25.6 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Soeharto Dijadikan Nama Jalan, Orang Medan ’Terpecah’

MEDAN- Popularitas Soeharto memang sangat tinggi. Presiden kedua Repulik Indonesia itu kembali menjadi topik perbincangan. Kali ini, terkait rencana Panitia 17 untuk mengabadikan nama Soeharto sebagai nama jalan di Jakarta, Medan dan nama jalan di ibukota-ibukota provinsi di Indonesia.

Ide itu diungkapkan Ketua Delegasi Panitia 17 Jimmly Asshiddiqie yang mengatakan, Panitia 17 berkeinginan nama-nama pahlawan diabadikan menjadi nama-nama jalan dan gedung tertentu. Pemberian nama itu dimulai dari DKI Jakarta. Menurutnya, Panitia 17 mengusulkan agar di Kota Medan sebagai Ibukota Provinsi Sumatera Utara terdapat nama Jalan Soekarno dan Jalan Hatta dan nama pahlawan lain seperti Soeharto.

Targetnya pada 10 November atau bertepatan dengan Hari Pahlawan nanti, Jalan Medan Merdeka Utara akan menjadi Jalan Bung Karno, sedangkan Jalan Medan Merdeka Selatan diganti menjadi nama Jalan Bung Hatta.

Selain Jalan Merdeka Utara dan Jalan Merdeka Selatan, Jimly juga menyatakan, Panitia 17 mengusulkan Jalan Merdeka Barat dan Merdeka Timur diganti namanya. Untuk Jalan Medan Merdeka Barat jadi Soeharto, sedangkan Jalan Medan Merdeka Timur jadi Ali Sadikin.

Apa kata orang Medan bila di kota akan ada Jalan Soeharto? Dari facebook Sumut Pos diketahui reaksinya beragam, pendapatnya tidak seragam. Ada yang setuju, banyak pula tidak sepaham. Bahkan setelah tiada pun, Soeharto dan keberadaannya tetap mampu menjadi perdebatan.

Askar Marlindo sebagai pihak yang menyatakan tidak setuju, menyebut sejarah kelam selama pemerintahan Soeharto sebagai alasan. Soeharto disebutnya sebagai sosok pemimpin yang memanipulasi sejarah. “Soeharto adalah pembantai rakyat Indonesia yang dituduhnya sebagai PKI…. Masih banyak yang lain yang lebih berkualitas untuk nama jalan selain nama dia….!!” sebut Askar Marlindo dalam komentarnya.

Sedangkan Ahmad Fauzi Lubis sangat setuju nama Soeharto dijadikan nama jalan karena jasanya selama 32 tahun memimpin Indonesia. Ahmad Fauzi Lubis menuding orang-orang yang tidak setuju dengan rencana ini memiliki latar belakang dendam pribadi. “Banyak hal yang diperbuat nya di Republik Indonesia ini, khususnya pembangunan. Jangan kita melupakan sejarah. Jadi bagi orang yang tidak setuju dengan usul tersebut mungkin ada dendam pribadi.” Ujar Ahmad Fauzi Lubis.

Tidak Layak

Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti menolak rencana Delegasi Panitia 17 menggunakan nama Soeharto sebagai nama jalan. Ray menuturkan, pada era Soeharto justru tindakan pelanggaran HAM seperti penahanan tanpa dasar, penghilangan warga secara paksa hingga korupsi merajalela.

“Pelajaran seperti apa yang hendak disampaikan oleh Delegasi Panitia 17? Apakah bangsa ini mau diajarkan bahwa model 32 tahun kekuasaan dan pemerintahan otoriter Soeharto adalah model yang sah bagi republik ini?” kata Ray di Jakarta, Minggu (1/9).

Menurut dia, pemberian suatu nama jalan dengan tokoh nasional tertentu, apalagi merupakan jalan protokol dan negara, harus didahului dengan pengakuan nasional terhadap peran dan sumbangan positif besar tokoh yang bersangkutan kepada bangsa dan negara. Dalam posisi ini, lanjut Ray, keberadaan sang tokoh bukan saja terkait dengan jabatan yang pernah diembannya, akan tetapi bagaimana tokoh itu mengelola jabatan dan dapat menjadi tauladan bagi generasi sesudahnya.

“Bila merujuk ke nama Soeharto, kelemahan ini menjadi terlihat,” katanya.

Ray menambahkan, rencana pemberian nama Jalan Soeharto karena didasarkan atas nama rekonsiliasi juga harus didasarkan prosedur-prosedur subtansial dan adil dalam pelaksanaan rekonsiliasi. Setidaknya, lanjut dia, harus dimulai dari ungkapan permohonan maaf pelaku, penggantian kerugian dalam bentuk material kepada para korban, dan pernyataan bahwa kasus serta tindakan yang sama tidak akan diulangi kembali. “Satupun dari prosedur ini belum dilaksanakan,” ujar Ray.

Jika atas nama rekonsiliasi, ia mempertanyakan alasan nama pejuang besar seperti Tan Malaka tidak disebut-sebut menjadi nama jalan di salah satu kawasan ibu kota. “Siapa yang meragukan peran dan sumbangan anak bangsa yang satu ini kepada cita-cita Indonesia Merdeka 100 persen?” katanya.

Peneliti senior Indonesian Public Institute, Karyono Wibowo, menyatakan bahwa masyarakat tidak akan mempersoalkan jika Soekarno, Hatta dan Ali Sadikin dijadikan nama jalan. Sebab, masyarakat bisa menerima keberadaan tokoh-tokoh itu termasuk untuk nama jalan sekalipun.

Namun, hal sebaliknya akan terjadi jika mantan Presiden Soeharto dijadikan nama jalan. Sebab, sosok penguasa era Orde Baru itu adalah figur kontroversial yang memiliki tingkat resistensi cukup tinggi di tengah masyarakat. Alasannya, Soeharto dinilai memiliki cacat sejarah.

Menurut Karyono, bila nama Soeharto dipaksakan sebagai nama jalan maka bisa jadi akan menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Oleh karena itu, ia mengusulkan, agar Soeharto tidak perlu dijadikan nama jalan. “Daripada menimbulkan masalah,” katanya, kemarin.

Karyono mengakui, simbul-simbol atau panji-panji kebangsaan, kesejarahan dan penghormatan terhadap tokoh bangsa juga merupakan keniscayaan untuk memperkokoh pembangunan watak dan bangsa. Namun, katanya,  suksesnya pembangunan tidak diukur dari nama jalan, melainkan sejauh mana tokoh pemimpin itu mampu menciptakan keadilan dan kemakmuran.(tom/gil/jpnn)

MEDAN- Popularitas Soeharto memang sangat tinggi. Presiden kedua Repulik Indonesia itu kembali menjadi topik perbincangan. Kali ini, terkait rencana Panitia 17 untuk mengabadikan nama Soeharto sebagai nama jalan di Jakarta, Medan dan nama jalan di ibukota-ibukota provinsi di Indonesia.

Ide itu diungkapkan Ketua Delegasi Panitia 17 Jimmly Asshiddiqie yang mengatakan, Panitia 17 berkeinginan nama-nama pahlawan diabadikan menjadi nama-nama jalan dan gedung tertentu. Pemberian nama itu dimulai dari DKI Jakarta. Menurutnya, Panitia 17 mengusulkan agar di Kota Medan sebagai Ibukota Provinsi Sumatera Utara terdapat nama Jalan Soekarno dan Jalan Hatta dan nama pahlawan lain seperti Soeharto.

Targetnya pada 10 November atau bertepatan dengan Hari Pahlawan nanti, Jalan Medan Merdeka Utara akan menjadi Jalan Bung Karno, sedangkan Jalan Medan Merdeka Selatan diganti menjadi nama Jalan Bung Hatta.

Selain Jalan Merdeka Utara dan Jalan Merdeka Selatan, Jimly juga menyatakan, Panitia 17 mengusulkan Jalan Merdeka Barat dan Merdeka Timur diganti namanya. Untuk Jalan Medan Merdeka Barat jadi Soeharto, sedangkan Jalan Medan Merdeka Timur jadi Ali Sadikin.

Apa kata orang Medan bila di kota akan ada Jalan Soeharto? Dari facebook Sumut Pos diketahui reaksinya beragam, pendapatnya tidak seragam. Ada yang setuju, banyak pula tidak sepaham. Bahkan setelah tiada pun, Soeharto dan keberadaannya tetap mampu menjadi perdebatan.

Askar Marlindo sebagai pihak yang menyatakan tidak setuju, menyebut sejarah kelam selama pemerintahan Soeharto sebagai alasan. Soeharto disebutnya sebagai sosok pemimpin yang memanipulasi sejarah. “Soeharto adalah pembantai rakyat Indonesia yang dituduhnya sebagai PKI…. Masih banyak yang lain yang lebih berkualitas untuk nama jalan selain nama dia….!!” sebut Askar Marlindo dalam komentarnya.

Sedangkan Ahmad Fauzi Lubis sangat setuju nama Soeharto dijadikan nama jalan karena jasanya selama 32 tahun memimpin Indonesia. Ahmad Fauzi Lubis menuding orang-orang yang tidak setuju dengan rencana ini memiliki latar belakang dendam pribadi. “Banyak hal yang diperbuat nya di Republik Indonesia ini, khususnya pembangunan. Jangan kita melupakan sejarah. Jadi bagi orang yang tidak setuju dengan usul tersebut mungkin ada dendam pribadi.” Ujar Ahmad Fauzi Lubis.

Tidak Layak

Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti menolak rencana Delegasi Panitia 17 menggunakan nama Soeharto sebagai nama jalan. Ray menuturkan, pada era Soeharto justru tindakan pelanggaran HAM seperti penahanan tanpa dasar, penghilangan warga secara paksa hingga korupsi merajalela.

“Pelajaran seperti apa yang hendak disampaikan oleh Delegasi Panitia 17? Apakah bangsa ini mau diajarkan bahwa model 32 tahun kekuasaan dan pemerintahan otoriter Soeharto adalah model yang sah bagi republik ini?” kata Ray di Jakarta, Minggu (1/9).

Menurut dia, pemberian suatu nama jalan dengan tokoh nasional tertentu, apalagi merupakan jalan protokol dan negara, harus didahului dengan pengakuan nasional terhadap peran dan sumbangan positif besar tokoh yang bersangkutan kepada bangsa dan negara. Dalam posisi ini, lanjut Ray, keberadaan sang tokoh bukan saja terkait dengan jabatan yang pernah diembannya, akan tetapi bagaimana tokoh itu mengelola jabatan dan dapat menjadi tauladan bagi generasi sesudahnya.

“Bila merujuk ke nama Soeharto, kelemahan ini menjadi terlihat,” katanya.

Ray menambahkan, rencana pemberian nama Jalan Soeharto karena didasarkan atas nama rekonsiliasi juga harus didasarkan prosedur-prosedur subtansial dan adil dalam pelaksanaan rekonsiliasi. Setidaknya, lanjut dia, harus dimulai dari ungkapan permohonan maaf pelaku, penggantian kerugian dalam bentuk material kepada para korban, dan pernyataan bahwa kasus serta tindakan yang sama tidak akan diulangi kembali. “Satupun dari prosedur ini belum dilaksanakan,” ujar Ray.

Jika atas nama rekonsiliasi, ia mempertanyakan alasan nama pejuang besar seperti Tan Malaka tidak disebut-sebut menjadi nama jalan di salah satu kawasan ibu kota. “Siapa yang meragukan peran dan sumbangan anak bangsa yang satu ini kepada cita-cita Indonesia Merdeka 100 persen?” katanya.

Peneliti senior Indonesian Public Institute, Karyono Wibowo, menyatakan bahwa masyarakat tidak akan mempersoalkan jika Soekarno, Hatta dan Ali Sadikin dijadikan nama jalan. Sebab, masyarakat bisa menerima keberadaan tokoh-tokoh itu termasuk untuk nama jalan sekalipun.

Namun, hal sebaliknya akan terjadi jika mantan Presiden Soeharto dijadikan nama jalan. Sebab, sosok penguasa era Orde Baru itu adalah figur kontroversial yang memiliki tingkat resistensi cukup tinggi di tengah masyarakat. Alasannya, Soeharto dinilai memiliki cacat sejarah.

Menurut Karyono, bila nama Soeharto dipaksakan sebagai nama jalan maka bisa jadi akan menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Oleh karena itu, ia mengusulkan, agar Soeharto tidak perlu dijadikan nama jalan. “Daripada menimbulkan masalah,” katanya, kemarin.

Karyono mengakui, simbul-simbol atau panji-panji kebangsaan, kesejarahan dan penghormatan terhadap tokoh bangsa juga merupakan keniscayaan untuk memperkokoh pembangunan watak dan bangsa. Namun, katanya,  suksesnya pembangunan tidak diukur dari nama jalan, melainkan sejauh mana tokoh pemimpin itu mampu menciptakan keadilan dan kemakmuran.(tom/gil/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/