30 C
Medan
Thursday, July 4, 2024

Hitam Pekat dan Beratap Ijuk

Puput Julianti Damanik/sumut pos IJUK: Beberapa rumah di Desa Sibanggor Julu masih memakai atap ijuk.
Puput Julianti Damanik/sumut pos
IJUK: Beberapa rumah di Desa Sibanggor Julu masih memakai atap ijuk.

OLEH: Puput Julianti Damanik, Madina

Angin mulai mengeras. Dingin mulai merangkul badan. Anak-anak yang bermain di dalam dan halaman rumahnya diam-diam melangkah keluar. Mereka Mengintip-ngintip, ada pula yang lantang mendekati sambil tersenyum renyah. Barangkali tas ransel, sepatu gunung, jaket yang kami gunakan asing bagi mereka.

Tingkah anak-anak itu tak membuat kami lantas heran. Karena mata, fokus dengan bangunan rumah-rumah yang mungkin saja milik orangtua mereka atau peninggalann
buyut atau nenek moyangnya karena dinding papan sudah berwarna hitam pekat bukan karena dicat. Atapnya yang terbuat dari ijuk pohon aren pun sudah banyak ditumbuhi tumbuhan parasit.

Dinding dengan papan yang sudah pekat dan atap ijuk mungkin masih ada beberapa kawasan di Tanah Karo, Simalungun atau daerah lainnya. Namun keunikan terlihat di sini, karena sekitar 80 persen masyarakat masih mempertahankannya. Adalah Desa Sibanggor Julu namanya, desa yang jaraknya hanya sekitar 5 kilometer, di bawah kaki Gunung Aktif, Sorik Merapi, Madina.

Seketika anak-anak yang mendekat mulai menjauh, seorang pemuda berusia sekitar 30 tahun menghampiri.

“Selamat datang, dari Medan yah ?” ujar pria itu ramah ketika Sumut Pos beserta rekan-rekan tiba di tempat itu awal bulan lalu.

“Saya sekretaris desa di sini, nama saya M Sein Lubis,” katanya lagi sambil mengulurkan tangan.

“Mari istirahat sebentar ke kantor, sekalian ngobrol,” ujarnya lagi.

Ia mengiringi hingga ke kantor kepala desa (kades) yang tak jauh dari masjid terbesar di Desa Sibanggor Julu, tempat diturunkannya kami oleh angkot berwarna putih yang satu-satunya masuk ke Desa Banggor Julu dari Jembatan Merah, Desa Kayu Laut, Panyambungan.

“Kantor Kepala Desa Sibanggor Julu, Kecamatan Puncak Sorik Merapi” begitu tertera di sebuah plang.

Kantornya tidak seperti kantor-kantor pada umumnya, berdinding papan, dan beratap ijuk. Ruang tamunya hanya berukuran sekitar 1,5 X 3 meter. Selebihnya menjadi tempat penyimpanan barang-barang. Sebuah meja lebar dan kursi menjadikan ruangan ini semakin terasa sempit. Namun, keramahan Kades Awaluddin Nasution yang juga sudah menunggu di dalam ruangan membuyarkan suasana. Sempit menjadi lega dan rasa lelah berubah menjadi semangat baru.

Semangat baru, lantaran kades dan sekretarisnya siap mengantarkan Sumut Pos untuk melihat sekeliling desa. Tak hanya itu, ia juga mengenalkan dengan seorang warga yang rumahnya selalu menjadi persinggahan bagi para pendatang, Basarrudin Nasution. Rasanya tak mau berlama-lama beristirahat, karena rasa penasaran terus menggusarkan hati.

“Luas area Desa ini sekitar 60 hektare dan terdapat 310 Kepala Keluarga (KK). Dulunya semua masyarakat sini menggunakan atap ijuk. Namun sayang, kesulitan mendapatkan ijuk serta harganya yang cukup mahal membuat beberapa warga tidak dapat mempertahankan atapnya, rumah yang sudah memasuki usia 100 tahun biasanya mulai rusak,” ujar Sien saat mengantarkan kami ke rumah Basarrudin Nasution sembari mengatakan rumah-rumah di Banggor Julu rata-rata berusia 80 sampai ratusan tahun.

Tak ada kata istirahat, rasa lelah hilang apalagi saat bertemu dengan sang pemilik rumah. Bassarudin ternyata satu dari keturunan tokoh adat atau raja di Desa Sibanggor Julu ratusan tahun lalu. Pertanyaan demi pertanyaan kami lontarkan kepadanya, dengan harapan Basarrudin mau berkisah banyak bahkan menceritakan segalanya tentang desa yang diperkirakan sudah ada sejak 1800-an ini.

Ia membuka cerita. “Dalam bahasa Mandailing, Banggor bermakna hangat kukuh dan julu artinya adalah hulu. Kalau ada hulu berarti ada hilirkan, desa di bawahnya ada Desa Sibanggor Tonga (tengah) dan paling bawah, Desa Sibanggor Jae (hilir). Posisi desa ini yang paling dekat dengan Gunung Sorik Merapi. Makanya, di sini yang paling banyak memakai atap ijuk,” katanya.

Tanda tanya semakin banyak tersimpan di kepala. Kenapa hangat-hangat kukuh ? Dan kenapa harus atap ijuk ?
Usai berbincang, kami kembali memutuskan keluar dari rumah Basaruddin yang berada sedikit lebih di atas atau berada di daratan tinggi dibandingkan dengan rumah masyarakat lainnya. Kami melihat Desa Sibanggor Julu hingga ke pinggirannya dekat hutan.

Jawaban pun terjawab dengan sendirinya.

Air hangat dari mata air pegunungan mengalir di sepanjang sudut Desa Sibanggor Julu hingga beranak pinak ke desa-desa lainnya. Air yang percayai telah ada sejak 1800-an setelah terjadi banjir bah yang berasal dari kiriman Gunung Sorik Marapi. Airnya tak panas pun tak dingin, itu sebabnya masyarakat menyebutnya Sibanggor. “Dalam bahasa Mandailing Banggor itu artinya hangat-hangat kukuh. Hangat seperti aliran air ini,” ujar Sein menambahi sembari mengatakan Gunung Sorik Marapi yang berada di Taman Nasional Batang Gadis (TMBG).

Penggunaan atap ijuk juga membantu warga terhindar dari panas awan belerang Gunung Sorik Merapi. “Ijuk sekarang harganya mahal, satu kilonya sampe Rp3.000. Untuk satu rumah, ijuknya harus ada sampai 2 atau 3 ton. Makanya banyak yang pakai seng, tapi seng pun cuma bertahan sampai 3 tahun saja karena hawa panas dari belerang Gunung Sorik Merapi itu buat seng jadi cepat berkarat dan rusak,” ujar seorang warga Desa Banggor Julu, Lubis.

Kesulitan mendapatkan ijuk aren membuat harganya terus mahal. Bila saja pemerintah dapat membantu desa ini mempertahankan atap ijuknya, maka desa ini bisa dijadikan desa tujuan wisata. “Yakin pasti ramai yang datang, karena desa ini sangat unik,” harap seorang pendaki Gunung dari Sohib Nature, Mawan yang saat itu juga bersama Sumut Pos menginap di kediaman Basarrudin. (bersambung/rbb)

Puput Julianti Damanik/sumut pos IJUK: Beberapa rumah di Desa Sibanggor Julu masih memakai atap ijuk.
Puput Julianti Damanik/sumut pos
IJUK: Beberapa rumah di Desa Sibanggor Julu masih memakai atap ijuk.

OLEH: Puput Julianti Damanik, Madina

Angin mulai mengeras. Dingin mulai merangkul badan. Anak-anak yang bermain di dalam dan halaman rumahnya diam-diam melangkah keluar. Mereka Mengintip-ngintip, ada pula yang lantang mendekati sambil tersenyum renyah. Barangkali tas ransel, sepatu gunung, jaket yang kami gunakan asing bagi mereka.

Tingkah anak-anak itu tak membuat kami lantas heran. Karena mata, fokus dengan bangunan rumah-rumah yang mungkin saja milik orangtua mereka atau peninggalann
buyut atau nenek moyangnya karena dinding papan sudah berwarna hitam pekat bukan karena dicat. Atapnya yang terbuat dari ijuk pohon aren pun sudah banyak ditumbuhi tumbuhan parasit.

Dinding dengan papan yang sudah pekat dan atap ijuk mungkin masih ada beberapa kawasan di Tanah Karo, Simalungun atau daerah lainnya. Namun keunikan terlihat di sini, karena sekitar 80 persen masyarakat masih mempertahankannya. Adalah Desa Sibanggor Julu namanya, desa yang jaraknya hanya sekitar 5 kilometer, di bawah kaki Gunung Aktif, Sorik Merapi, Madina.

Seketika anak-anak yang mendekat mulai menjauh, seorang pemuda berusia sekitar 30 tahun menghampiri.

“Selamat datang, dari Medan yah ?” ujar pria itu ramah ketika Sumut Pos beserta rekan-rekan tiba di tempat itu awal bulan lalu.

“Saya sekretaris desa di sini, nama saya M Sein Lubis,” katanya lagi sambil mengulurkan tangan.

“Mari istirahat sebentar ke kantor, sekalian ngobrol,” ujarnya lagi.

Ia mengiringi hingga ke kantor kepala desa (kades) yang tak jauh dari masjid terbesar di Desa Sibanggor Julu, tempat diturunkannya kami oleh angkot berwarna putih yang satu-satunya masuk ke Desa Banggor Julu dari Jembatan Merah, Desa Kayu Laut, Panyambungan.

“Kantor Kepala Desa Sibanggor Julu, Kecamatan Puncak Sorik Merapi” begitu tertera di sebuah plang.

Kantornya tidak seperti kantor-kantor pada umumnya, berdinding papan, dan beratap ijuk. Ruang tamunya hanya berukuran sekitar 1,5 X 3 meter. Selebihnya menjadi tempat penyimpanan barang-barang. Sebuah meja lebar dan kursi menjadikan ruangan ini semakin terasa sempit. Namun, keramahan Kades Awaluddin Nasution yang juga sudah menunggu di dalam ruangan membuyarkan suasana. Sempit menjadi lega dan rasa lelah berubah menjadi semangat baru.

Semangat baru, lantaran kades dan sekretarisnya siap mengantarkan Sumut Pos untuk melihat sekeliling desa. Tak hanya itu, ia juga mengenalkan dengan seorang warga yang rumahnya selalu menjadi persinggahan bagi para pendatang, Basarrudin Nasution. Rasanya tak mau berlama-lama beristirahat, karena rasa penasaran terus menggusarkan hati.

“Luas area Desa ini sekitar 60 hektare dan terdapat 310 Kepala Keluarga (KK). Dulunya semua masyarakat sini menggunakan atap ijuk. Namun sayang, kesulitan mendapatkan ijuk serta harganya yang cukup mahal membuat beberapa warga tidak dapat mempertahankan atapnya, rumah yang sudah memasuki usia 100 tahun biasanya mulai rusak,” ujar Sien saat mengantarkan kami ke rumah Basarrudin Nasution sembari mengatakan rumah-rumah di Banggor Julu rata-rata berusia 80 sampai ratusan tahun.

Tak ada kata istirahat, rasa lelah hilang apalagi saat bertemu dengan sang pemilik rumah. Bassarudin ternyata satu dari keturunan tokoh adat atau raja di Desa Sibanggor Julu ratusan tahun lalu. Pertanyaan demi pertanyaan kami lontarkan kepadanya, dengan harapan Basarrudin mau berkisah banyak bahkan menceritakan segalanya tentang desa yang diperkirakan sudah ada sejak 1800-an ini.

Ia membuka cerita. “Dalam bahasa Mandailing, Banggor bermakna hangat kukuh dan julu artinya adalah hulu. Kalau ada hulu berarti ada hilirkan, desa di bawahnya ada Desa Sibanggor Tonga (tengah) dan paling bawah, Desa Sibanggor Jae (hilir). Posisi desa ini yang paling dekat dengan Gunung Sorik Merapi. Makanya, di sini yang paling banyak memakai atap ijuk,” katanya.

Tanda tanya semakin banyak tersimpan di kepala. Kenapa hangat-hangat kukuh ? Dan kenapa harus atap ijuk ?
Usai berbincang, kami kembali memutuskan keluar dari rumah Basaruddin yang berada sedikit lebih di atas atau berada di daratan tinggi dibandingkan dengan rumah masyarakat lainnya. Kami melihat Desa Sibanggor Julu hingga ke pinggirannya dekat hutan.

Jawaban pun terjawab dengan sendirinya.

Air hangat dari mata air pegunungan mengalir di sepanjang sudut Desa Sibanggor Julu hingga beranak pinak ke desa-desa lainnya. Air yang percayai telah ada sejak 1800-an setelah terjadi banjir bah yang berasal dari kiriman Gunung Sorik Marapi. Airnya tak panas pun tak dingin, itu sebabnya masyarakat menyebutnya Sibanggor. “Dalam bahasa Mandailing Banggor itu artinya hangat-hangat kukuh. Hangat seperti aliran air ini,” ujar Sein menambahi sembari mengatakan Gunung Sorik Marapi yang berada di Taman Nasional Batang Gadis (TMBG).

Penggunaan atap ijuk juga membantu warga terhindar dari panas awan belerang Gunung Sorik Merapi. “Ijuk sekarang harganya mahal, satu kilonya sampe Rp3.000. Untuk satu rumah, ijuknya harus ada sampai 2 atau 3 ton. Makanya banyak yang pakai seng, tapi seng pun cuma bertahan sampai 3 tahun saja karena hawa panas dari belerang Gunung Sorik Merapi itu buat seng jadi cepat berkarat dan rusak,” ujar seorang warga Desa Banggor Julu, Lubis.

Kesulitan mendapatkan ijuk aren membuat harganya terus mahal. Bila saja pemerintah dapat membantu desa ini mempertahankan atap ijuknya, maka desa ini bisa dijadikan desa tujuan wisata. “Yakin pasti ramai yang datang, karena desa ini sangat unik,” harap seorang pendaki Gunung dari Sohib Nature, Mawan yang saat itu juga bersama Sumut Pos menginap di kediaman Basarrudin. (bersambung/rbb)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/