27.8 C
Medan
Sunday, June 2, 2024

Dimasak Pakai Kayu Bakar, Dibagikan Cuma-cuma

Buka Puasa Bubur Sop Masjid Raya Khas Melayu

Hari ini seluruh umat Islam di Indonesia menunaikan ibadah puasa di Bulan Ramadan.  Menjelang petang setiap hari di Bulan Ramadan, halaman Masjid Raya Al Mashun Jalan Sisingamangaraja Medan-Sumatera Utara selalu disesaki umat Muslim untuk berbuka puasa. Mereka ingin menikmati bubur sop dan anyang khas Melayu.

Seperti kebiasaan dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadan, Kota Medan juga memiliki tradisi turun-temurun selama berpuasa. Yaitu berbuka puasa bersama dengan menyantap bubur sop. Satu jenis masakan khas dari lingkungan Kesultanan Deli untuk dibagikan kepada masyarakat secara cuma-cuma di pelataran Masjid Raya Kota Medan setiap saat berbuka tiba.

“Bukan bubur pedas tapi bubur sop. Khas menu berbuka di Masjid Raya selama bulan Ramadan ini. Masakannya khas Melayu dan dimasak dengan bumbu juga sistem yang masih tradisional. Tidak menggunakan kompor gas tapi menggunakan kayu bakar,” ujar Koordinator Lapangan Masjid Raya H Sutomo Nasution, yang ditemui di seputaran Masjid Raya, Minggu (31/7).

Pantauan Sumut Pos, tampak dua teratak sudah berdiri di sisi kiri masjid. Bersebelahan dengan tempat pengambilan wuduk yaitu di sisi Jalan SM Raja Medan. Sementara ratusan kayu bakar dalam beberapa ukuran tertumpuk rapi di beberapa bagian. Sementara di salah satu teratak tiga tungku pembakaran terpasang kokoh siap melaksanakan tugasnya. Dua tungku dari besi dan satu tungku dari batu yang disusun di tiga sudut.

Tungku pertama yang di sebelah kanan digunakan untuk memasak air minum. Tungku yang kedua akan digunakan untuk memasak bubur dan adonan lainnya. Sementara tungku ketiga yang terbuat dari batu tersusun di tiga sisi berada di sebelah kiri berfungsi untuk memasak minuman ringan seperti teh manis.

Seperti yang disampaikan H Sutomo, pekerjaan meramu bubur sop ini sudah dimulai dari pukul 10.00 WIB. Terdapat tiga juru masak diantaranya H Zulkifli. Mulai dari memotong daging, memasak nasi, air minum, juga sop. Untuk itu seperti beras dan bumbu yang dibutuhkan sudah disiapkan sejak kemarin. “Semua bahan dan bumbu sudah kita siapkan jadi besok (hari ini, Red) tinggal masak. Dananya kita dapatkan dari kenaziran Masjid Raya,” tutur pria bertubuh tambun itu.

Untuk menyajikan bubur sop sebagai menu berbuka bersama masyarakat, lanjutnya, dibutuhkan 40 kilogram beras, daging sapi dan tulang sop sebanyak 10 kilogram, kentang 20 kg-30 kg, bawang, daun sere, dan rempah-rempah, sebagai bumbu yang nanti diracik secara tradisional. Untuk memasak sengaja menggunakan kayu bakar. “Karena memang seperti itu kebiasaannya. Kalau pakai kompor gas, rasanya jadi berbeda. Tapi kalau pakai kayu, apinya itu langsung, jadi lebih enak,” tambahnya.

Mulai pukul 16.00 WIB bubur sop tadi pun sudah siap disajikan. Biasanya masyarakat sudah berkumpul dengan membawa rantang untuk membawa bubur sop sebagai santapan berbuka di rumah bersama keluarga. Selain dibagikan secara cuma-cuma tidak ada pembatasan bagi masyarakat yang ingin menikmati bubur sop tadi. Juga untuk 350 orang yang akan berbuka puasa bersama di pelataran Masjid Raya.

Menurut H Sutomo, tradisi berbuka puasa bersama dengan bubur sop ini tidak hanya dinikmati warga Kota Medan. Tidak sedikit pula yang datang dari berbagai kabupaten dan kota di Sumatera Utara (Sumut) juga di luarnya. Mereka datang dengan berbagai alasan pula. Selain penasaran dengan cerita yang ada, juga dikarenakan tuntutan tertentu.
“Seperti Ramadan tahun lalu ada yang datang dari Pematang Siantar dan Batubara karena istrinya ngidam. Kalau masih ada, pasti kita kasih. Kalau pun tidak ada lagi, mereka kita suruh kembali esok hari dan pasti sudah kita siapkan,” tegasnya.

Tradisi berbuka puasa dengan bubur sop dan anyang itu mulai dilakukan pada pemerintahan Kesultanan Deli, saat dipimpin Tuanku Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alam (1909). Pada saat itu, bubur pedas menjadi menu sajian bagi para sultan dan bangsawan Melayu lainnya. Tuanku Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alam menggagas agar tradisi makan bubur itu menjadi sarana berbagi sedekah bagi warga sekitar Masjid Raya Al Maksum dan Istana Maimun serta kaum duafa dan kaum musafir.

Bubur yang rasanya pedas itu dibuat dengan bermacam jenis rempah. Namun, kini bumbu untuk bubur tidak selengkap dahulu karena beberapa bumbu sudah sulit ditemui. Seiring dengan waktu, sajian itu berubah menjadi bubur sop karena sulitnya mendapatkan bahan dasar resep bubur pedas, warisan Tuanku Sultan Makmum Al Rasyid Perkasa Alam. (*)

Buka Puasa Bubur Sop Masjid Raya Khas Melayu

Hari ini seluruh umat Islam di Indonesia menunaikan ibadah puasa di Bulan Ramadan.  Menjelang petang setiap hari di Bulan Ramadan, halaman Masjid Raya Al Mashun Jalan Sisingamangaraja Medan-Sumatera Utara selalu disesaki umat Muslim untuk berbuka puasa. Mereka ingin menikmati bubur sop dan anyang khas Melayu.

Seperti kebiasaan dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadan, Kota Medan juga memiliki tradisi turun-temurun selama berpuasa. Yaitu berbuka puasa bersama dengan menyantap bubur sop. Satu jenis masakan khas dari lingkungan Kesultanan Deli untuk dibagikan kepada masyarakat secara cuma-cuma di pelataran Masjid Raya Kota Medan setiap saat berbuka tiba.

“Bukan bubur pedas tapi bubur sop. Khas menu berbuka di Masjid Raya selama bulan Ramadan ini. Masakannya khas Melayu dan dimasak dengan bumbu juga sistem yang masih tradisional. Tidak menggunakan kompor gas tapi menggunakan kayu bakar,” ujar Koordinator Lapangan Masjid Raya H Sutomo Nasution, yang ditemui di seputaran Masjid Raya, Minggu (31/7).

Pantauan Sumut Pos, tampak dua teratak sudah berdiri di sisi kiri masjid. Bersebelahan dengan tempat pengambilan wuduk yaitu di sisi Jalan SM Raja Medan. Sementara ratusan kayu bakar dalam beberapa ukuran tertumpuk rapi di beberapa bagian. Sementara di salah satu teratak tiga tungku pembakaran terpasang kokoh siap melaksanakan tugasnya. Dua tungku dari besi dan satu tungku dari batu yang disusun di tiga sudut.

Tungku pertama yang di sebelah kanan digunakan untuk memasak air minum. Tungku yang kedua akan digunakan untuk memasak bubur dan adonan lainnya. Sementara tungku ketiga yang terbuat dari batu tersusun di tiga sisi berada di sebelah kiri berfungsi untuk memasak minuman ringan seperti teh manis.

Seperti yang disampaikan H Sutomo, pekerjaan meramu bubur sop ini sudah dimulai dari pukul 10.00 WIB. Terdapat tiga juru masak diantaranya H Zulkifli. Mulai dari memotong daging, memasak nasi, air minum, juga sop. Untuk itu seperti beras dan bumbu yang dibutuhkan sudah disiapkan sejak kemarin. “Semua bahan dan bumbu sudah kita siapkan jadi besok (hari ini, Red) tinggal masak. Dananya kita dapatkan dari kenaziran Masjid Raya,” tutur pria bertubuh tambun itu.

Untuk menyajikan bubur sop sebagai menu berbuka bersama masyarakat, lanjutnya, dibutuhkan 40 kilogram beras, daging sapi dan tulang sop sebanyak 10 kilogram, kentang 20 kg-30 kg, bawang, daun sere, dan rempah-rempah, sebagai bumbu yang nanti diracik secara tradisional. Untuk memasak sengaja menggunakan kayu bakar. “Karena memang seperti itu kebiasaannya. Kalau pakai kompor gas, rasanya jadi berbeda. Tapi kalau pakai kayu, apinya itu langsung, jadi lebih enak,” tambahnya.

Mulai pukul 16.00 WIB bubur sop tadi pun sudah siap disajikan. Biasanya masyarakat sudah berkumpul dengan membawa rantang untuk membawa bubur sop sebagai santapan berbuka di rumah bersama keluarga. Selain dibagikan secara cuma-cuma tidak ada pembatasan bagi masyarakat yang ingin menikmati bubur sop tadi. Juga untuk 350 orang yang akan berbuka puasa bersama di pelataran Masjid Raya.

Menurut H Sutomo, tradisi berbuka puasa bersama dengan bubur sop ini tidak hanya dinikmati warga Kota Medan. Tidak sedikit pula yang datang dari berbagai kabupaten dan kota di Sumatera Utara (Sumut) juga di luarnya. Mereka datang dengan berbagai alasan pula. Selain penasaran dengan cerita yang ada, juga dikarenakan tuntutan tertentu.
“Seperti Ramadan tahun lalu ada yang datang dari Pematang Siantar dan Batubara karena istrinya ngidam. Kalau masih ada, pasti kita kasih. Kalau pun tidak ada lagi, mereka kita suruh kembali esok hari dan pasti sudah kita siapkan,” tegasnya.

Tradisi berbuka puasa dengan bubur sop dan anyang itu mulai dilakukan pada pemerintahan Kesultanan Deli, saat dipimpin Tuanku Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alam (1909). Pada saat itu, bubur pedas menjadi menu sajian bagi para sultan dan bangsawan Melayu lainnya. Tuanku Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alam menggagas agar tradisi makan bubur itu menjadi sarana berbagi sedekah bagi warga sekitar Masjid Raya Al Maksum dan Istana Maimun serta kaum duafa dan kaum musafir.

Bubur yang rasanya pedas itu dibuat dengan bermacam jenis rempah. Namun, kini bumbu untuk bubur tidak selengkap dahulu karena beberapa bumbu sudah sulit ditemui. Seiring dengan waktu, sajian itu berubah menjadi bubur sop karena sulitnya mendapatkan bahan dasar resep bubur pedas, warisan Tuanku Sultan Makmum Al Rasyid Perkasa Alam. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/