SUMUTPOS.CO – Media cetak (dan elektronik) saat ini tengah berada di persimpangan jalan. Satu kaki di media lama, kaki lainnya di media baru. Media lama tetap dilakoni, sembari melebarkan sayap ke media di jaringan internet. Dalam dunia persilatan, jurus ini mungkin bisa disebut jurus kuda-kuda tengah. Jurus yang biasa digunakan untuk menahan serangan dari depan, agar tubuh tidak terpental ke belakang.
Mengapa kebanyakan media konvensional saat ini pilih jurus kuda-kuda tengah?
Jurus ini sebagai reaksi atas pergeseran perilaku konsumen memperoleh berita. Yakni, konsumen lama masih setia membaca edisi cetak. Sementara konsumen muda lebih memilih mengonsumsi berita lewat jaringan internet.
Siapa itu konsumen lama? Konon, mereka adalah generasi baby boomer. Berusia 55-73 tahun atau lahir pada pertengahan 1940-an hingga pertengahan 1960-an. Generasi yang sudah nyaman membaca koran di tangannya. Sambil ngopi pagi plus gorengan. Selain mereka, sebagian konsumen lama adalah generasi X (lahir tahun 1965 – 1979). Dan sebagian lagi generasi Y, yang lahir tahun 1980 – 1994. Generasi ini sempat menikmati nikmatnya baca berita di koran, sebelum diserbu online dan medsos.
Adapun konsumen baru mayoritas generasi Z (lahir tahun 1995 – sekarang). Saat masuk usia melek informasi, mereka sudah punya gadget di tangan. Info-info berhamburan cepat dan up to date. Karenanya, generasi ini jarang mau menoleh pada media konvensional. Selain generasi Z, sebagian generasi Y dan generasi X juga memilih informasi lewat jaringan internet.
Fenomena pelebaran sayap media ini, oleh Henry Jenkins (sarjana media Amerika) disebut dengan istilah konvergensi media. Yakni, menggabungkan beberapa mode komunikasi dalam satu jaringan. Tujuannya mudah ditebak: sebagai jurus bertahan atau memperluas bisnis.
Jurnalisme konvergensi pada prakteknya melibatkan kerjasama antara media cetak, media siar, dan media web (daring). Ketiganya dikombinasikan untuk menghasilkan berita terbaik/tercepat yang dimungkinkan, lewat berbagai sistem penyampaian.
Kombinasi media ini adalah bentuk fleksibililitas mengikuti kebutuhan netizen. Konten dimuat sekaligus di dua atau tiga platform media berbeda, untuk menjangkau konsumen berbeda pula. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui (eh… nyambung nggak sih, hehehe).
Sumut Pos juga menggunakan jurus ini. Di usianya yang sudah 19 tahun (1 Oktober 2001-1 Oktober 2020), selain terbit sebagai media cetak harian, Sumut Pos juga mengasuh media di jaringan internet. Seperti media online SUMUTPOS.CO, surat kabar digital (epaper.sumutpos), serta akun-akun medsos (Facebook, Instagram, Twitter, Youtube, dst). Dengan cara ini, konsumen gaya lama masih dilayani, sembari merebut pembaca gaya baru yang butuh pengalaman, bentuk-bentuk, dan konten baru media.
Konvergensi media ini jelas berdampak pada jurnalis. Para jurnalis zaman now dituntut memiliki kemampuan multitasking. Mampu menulis cepat (untuk situs online), mendalam (untuk cetak), serta mengambil video sekaligus menjadi presenter (untuk situs online dan medsos). Singkatnya, JURNALIS dituntut SERBA BISA.
Karena seluruh perkembangan itu, jurnalis yang mungkin sudah lama berkiprah di zona nyaman tulis-menulis, mungkin awalnya rada gagap saat beradaptasi. Tapi show must go on. Nulis harus, merekam video berita juga mesti dituntut.
Mungkin ada yang bertanya? Mengapa jurnalis cetak dan online tidak dipisah saja? Biar jangan gagap-gagap amat.
Jawabnya: ada kok media yang memisahkan kru wartawan cetak, elektronik, dan online, meski satu grup. Tetapi banyak juga yang disuruh nyambi. Alasannya mudah diduga: efisiensi.
Wow, gajinya dobel dong?
Laa… ‘kan tadi alasannya efisiensi?
Lantas, apakah cara itu berhasil membuat industri media konvensional bertahan?
Waktu yang akan menjawab.
Intinya, hingga di usia yang sudah 19 tahun, Sumut Pos masih eksis menyapa pembaca. Baik lewat media cetak, media online, e-paper, maupun lewat akun-akun medsos. Tim Sumut Pos terus belajar, memperkaya wawasan, dan beradaptasi dengan guliran teknologi yang maju pesat.
Gagap? Terkadang…
Tapi judulnya: Pantang Menyerah!
Sebagai motivasi di tengah kabut adaptasi, mungkin bisa dikutip pernyataan Tim Google, yang menyebut telah belajar dari para partner mereka, bahwa peralihan media konvensional ke dunia digital tidak mungkin dilakukan semalam.
“Perlu kerja keras berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun untuk merekrut dan mengembangkan SDM yang berorientasi digital, mengadopsi pemikiran berbasis data, dan membangun kultur yang mengutamakan audiens,” kata Tim Google.
CEO Pioneer, Eric Johnston, di pihak lain menyatakan, dunia digital sangat tidak pasti di masa depan. “Karena itu, sebaiknya kembangkan jangkauan pembaca, daripada menetapkan diri dalam satu platform,” kata dia.
Menurut Eric, orang-orang masih membutuhkan koran sebagai sumber informasi. “Koran masih bisa mempertahankan dirinya sebagai bagian penting dari masyarakat, jika bisa melibatkan pembaca,” kata dia.
Maka, meski Sumut Pos tetap mempertimbangkan trend pembaca muda, namun secara umum karakter pembaca media konon masih sama. Yakni butuh berita cepat, mudah diperoleh, gambar dan warna bagus, trending, dan kalau memungkinkan: gratisan. Formula yang pas untuk memenuhi kebutuhan itu yang mesti diramu.
Lantas, bagaimana nasib media di tengah pandemi Covid-19?
Pandemi Covid-19 tak hanya bikin gagap industri media, seluruh dunia pun gagap. “Semua orang tidak tahu masa depan,” kata Jack Ma.
Berikhtiar, itu yang perlu dilakukan. Sambil tetap maskeran, cuci tangan, dan jaga jarak tentunya.
Adapun kata kunci untuk industri media: berita tak akan mati, sepanjang manusia masih jadi makhluk sosial. Yang menghilang dan berganti, boleh jadi adalah formatnya. Itupun, tidak berganti dalam semalam. (mea)