26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Rekornya Tentukan Keaslian Berlian 40 Karat

Foto: Muhamad Ali/Jawa Pos Tiga gemologist Indonesia di laboratorium. Dari kiri, Leticia Paramita, Sumarni Paramita, dan Delfina Paramita.
Foto: Muhamad Ali/Jawa Pos
Tiga gemologist Indonesia di laboratorium. Dari kiri, Leticia Paramita, Sumarni Paramita, dan Delfina Paramita.

AHMAD BAIDHOWI, Jakarta

Ruang tunggu Adamas Gemological Laboratory tampak penuh. Tujuh orang duduk di kursi, satu orang berdiri di pojok ruang seluas 3 x 3 meter itu. “Kami lagi antre diperiksa, dokternya di dalam,” ujar salah seorang di antara mereka. Mimik tegang tergambar di wajah orang-orang tersebut. Maklum, mereka tengah menunggu hasil diagnosis dari “dokter”.

Tapi, bukan penyakit yang diperiksa sang “dokter”, melainkan batu mulia yang mereka bawa. “Dokter” yang memeriksa pun bukan sembarang dokter, melainkan gemologist atau ahli batu mulia. Jika hasil diagnosis menyatakan batu mulia yang didiagnosis asli, mereka bisa pulang dengan wajah lega. Sebaliknya, jika batu mulia itu dinyatakan palsu atau sintetis, siap-siap saja mereka menanggung kecewa.

Sumarni Paramita, gemologist senior di Adamas Gemological Laboratory, mengatakan bahwa berdasar tren hasil tes, 40″50 persen batu mulia yang dibawa klien ke laboratorium diketahui palsu. Padahal, banyak di antara batu mulia itu dibeli dengan harga jutaan rupiah, pemberian atau hadiah, hingga warisan orang tua.

“Karena itu, gemologist punya peran vital untuk menyetop siklus peredaran batu mulia palsu,” ujarnya saat ditemui Jawa Pos di kantor Adamas Gemological Laboratory, kompleks Harmoni Plaza, Jakarta Pusat, Senin (30/3).

Sumarni adalah putri sulung Mahardi Paramita. Bersama dua adiknya, Leticia Paramita dan Delfina Paramita, dia mengelola Adamas Gemological Laboratory yang didirikan ayahnya pada 1983 serta Institute Gemology Paramita yang mulai dibuka pada 1989.

Sepeninggal sang ayah, Sumarni menjadi salah seorang gemologist paling senior dan berpengalaman di Indonesia. Sejak kecil, perempuan berusia 42 tahun itu sebenarnya familier dengan dunia batu mulia. Neneknya, Khema Gunawati, berdagang batu mulia mulai 1970-an. Usaha itu lantas dilanjutkan ayahnya, Mahardi. Namun, setelah meraih gelar sarjana dari Hawaii University dan gelar graduate gemologist dari Gemological Institute of America (GIA) pada 1981, Mahardi fokus pada pengembangan laboratorium dan institusi pendidikan gemologi di Indonesia.

Sumarni mulai aktif menggeluti dunia batu mulia pada 1990, saat usianya masih 17 tahun. Awalnya dia mengaku sekadar ingin membantu ayahnya yang kerepotan mengelola laboratorium dan institut sekaligus. “Setelah serius menggeluti, saya jadi tertarik. Sebab, ini profesi unik dan menantang,” katanya.

Selain belajar langsung dari sang ayah, pada 1994 Sumarni membekali diri dengan pendidikan formal di dua sekolah gemologi sekaligus, yakni GIA dan Asian Institute of Gemological Science (AIGS). Keduanya memiliki kampus di Bangkok, Thailand. Biaya pendidikan di dua sekolah ternama itu tidak murah, sekitar USD 20 ribu atau Rp 260 juta (kurs Rp 13.000 per 1 USD).

Menurut Sumarni, industri batu mulia Thailand memang jauh lebih maju daripada Indonesia. Bahkan, Bangkok kini menjadi pusat perdagangan batu permata dunia. Bangkok hanya kalah oleh Hongkong yang menjadi pusat perdagangan berlian dunia. “Dibanding Thailand, industri batu mulia kita tertinggal 30 tahun,” jelas dia.

Selain dari sisi perdagangan, Indonesia kalah dari sisi ilmuwan atau gemologist. Apalagi, jumlah gemologist bersertifikat di Indonesia masih sedikit. Itu pula yang mendorong pengembangan Institute Gemology Paramita. Meski pelajaran yang diberikan tidak sekomprehensif di GIA dan AIGS yang membutuhkan waktu belajar intensif hingga delapan bulan, Institute Gemology Paramita setidaknya bisa memberikan pengetahuan dasar bagi para pedagang dan pencinta batu mulia untuk mengenali barang asli atau palsu.

Foto: Muhamad Ali/Jawa Pos Tiga gemologist Indonesia di laboratorium. Dari kiri, Leticia Paramita, Sumarni Paramita, dan Delfina Paramita.
Foto: Muhamad Ali/Jawa Pos
Tiga gemologist Indonesia di laboratorium. Dari kiri, Leticia Paramita, Sumarni Paramita, dan Delfina Paramita.

AHMAD BAIDHOWI, Jakarta

Ruang tunggu Adamas Gemological Laboratory tampak penuh. Tujuh orang duduk di kursi, satu orang berdiri di pojok ruang seluas 3 x 3 meter itu. “Kami lagi antre diperiksa, dokternya di dalam,” ujar salah seorang di antara mereka. Mimik tegang tergambar di wajah orang-orang tersebut. Maklum, mereka tengah menunggu hasil diagnosis dari “dokter”.

Tapi, bukan penyakit yang diperiksa sang “dokter”, melainkan batu mulia yang mereka bawa. “Dokter” yang memeriksa pun bukan sembarang dokter, melainkan gemologist atau ahli batu mulia. Jika hasil diagnosis menyatakan batu mulia yang didiagnosis asli, mereka bisa pulang dengan wajah lega. Sebaliknya, jika batu mulia itu dinyatakan palsu atau sintetis, siap-siap saja mereka menanggung kecewa.

Sumarni Paramita, gemologist senior di Adamas Gemological Laboratory, mengatakan bahwa berdasar tren hasil tes, 40″50 persen batu mulia yang dibawa klien ke laboratorium diketahui palsu. Padahal, banyak di antara batu mulia itu dibeli dengan harga jutaan rupiah, pemberian atau hadiah, hingga warisan orang tua.

“Karena itu, gemologist punya peran vital untuk menyetop siklus peredaran batu mulia palsu,” ujarnya saat ditemui Jawa Pos di kantor Adamas Gemological Laboratory, kompleks Harmoni Plaza, Jakarta Pusat, Senin (30/3).

Sumarni adalah putri sulung Mahardi Paramita. Bersama dua adiknya, Leticia Paramita dan Delfina Paramita, dia mengelola Adamas Gemological Laboratory yang didirikan ayahnya pada 1983 serta Institute Gemology Paramita yang mulai dibuka pada 1989.

Sepeninggal sang ayah, Sumarni menjadi salah seorang gemologist paling senior dan berpengalaman di Indonesia. Sejak kecil, perempuan berusia 42 tahun itu sebenarnya familier dengan dunia batu mulia. Neneknya, Khema Gunawati, berdagang batu mulia mulai 1970-an. Usaha itu lantas dilanjutkan ayahnya, Mahardi. Namun, setelah meraih gelar sarjana dari Hawaii University dan gelar graduate gemologist dari Gemological Institute of America (GIA) pada 1981, Mahardi fokus pada pengembangan laboratorium dan institusi pendidikan gemologi di Indonesia.

Sumarni mulai aktif menggeluti dunia batu mulia pada 1990, saat usianya masih 17 tahun. Awalnya dia mengaku sekadar ingin membantu ayahnya yang kerepotan mengelola laboratorium dan institut sekaligus. “Setelah serius menggeluti, saya jadi tertarik. Sebab, ini profesi unik dan menantang,” katanya.

Selain belajar langsung dari sang ayah, pada 1994 Sumarni membekali diri dengan pendidikan formal di dua sekolah gemologi sekaligus, yakni GIA dan Asian Institute of Gemological Science (AIGS). Keduanya memiliki kampus di Bangkok, Thailand. Biaya pendidikan di dua sekolah ternama itu tidak murah, sekitar USD 20 ribu atau Rp 260 juta (kurs Rp 13.000 per 1 USD).

Menurut Sumarni, industri batu mulia Thailand memang jauh lebih maju daripada Indonesia. Bahkan, Bangkok kini menjadi pusat perdagangan batu permata dunia. Bangkok hanya kalah oleh Hongkong yang menjadi pusat perdagangan berlian dunia. “Dibanding Thailand, industri batu mulia kita tertinggal 30 tahun,” jelas dia.

Selain dari sisi perdagangan, Indonesia kalah dari sisi ilmuwan atau gemologist. Apalagi, jumlah gemologist bersertifikat di Indonesia masih sedikit. Itu pula yang mendorong pengembangan Institute Gemology Paramita. Meski pelajaran yang diberikan tidak sekomprehensif di GIA dan AIGS yang membutuhkan waktu belajar intensif hingga delapan bulan, Institute Gemology Paramita setidaknya bisa memberikan pengetahuan dasar bagi para pedagang dan pencinta batu mulia untuk mengenali barang asli atau palsu.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/