perlu ada bukti kuat. Standarnya itu kan minimal dua alat bukti, kalau ini tidak terpenuhi, jangan dilakukan (penetapan, Red),” ujarnya.

Ketika seseorang telah ditetapkan menjadi tersangka, namun pada tahap selanjutnya tidak ditemukan adanya perkembangan terhadap kasus yang disangkakan kepadanya, pihak kejaksaan jangan menggantung nasib seseorang. “Harus ada penjelasan yang konkret. Jadi dalam hal ini saya kira perlu adanya pengawasan,” ujarnya.

Secara terpisah, Koordinator Bidang Monitoring Peradilan ICW Emerson Juntho, memberikan pernyataan senada. Ia menilai sangat mungkin lamanya proses hukum yang melibatkan kepala daerah dijadikan alat tawar-menawar antara pihak-pihak tertentu dengan tersangka.
Menurut dia, apa yang dialami Rahudman saat ini, juga dialami sejumlah kepala daerah. Semisal, Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faoruk. Kasusnya diketahui sampai saat ini masih menggantung padahal sudah tujuh bulan lebih ditetapkan sebagai tersangka. Demikian juga Gubernur Bengkulu, Agusrin Najamuddin.

“Jadi sangat mungkin dijadikan itu (tawar-menawar,Red). Kalau kita lihat, kasus-kasus kepala daerah, background politiknya kental sekali. Semestinya penuntasan kasus-kasus korupsi menjadi prioritas. Jangan ada alasan menunda-nunda. Kalau menunda-nunda wajar publik menduga ada apa-apa dibaliknya,” ujar Emerson.

Emerson juga memertanyakan mengapa proses hukum di kejaksaan tak sama dengan proses yang ada di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada tahap penetapan tersangka, memang kedua lembaga tersebut, menganut paham harus memiliki dua alat bukti yang kuat. Hanya anehnya, jika di KPK proses selanjutnya berjalan dengan sangat cepat, di kejaksaan justru bisa tertahan hingga bertahun-tahun.

Karena itu Emerson juga menilai perlunya perbaikan hukum yang lebih baik di tanah air, sehingga semua masyarakat benar-benar dapat merasakan manfaatnya. Paling tidak ada kepastian waktu agar masyarakat tidak menjadi bertanya-tanya dan menduga ada permainan di dalamnya. “Kalau terus menggantu, wajar saja bila saya dan masyarakat lain curiga, ada apa ini. Jangan-jangan kan…” kata-nya.

Dihubungi terpisah, Pengacara Rahudman Harahap Hasrul Benny Harahap mengakui kalau dirinya belum bisa memberikan keterangan lebih banyak tentang kasus dugaan korupsi yang dialami Rahudman Harahap. “Saya akan beberkan sesuai tahapannya. Yang jelas, kami akan ikuti setiap tahapan persidangan sesuai aturan yang ada,” ujarnya.

Saat didesak apa saja yang akan disiapkan tim pengacara, Hasrul enggan memberikan keterangan panjang. “Belum saatnya kami buka, tunggu waktunya ya,” sebutnya.

Sedangkan, Wali Kota Medan Rahudman Harahap ketika ditemui di rumah dinas mengaku akan mengikuti aturan yang ada. “Saya ikut aturan,” tegasnya singkat. (gir)

Rahudman: “Ini Bagian Persaingan Politik”

Dugaan korupsi  anggaran di Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan (Pemkab Tapsel) pada tahun anggaran 2004-2005 untuk program Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintah Desa (TPAPD) Pemkab Tapsel sebesar Rp5,9 miliar, tengah membidik Rahudman Harahap.  Awalnya aparat penegak hukum mulai melakukan pengusutan menjelang digelarnya Pilkada Medan pada 12 Mei 2010 silam.

Nah, hasil audit BPKP menyebutkan, indikasi korupsi TPAPD itu terjadi karena uang diambil sebelum disahkannya APBD Tapsel. Peruntukannya juga tidak mengarah kepada program yang tercatat sesuai dengan di buku APBD Pemkab Tapsel.

Dasar itulah, Polres Tapsel menetapkan Amrin Tambunan sebagai tersangka pada tahun 2006. Tapi, kasusnya seperti terendam “dikubangan” dan mengapung kembali pada April 2010. Setelah mantan Sekda Tapsel Rahudman Harahap menjadi salah satu calon Wali Kota Medan nomor urut 6 bersama Dzulmi Eldin.

Pengusutan dugaan kasus korupsi yang sepertinya sudah melupakan masyarakat Tapsel, oleh Poldasu dibuka kembali atas ditangkapnya Amrin Tambunan. Babak baru pengusutan kasus dugaan korupsi yang melibatkan Rahudman Harahap bergerak cepat.
Isu dugaan korupsi beredar di tengah hasil survei Pilkada Kota Medan masih menjagokan Rahudman Harahap kala Pilkada Kota Medan dulu. Dugaan korupsi menjadi pembicaraan dan sering dihembuskan lawan politik Rahudman Harahap ketika itu. Tapi, masyarakat tak menggubrisnya karena status Rahudman tidak terjerat hukum.

Sebelumnya, kepada Sumut Pos, Wali Kota Medan Rahudman Harahap mengaku heran atas penetapan dirinya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tunjangan pejabat aparatur desa (TPAD) tahun 2005. Dia menilai, pengusutan kasus yang terjadi saat dirinya menjabat sebagai Sekda Tapanuli Selatan (Tapsel) adalah bagian dari persaingan politik kala itu.

Setelah Rahudman Harahap resmi menjabat sebagai Wali Kota Medan periode 2010-2015, tepatnya pada 26 Oktober 2010, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) Sution Usman Adjie menetapkan mantan Sekda Tapsel, Rahudman Harahap menjadi tersangka.

Pasca menjadi tersangka, Rahudman tak kunjung diperiksa hingga April 2011. Sution pindah tugas menjabat sebagai Sekretaris Badan Diklat (Sesdandiklat) Kejagung, selanjutnya Asisten Pidana Khusus (Apidsus) Kejatisu Erbindo Saragih juga pindah ke Kejagung. Status tersangka Rahudman mengambang hingga 3 Desember 2012 dan untuk pertama kalinya Rahudman menjalani pemeriksaan sebagai tersangka.

Dua tahun pasca ditetapkan tersangka, Rahudman baru mulai diperiksa pada 12 April 2013. Kasusnya pun semakin cepat disidangkan pasca turunnya sejumlah petinggi penegak hukum, seperti Ketua KPK, Wakajagung, dan Kapolri pada 5 Februari 2013. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/