MEDAN-Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Poldasu) tampaknya tak main-main dengan kasus yang menimpa Direktur Utama (Dirut) PDAM Tirtanadi, Azzam Rizal. Poldasu menggandeng Pusat Pelaporan Analisa dan Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menyidik tersangka dugaan korupsi Rp6,5 miliar itu.
Seperti diketahui Azzam hingga kini masih disidik oleh Subdit III Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus). “Kita libatkan ahli dari PPATK untuk menyidik kasus ini,” ungkap Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol Raden Heru Prakoso, Minggu (2/6) siang.
Selain PPATK, Poldasu juga melibatkan ahli dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP), biro hukum dan ahli hukum administrasi negara.”Proses hukum bukan kita saja, juga melibatkan beberapa instansi, jadi proses hukum sedikit lama dengan melakukan koordinasi,” jelasnya.
Heru pun menegaskan dalam kasus Azzam ini akan muncul tersangka-tersangka lain. Namun, Heru enggan mengumbar karena tak mau informasi menjadi bocor. “Kalau kita beberkan takutnya menghilangi barang bukti. Jadi susahlah lanjutan proses hukum. Jadi sabar sajalah,” jelasnyan
Begitu juga, Heru menjelaskan pihak penyidik masih terus mendalami dugaan pencucian uang dilakukan Azzam Rizal. “Masih kita dalami, ke mana saja aliran itu. Kalau sudah jelas akan dipublish,”tuturnya.
Sementara itu, Humas Pengadilan Negeri (PN) Medan, Achmad Guntur mengatakan belum mengetahui adanya surat pemberitahuan penyitaan harta Dirut PDAM Tirtanadi Azzam Rizal oleh Subdit III Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Poldasu. Guntur mengatakan penyitaan terhadap harta tersangka korupsi harus melalui pemberitahuan atau surat izin khusus dari Pengadilan.
“Itu biasa, saya belum ada lihat suratnya. Karena Jumat saya tidak ada ke kantor. Itu biasanya ada izin penyitaan dari pengadilan. Kalau itu tidak ada, juga bisa memakai izin persetujuan. Tapi nanti hari Senin saya cek ya,” ujar Guntur, Minggu (2/6).
Dikatakannya harta benda yang disita oleh penyidik biasanya karena diduga diperoleh tersangka dari hasil korupsi. “Biasanya seperti itu. Dari hasil penyidikan mungkin ada yang mengarah ke sana. Makanya harta bendanya di sita. Lalu dijadikan sebagai barang bukti. Tapi, ini wajar ya. Memang seperti itulah prosedurnya, memang harus ada pemberitahuan ke Pengadilan,” jelasnya.
Menurut Guntur masalah harta benda Azzam Rizal tersebut apakah merupakan hasil dari tindak pidana korupsi akan dibuktikan dalam persidangan. Namun bila nantinya harta milik Azzam terbukti merupakan hasil dari tindak pidana korupsi, biasanya harta tersebut akan dilelang dan masuk uang kas negara. Namun bila tidak terbukti, hartanya akan dikembalikan.
“Memang seperti itu, tapi kalau masalah penyitaan harus sesuai prosedur. Tapi saya belum melihat datanya. Harus ada persetujuan izin dari Pengadilan. Kalau melakukan penyitaan itu biasanya ada izin persetujuan. Tapi saya belum melihat, apakah izin nya itu sudah ada apa belum. Karena saya lagi diluar. Nantilah itu, Senin saja baru bisa saya jelaskan,” ungkapnya.
Mabes Polri Anggap Wajar
Dari Jakarta, Mabes Polri menilai tidak ada yang salah dengan langkah Poldasu menyita sejumlah aset milik tersangka korupsi, Azzam Rizal. Karena hal tersebut diatur sangat jelas dalam undang-undang tindak pidana korupsi, termasuk di dalamnya terkait pemblokiran sejumlah rekening bank milik tersangka.
“Bisa disita, jika aset tersebut diduga diperoleh tersangka dari hasil kejahatan (korupsi),” ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Mabes Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar, kepada koran ini di Jakarta, Minggu (2/6).
Menurutnya, penyitaan harta tersangka koruptor bukan hal yang baru dilakukan kepolisian, mengingat undang-undangnya juga telah berlaku sejak puluhan tahun yang lalu. “Tentang penyitaan diatur dalam UU Nomor 8 tahun 1981, tentang hukum acara pidana,” ujarnya.
Yaitu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 38 ayat (1), bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat. Sementara dalam ayat (2) dikatakan, dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.
Dalam Pasal 39 sendiri diatur beberapa hal yang dapat dikenakan penyitaan. Di antaranya benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana. Lalu benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.
“Juga benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana, benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana, benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Dalam ayat 2 juga disebutkan, benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1),” ujarnya.
Selain diatur dalam UU korupsi, penyitaan aset tersangka diketahui juga kerap dilakukan jika tersangka dimaksud dikenakan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8 tahun 2010. Atas kasus ini kepolisian sebelumnya diketahui menyita sejumlah harta terpidana kasus penggelapan dana nasabah Citibank, Melinda Dee.
Sebagaimana diberitakan, kepolisian akhirnya menetapkan Azzam sebagai tersangka setelah diduga melakukan dugaan korupsi voucer penagihan rekening air PDAM Tirtanadi tahun 2012 dan voucer pengeluaran kas dari Koperasi Karyawan PDAM Tirtanadi, yang merugikan negara hingga Rp6,5 miliar lebih. Selain menahan tersangka, dalam kasus ini kepolisian juga telah menyita sejumlah aset miliknya. Antara lain dua mobil mewah dan memblokir sejumlah rekening miliknya. (gus/far/gir)