28 C
Medan
Thursday, July 4, 2024

Work From Home terkait Covid-19, Kalangan Atas Stres, Kalangan Bawah Easy Going

Meningkatnya jumlah warga terpapar Coronavirus Disease (Covid-19), menyebabkan pemerintah memperpanjang masa tanggap darurat di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di Kota Medan. Masyarakat masih diwajibkan Work From Home (WFH). Penelitian memperlihatkan, efek WFH ini lebih rentan bagi masyarakat kalangan atas dibanding kalangan bawah.

PSIKOLOG Kota Medan, Irna Minauli MSi dari Minauli Consulting mengatakan, sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika menunjukkan, meski WFH berdampak lumpuhnya perekonomian masyarakat kalangan kelas menengah ke bawah, tetapi ada yang menarik dari sikap mereka. Yakni lebih easy going menghadapi pandemi Covid-19 yang penyebarannya begitu cepat dan berpotensi mematikan bagi orang yang sistem imun tubuhnya rendah.

“Masyarakat kalangan menengah ke bawah lebih easy going, sehingga imun mereka lebih kuat dan lebih mampu bertahan di masa-masa sulit, dibandingkan masyarakat kalangan menengah ke atas. Karena easy going, hanya sedikit pekerja dari kalangan bawah yang WFH. Mereka tetap bekerja secara normal sementara masyarakat kelas menengah ke atas banyak yang bekerja di rumah,” kata Irna, kepada Sumut Pos di Medan, Rabu (2/4).

Dampaknya, tingkat kesejahteraan psikologis mereka yang ‘bekerja di rumah’ lebih buruk dibandingkan mereka yang bekerja secara normal. “Hasil penelitian ini sedikit menggelitik, namun sekaligus bisa membahayakan kebijakan pemerintah agar bekerja dari rumah dan di rumah aja,” ungkapnya.

Hal lain yang menarik untuk dikaji adalah, apakah ada hubungan antara WFH serta stay at home dengan menurunnya tingkat kesejahteraan psikologis?

Ternyata, lanjut Irna, sebagai mahluk sosial, orang yang bertemu rekan kerja menjadi suatu kebahagiaan sendiri. Sementara bekerja di rumah atau tetap tinggal di rumah, lebih mudah bosan dan jenuh, terlebih jika tidak banyak hal yang bisa dilakukan.

Kondisi ini rentan memicu perasaan kesepian, yang mengarah pada depresi. Di sisi lain, kecemasan yang berlebihan dapat menurunkan imunitas tubuh, sehingga lebih mudah terserang penyakit.

“Selain itu, kelompok sosial menengah ke atas tampaknya lebih concern dengan masalah kesehatan dan keselamatan dirinya, sehingga mereka lebih mencemaskan pandemi Covid-19. Sedangkan kelompok menengah ke bawah —seperti yang lebih banyak digaungkan—, lebih takut kelaparan daripada virus corona.

“Sikap easy going yang terkesan tidak peduli ini dapat memperbesar kemungkinan mereka terpapar virus. Namun sebelumnya mereka juga sering terpapar dengan berbagai kuman, sehingga mungkin tubuh mereka lebih tahan terhadap penyakit infeksi,” ungkapnya.

Oleh karena itu, banyak negara yang kemudian bersikap keras terhadap warga negaranya yang tidak peduli, dengan menerapkan berbagai sanksi. Secara kesehatan, ia menilai total lockdown adalah perlu. Namun kondisi perekonomian di Indonesia tampaknya tidak memungkinkan dilakukan lockdown. Karena penerapan lockdown yang terlalu lama dapat membahayakan kondisi psikologis manusia.

“Kurangnya pekerjaan yang sering dikaitkan dengan berkurangnya penghasilan, menjadi sumber kecemasan utama. Bagi kalangan menengah atas, keberadaan mereka di rumah saja membuat mereka tidak bisa melakukan banyak hal, yang sebelumnya biasa mereka lakukan,” tukasnya. (mag-1)

Meningkatnya jumlah warga terpapar Coronavirus Disease (Covid-19), menyebabkan pemerintah memperpanjang masa tanggap darurat di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di Kota Medan. Masyarakat masih diwajibkan Work From Home (WFH). Penelitian memperlihatkan, efek WFH ini lebih rentan bagi masyarakat kalangan atas dibanding kalangan bawah.

PSIKOLOG Kota Medan, Irna Minauli MSi dari Minauli Consulting mengatakan, sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika menunjukkan, meski WFH berdampak lumpuhnya perekonomian masyarakat kalangan kelas menengah ke bawah, tetapi ada yang menarik dari sikap mereka. Yakni lebih easy going menghadapi pandemi Covid-19 yang penyebarannya begitu cepat dan berpotensi mematikan bagi orang yang sistem imun tubuhnya rendah.

“Masyarakat kalangan menengah ke bawah lebih easy going, sehingga imun mereka lebih kuat dan lebih mampu bertahan di masa-masa sulit, dibandingkan masyarakat kalangan menengah ke atas. Karena easy going, hanya sedikit pekerja dari kalangan bawah yang WFH. Mereka tetap bekerja secara normal sementara masyarakat kelas menengah ke atas banyak yang bekerja di rumah,” kata Irna, kepada Sumut Pos di Medan, Rabu (2/4).

Dampaknya, tingkat kesejahteraan psikologis mereka yang ‘bekerja di rumah’ lebih buruk dibandingkan mereka yang bekerja secara normal. “Hasil penelitian ini sedikit menggelitik, namun sekaligus bisa membahayakan kebijakan pemerintah agar bekerja dari rumah dan di rumah aja,” ungkapnya.

Hal lain yang menarik untuk dikaji adalah, apakah ada hubungan antara WFH serta stay at home dengan menurunnya tingkat kesejahteraan psikologis?

Ternyata, lanjut Irna, sebagai mahluk sosial, orang yang bertemu rekan kerja menjadi suatu kebahagiaan sendiri. Sementara bekerja di rumah atau tetap tinggal di rumah, lebih mudah bosan dan jenuh, terlebih jika tidak banyak hal yang bisa dilakukan.

Kondisi ini rentan memicu perasaan kesepian, yang mengarah pada depresi. Di sisi lain, kecemasan yang berlebihan dapat menurunkan imunitas tubuh, sehingga lebih mudah terserang penyakit.

“Selain itu, kelompok sosial menengah ke atas tampaknya lebih concern dengan masalah kesehatan dan keselamatan dirinya, sehingga mereka lebih mencemaskan pandemi Covid-19. Sedangkan kelompok menengah ke bawah —seperti yang lebih banyak digaungkan—, lebih takut kelaparan daripada virus corona.

“Sikap easy going yang terkesan tidak peduli ini dapat memperbesar kemungkinan mereka terpapar virus. Namun sebelumnya mereka juga sering terpapar dengan berbagai kuman, sehingga mungkin tubuh mereka lebih tahan terhadap penyakit infeksi,” ungkapnya.

Oleh karena itu, banyak negara yang kemudian bersikap keras terhadap warga negaranya yang tidak peduli, dengan menerapkan berbagai sanksi. Secara kesehatan, ia menilai total lockdown adalah perlu. Namun kondisi perekonomian di Indonesia tampaknya tidak memungkinkan dilakukan lockdown. Karena penerapan lockdown yang terlalu lama dapat membahayakan kondisi psikologis manusia.

“Kurangnya pekerjaan yang sering dikaitkan dengan berkurangnya penghasilan, menjadi sumber kecemasan utama. Bagi kalangan menengah atas, keberadaan mereka di rumah saja membuat mereka tidak bisa melakukan banyak hal, yang sebelumnya biasa mereka lakukan,” tukasnya. (mag-1)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/