Titi Gantung merupakan salah satu ikon Kota Medan. Pada awalnya bangunan yang dibuat Belanda ini difungsikan sebagai tempat bersantai atau berjemur para pejabat Belanda. Seperti apa kondisinya dulu?
Juli Rambe, Medan
Selain sebagai tempat berjemur, titi gantung juga memiliki fungsi sebagai alat penyeberangan, dari pusat kota ke pusat pembelanjaan untuk masyarakat menengah ke bawah. Pada zaman kejayaannya titi ini sebagai tempat kongkow para isteri pejabat, menikmati sore hari di Medan, sambil melihat kereta api lalu lalang. Pada umumnya, para mener ini akan keluar saat matahari sudah mulai turun ke barat.
Dengan menggunakan payung, para wanita ini berdiri secara berbaris untuk kehangatan matahari. “Karena fungsinya itu, maka titi ini memiliki gaya arsitektur Klasik Victoria. Atau seperti bangunan untuk kerajaan atau kelas atas,” ujarnya.
Titi ini dibangun pada tahun 1185, bersama dengan stasiun kereta api besar Medan. Berfungsi sebagai alat penyeberangan dari Spur Straat (jalan stasiun kini) ke Quarantee Brod straat (Jalan Irian Barat kini).
“Dengan adanya titi ini, akan memudahkan pedagang yang turun ke stasiun untuk mengantarkan barang dagangannya ke daerah maupun ke pusat perdagangan yaitu Sambu (Central Market, sebutan dahulunya),” ujar Sekretaris Pusis (Pusat Studi Ilmu Sosial dan Sejarah), Erond Damanik.
Dijelaskannya, satu-satunya transportasi yang mampu mencapai hingga ke daerah-daerah, yaitu kereta api. Bukan hanya bangsa Belanda saja yang menggunakan, tetapi suku Tionghoa juga menggunakan jalur ini untuk mengantarkan barang dagangan ke berbagai daerah.
Kemerdekaan Indonesia, juga berakibat beralihnya fungsi jembatan penyeberangan ini. Dari awalnya untuk kongkow saat sore, menjadi tempat penjualanan buku-buku bekas. “Atau tepatnya pada tahun 1950-an hingga awal tahun 1960-an,” lanjutnya. Lalu kenapa bisa berubah fungsi?
Pada zaman tersebut, buku masih menjadi barang mewah. Dan penjual buku baru juga tidak ada. Karena fungsi sebenarnya adalah penyebarangan, akhirnya tempat ini terpilih sebagai tempat untuk bertransaksi buku bekas. “Penyeberangan, maknanya sangat luas. Pusat perdagangan. Dahulunya, sistem perdagangan disini masih tradisional, tidak ada sewa menyewa atau kredit. Semua sistemnya tunai,” lanjutnya.
Bertambahnya tahun, sistem perdagangan di Titi Gantung pun berubah, lahan yang digunakan menjadi sistem sewa. Walaupun, ada sebagian pedagang yang memiliki lahan tetap.
Tahun 2009, kebijakan Pemerintah Kota Medan merubah kondisi perdagangan di titi ini. Pada tahun tersebut, pemko merubah perda dan meminta para pedagang buku di tempat ini untuk pindah ke Lapangan Merdeka. Kelestarian titi menjadi alasan, untuk mengangkut para pedagang tersebut.
“Kalau dari arsip yang saya miliki, mulai dari tahun 1900 hingga 2011, tidak ada perubahan pada bangunan titi gantung. Hanya kerangka besi yang terletak di bagian kiri dan kanan yang menjadi pembeda antara jembatan pada zaman dahulu, dengan jembatan tahun ini,” tambah Erond.
Saat ini, Pemko Medan juga sudah mengeluarkan kebijakan, agar para pedagang buku bekas tersebut dapat meninggalkan Lapangan Merdeka. Karena akan beralih fungsi menjadi jembatan penyeberangan ke stasiun kereta api.
Sementara itu, Hairul, salah satu anggota BWS SU menyatakan dari 42 situs heritage yang ada di Medan, hanya titi gantung yang belum memiliki perda. “Kantor operasional kereta api telah ada perdanya. Tapi, kalau titi gantung belum ada sama sekali. Ini masih kita usahakan, agar perdanya keluar,” ujar Hairul. (*)