28.9 C
Medan
Sunday, June 16, 2024

Saksi: Wajar, Permintaan PT BDKL kepada KJPP Syamsul Hadi

MEDAN-Ketua Dewan Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI), Oky Danuza -yang dihadirkan sebagai saksi ahli oleh jaksa penuntut umum, menyatakan, permintaan PT BDKL kepada Kantor Jasa Penilaian Publik Syamsul Hadi  dan rekan (KJPP SAH) untuk menilai aset PT Atakana adalah wajar.
“Permintaan PT BDKL kepada KJPP SAH dan rekan utk menilai aset PT Atakana adalah wajar dan bukanlah merupakan suatu pelanggaran terhadap Standar Penilai Indonesia. Siapa saja dapat meminta jasa penilai utk menilai suatu aset,” tegas Oky Danuza, pada persidangan lanjutan di pengadilan Tipikor di Pengadilan Negeri Medan, kemarin (28/2).

Adapun saksi menegaskan bahwa dalam kasus ini, yang menentukan penilaian tersebut melanggar SPI ataupun kode etik penilaian Indonesia adalah sidang kode etik dewan penilai, bukan instansi lain. “Karena yg tahu penilaian itu benar atau salah adalah profesi penilai itu sendiri,” tambahnya.
Karena itu, saksi ahli mengakui tidak pernah mengetahui atau menerima pengaduan tentang adanya pelanggaran kode etik profesi. “Saya juga menjabat Ketua Dewan Penilai. Tapi kami memang tidak pernah melaksanakan sidang kode etik terhadap Syamsul Hadi yang melakukan penilaian terhadap PT Atakana Company. Kami juga tidak pernah menerima pengaduan terkait penilaian yang dilakukan Syamsul Hadi itu. Selama ini saya hanya melihat dari BAP jaksa yang menyebutkan dalam penilaian Syamsul Hadi ada pelanggaran,” kata saksi menjawab Baso Fakhruddin dari SIP Law Firm, kuasa hukum tiga karyawan BNI.

Saksi melanjutkan, aset perkebunan yang menjadi agunan di bank, lalu aset itu diagunkan lagi, maka seharusnya yang meminta dilakukan penilaian atas aset itu bisa siapa saja.

“Yang penting di kontrak jelas, laporan itu untuk apa digunakan. Bisa saja pihak ketiga meminta melakukan penilaian. Karena tidak semua jaminan yang diikat itu milik si debitur,” bebernya.

Disebutkan Oky, kesimpulan yang dilakukan oleh tim penilai hanyalah mengenai berapa nilai aset tersebut, bukan terkait jelek atau bagusnya perusahaan. Hasil penilaian bisa saja menimbulkan konflik. “Memang bisa saja hasil penilaian kita tidak diterima. Biarpun objektif tapi tidak langsung diterima pihak-pihak lain. Jadi bisa saja hasil penilaian kita tidak bisa diterima, walaupun penjual dan pembeli sudah ada kesepakatan,” ujar Oky yang juga selaku Dewan Penilai.

Ditambahkannya, penilaian yang dilakukan oleh KJPP Syamsul Hadi dan rekan telah sesuai dengan tujuan penilaian. “Laporan penilaian yang tujuannya jual beli, tapi digunakan untuk pasar modal, maka resiko itu adalah pengguna laporan. Penilaian harus objektif, jadi tidak ada hubungan siapa yang memberi tugas. Sepanjang objek penilaiannya persis sama. Yang menjadi pengaruh sebenarnya keragaman di dalam kebun tersebut. Misalnya untuk kebun 3.445 hektare, penilaian dilakukan sekitar tiga hari,” ungkapnya.

Menurut Oky, bisa saja aset yang dijaminkan tersebut bukanlah aset debitur. Namun seorang penilai, tidak punya hak memastikan aset tersebut punya debitur atau tidak. Biasanya ada penilaian dari konsultan penilaian. Hasil laporan penilaian sifatnya opini.

Dalam SPI, si penilai publik tidak wajib turun ke lapangan, tapi staf yang diutus. Staf yang turun ke lapangan tidak harus mempunyai izin sebagai penilai, karena tugasnya adalah mengumpulkan data saja, bukan melakukan penilaian.

Ditambahkan Oky, si penilai bisa saja tidak langsung melihat objek dalam melakukan penilaian. Maka untuk itulah dibentuk tim penilai. Lalu diutus staf yang berkompetensi untuk mengambil data di lapangan. Biasanya metode penilaian aset apakah pendekatan pasar, pendapatan ataupun biaya.
Seorang penilai harus mendapatkan izin dari Menteri Keuangan. Untuk mendapatkan izin itu, penilai harus bersertifikat. Untuk itulah, penilai harus ikut ujian sertifikat MAPPI.

“Sering terjadi laporan pembebasan lahan dibawa ke ranah hukum yang dipersoalkan adalah keabsahannya. Padahal laporan yang kami susun sesuai standar penilaian. Tapi banyak yang mengatakan laporan itu tidak sah. Dalam standar itu mengatur secara umum dan ada panduan penilaian tertentu. Tapi standar penilaian itu memang tidak mengatur secara detail soal kebun. Standar penilaian itu mengenai apa yang harus dilakukan, bukan mengatur soal objek,” urainya.

Usai mendengarkan keterangan dari saksi ahli, majelis hakim yang diketuai Erwin Mangatas Malau menunda persidangan hingga pekan depan untuk menghadirkan saksi dari BPKP. (far)

MEDAN-Ketua Dewan Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI), Oky Danuza -yang dihadirkan sebagai saksi ahli oleh jaksa penuntut umum, menyatakan, permintaan PT BDKL kepada Kantor Jasa Penilaian Publik Syamsul Hadi  dan rekan (KJPP SAH) untuk menilai aset PT Atakana adalah wajar.
“Permintaan PT BDKL kepada KJPP SAH dan rekan utk menilai aset PT Atakana adalah wajar dan bukanlah merupakan suatu pelanggaran terhadap Standar Penilai Indonesia. Siapa saja dapat meminta jasa penilai utk menilai suatu aset,” tegas Oky Danuza, pada persidangan lanjutan di pengadilan Tipikor di Pengadilan Negeri Medan, kemarin (28/2).

Adapun saksi menegaskan bahwa dalam kasus ini, yang menentukan penilaian tersebut melanggar SPI ataupun kode etik penilaian Indonesia adalah sidang kode etik dewan penilai, bukan instansi lain. “Karena yg tahu penilaian itu benar atau salah adalah profesi penilai itu sendiri,” tambahnya.
Karena itu, saksi ahli mengakui tidak pernah mengetahui atau menerima pengaduan tentang adanya pelanggaran kode etik profesi. “Saya juga menjabat Ketua Dewan Penilai. Tapi kami memang tidak pernah melaksanakan sidang kode etik terhadap Syamsul Hadi yang melakukan penilaian terhadap PT Atakana Company. Kami juga tidak pernah menerima pengaduan terkait penilaian yang dilakukan Syamsul Hadi itu. Selama ini saya hanya melihat dari BAP jaksa yang menyebutkan dalam penilaian Syamsul Hadi ada pelanggaran,” kata saksi menjawab Baso Fakhruddin dari SIP Law Firm, kuasa hukum tiga karyawan BNI.

Saksi melanjutkan, aset perkebunan yang menjadi agunan di bank, lalu aset itu diagunkan lagi, maka seharusnya yang meminta dilakukan penilaian atas aset itu bisa siapa saja.

“Yang penting di kontrak jelas, laporan itu untuk apa digunakan. Bisa saja pihak ketiga meminta melakukan penilaian. Karena tidak semua jaminan yang diikat itu milik si debitur,” bebernya.

Disebutkan Oky, kesimpulan yang dilakukan oleh tim penilai hanyalah mengenai berapa nilai aset tersebut, bukan terkait jelek atau bagusnya perusahaan. Hasil penilaian bisa saja menimbulkan konflik. “Memang bisa saja hasil penilaian kita tidak diterima. Biarpun objektif tapi tidak langsung diterima pihak-pihak lain. Jadi bisa saja hasil penilaian kita tidak bisa diterima, walaupun penjual dan pembeli sudah ada kesepakatan,” ujar Oky yang juga selaku Dewan Penilai.

Ditambahkannya, penilaian yang dilakukan oleh KJPP Syamsul Hadi dan rekan telah sesuai dengan tujuan penilaian. “Laporan penilaian yang tujuannya jual beli, tapi digunakan untuk pasar modal, maka resiko itu adalah pengguna laporan. Penilaian harus objektif, jadi tidak ada hubungan siapa yang memberi tugas. Sepanjang objek penilaiannya persis sama. Yang menjadi pengaruh sebenarnya keragaman di dalam kebun tersebut. Misalnya untuk kebun 3.445 hektare, penilaian dilakukan sekitar tiga hari,” ungkapnya.

Menurut Oky, bisa saja aset yang dijaminkan tersebut bukanlah aset debitur. Namun seorang penilai, tidak punya hak memastikan aset tersebut punya debitur atau tidak. Biasanya ada penilaian dari konsultan penilaian. Hasil laporan penilaian sifatnya opini.

Dalam SPI, si penilai publik tidak wajib turun ke lapangan, tapi staf yang diutus. Staf yang turun ke lapangan tidak harus mempunyai izin sebagai penilai, karena tugasnya adalah mengumpulkan data saja, bukan melakukan penilaian.

Ditambahkan Oky, si penilai bisa saja tidak langsung melihat objek dalam melakukan penilaian. Maka untuk itulah dibentuk tim penilai. Lalu diutus staf yang berkompetensi untuk mengambil data di lapangan. Biasanya metode penilaian aset apakah pendekatan pasar, pendapatan ataupun biaya.
Seorang penilai harus mendapatkan izin dari Menteri Keuangan. Untuk mendapatkan izin itu, penilai harus bersertifikat. Untuk itulah, penilai harus ikut ujian sertifikat MAPPI.

“Sering terjadi laporan pembebasan lahan dibawa ke ranah hukum yang dipersoalkan adalah keabsahannya. Padahal laporan yang kami susun sesuai standar penilaian. Tapi banyak yang mengatakan laporan itu tidak sah. Dalam standar itu mengatur secara umum dan ada panduan penilaian tertentu. Tapi standar penilaian itu memang tidak mengatur secara detail soal kebun. Standar penilaian itu mengenai apa yang harus dilakukan, bukan mengatur soal objek,” urainya.

Usai mendengarkan keterangan dari saksi ahli, majelis hakim yang diketuai Erwin Mangatas Malau menunda persidangan hingga pekan depan untuk menghadirkan saksi dari BPKP. (far)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/