MEDAN, SUMUTPOS.CO – Taggal 1 Juli 2016, Kota Medan genap berusia 426 tahun. Dengan usia yang sudah begitu matang, bahkan bisa dibilang uzur, sudah layakkah Kota Medan disejajarkan dengan kota kecil seperti Bandung? Kini Kota Bandung sudah bertransformasi menjadi kota impian. Sementara Medan, mimpi pun belum terbeli.
Ya, masyarakat Kota Medan masih belum lepas dari segudang permasalahan klasik. Apa saja? Banjir, jalan rusak, korupsi, pengangguran serta persoalan lainnya. Jika kota kecil seperti Bandung saja bisa berbenah, harusnya Kota Medan juga bisa. Lalu di mana letak permasalahannya?
Masyarakat menilai, pemimpin Kota Medan selama ini yang belum mampu memberi perubahan yang signifikan selain bertambahnya gedung-gedung mewah dan manusia. Sementara, seiring berkembang pesatnya gedung-gedung pencakar langit, persoalan klasik seperti banjir masih belum bisa enyah dari ibukota Sumatera Utara ini. Pasalnya satu jam saja diguyur hujan, Kota Medan sudah dikepung banjir.
“Banjir merupakan persoalan yang setiap saat mengemuka namun tidak ada penyelesaian tuntas, padahal tidak sedikit anggaran yang digelontorkan ke sana. Berulangkali drainase diperbaiki tapi tidak ada hasilnya, berarti proyeknya asal-asalan sehingga uang yang dikeluarkan sia-sia,” ungkap Wakil Ketua DPRD Medan, Iswanda Nanda Ramli, Selasa (28/6).
Masalah klasik selanjutnya adalah kesejahteraan masyarakat. Politisi Golkar yang akrab disapa Nanda ini mengatakan berdasarkan pantauan di daerah pemilihannya, masyarakat semakin lama semakin terpuruk akibat kesulitan ekonomi. Hal itu juga ditandai dengan banyaknya penangguran dari tahun ke tahun.
“Kalau PR sudah jelas ada banyak sekali, mulai dari infrastruktur, pelayanan publik, pengangguran dan lain sebagainya. Walikota Medan saat ini harus memikirkan bagaimana generasi muda ini bisa bekerja. Setidaknya mereka bisa membuka usaha sendiri, jangan melulu setelah tamat jadi pengangguran,” tegas Nanda.
Sementara Ketua Fraksi Demokrat DPRD Medan, Herry Zulkarnain menyebutkan Kota Medan butuh pemimpin seperti Ahok. Untuk menggebrak itu butuh ketegasan dan keberanian. Termasuk berani menegakkan aturan dan melawan penguasa.
“Kita butuh yang seperti Ahok. Kok bisa Jakarta yang semrawut sekarang jadi rapi. Permasalahnnnya di mana? Di pemimpinnya!”ujar Herry.
Selama beberapa dekade, kata Herry, tidak ada perubahan yang signifikan yang dilakukan pemimpin di Kota Medan. “Selama ini kita bisa lihat penegakan aturan masih ngambang. Contohnya saja billboard di titik terlarang sampai sekarang belum tuntas. Padahal peraturannya sudah jelas, tinggal ditegakkan tapi tidak berani,” ketus Herry.
Herry juga sepakat bahwa masalah yang belum lepas dari Kota Medan adalah pengangguran. Menurutnya, hal itu bisa dikaitkan dengan iklim investasi di Kota Medan yang masih belum menggelora.
Hal itu, katanya, dipengaruhi sistem perizinan yang ribet dan memakan banyak biaya, serta infrastruktur dan SDM yang tidak memadai. Infrastruktur yang dimaksud ialah jalan, lampu jalan, dan lainnya.
“Jujur saja teman-teman pengusaha mengakui kalau mengurus izin di Kota Medan itu sulit, harus ke sana kemari tidak satu pintu. Otomatis biaya pun bertambah. Belum lagi, di Medan banyak sekali oknum-oknum preman baik dalam pemerintahan maupun di masyarakat. Jadi investor enggan datang kemari,” katanya.
Padahal, lanjutnya, jika investor datang akan bisa menyerap ribuan tenaga kerja. Pemko Medan juga bisa menganjurkan perusahaan merekrut tenaga kerja asal Medan agar jumlah pengangguran berkurang.
Selain itu, kata Herry, dalam rangka mengurangi pengangguran, Pemko Medan harus mendukung penuh Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) agar bisa berkembang.
“Dalam hal ini, Pemko bisa menyediakan ‘panggung’ bagi para pelaku usaha kecil, termasuk para pedagang yang lebih ditata di kawasan khusus misalnya. Pemko juga bisa membantu permodalan para pelaku usaha, jadi pengangguran bisa teratasi,” katanya. (win)