26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Bukan Uang Nenek Moyang Kalian Itu

Selanjutnya, Jabmar mengakui, bahwa pembelian mobil tersebut sebenarnya sudah bermasalah sejak awal. Termasuk akad kredit yang jadi pembelian mobil belum ada, tapi mobil sudah ada.

“Ini memang sudah bermasalah,” ujar Jabmar.

Menurutnya, yang menandatanganani cek pembelian mobil adalah dirinya dan Bendahara Jiwa Surbakti. Biasanya, lanjut Jabmar, yang ia tandatangani blangko kosong dan diserahkan ke bendahara.

“Nominalnya belum ada. Saya hanya menandatangani yang kosong,” pungkasnya.

Jabmar menyebut, akta kredit ditandatangani pada tahun 2017. Sedangkan DP dibayar pada tahun 2015.

“Dari tahun 2015 sampai 2016 belum ada pembayaran. Sempat STNK-nya tidak keluar pak. Sebelum pembayaran cek 6 tahap, mobil sudah keluar,” sebutnya.

Mendengar keterangan Jabmar, hakim Janverson memberi nasehat. “Di persidangan ini jangan sembunyi-sembunyi. Kalau ke penyidik silahkan, tapi di persidangan jangan,” ucap hakim.

Sepanjang persidangan, majelis hakim terus memarahi kedua saksi tersebut.”Untuk kalian yang datang disini, sebagai anggota untuk mengerti tentang koperasi dan jangan asal beli mobil. Kalian juga beli buku-buku tentang koperasi biar mengerti setelah ini,” ucap hakim sembari menutup sidang.

Kasus ini berawal pada tahun 2015. Saat itu, anggota KPUM mengajukan DP Rp19,5 juta untuk pembelian 179 unit mobil Suzuki APV.

Tujuannya, untuk peremajaan armada angkutan kota dibawah naungan KPUM. Sebab, moyaritas armada sudah rusak dan tak layak dipakai.

Para pembeli pun membayar DP seperti yang diminta. Kemudian, KPUM bekerjasama dengan PT Trans Sumatera Agung (TSA).

Ada 6 tahap pengambilan mobil yang disetorkan KPUM ke PT TSA. Namun, KPUM hanya memberikan DP sebesar Rp19,5 juta per unit kepada PT TSA.(gus/ala)

 

 

Selanjutnya, Jabmar mengakui, bahwa pembelian mobil tersebut sebenarnya sudah bermasalah sejak awal. Termasuk akad kredit yang jadi pembelian mobil belum ada, tapi mobil sudah ada.

“Ini memang sudah bermasalah,” ujar Jabmar.

Menurutnya, yang menandatanganani cek pembelian mobil adalah dirinya dan Bendahara Jiwa Surbakti. Biasanya, lanjut Jabmar, yang ia tandatangani blangko kosong dan diserahkan ke bendahara.

“Nominalnya belum ada. Saya hanya menandatangani yang kosong,” pungkasnya.

Jabmar menyebut, akta kredit ditandatangani pada tahun 2017. Sedangkan DP dibayar pada tahun 2015.

“Dari tahun 2015 sampai 2016 belum ada pembayaran. Sempat STNK-nya tidak keluar pak. Sebelum pembayaran cek 6 tahap, mobil sudah keluar,” sebutnya.

Mendengar keterangan Jabmar, hakim Janverson memberi nasehat. “Di persidangan ini jangan sembunyi-sembunyi. Kalau ke penyidik silahkan, tapi di persidangan jangan,” ucap hakim.

Sepanjang persidangan, majelis hakim terus memarahi kedua saksi tersebut.”Untuk kalian yang datang disini, sebagai anggota untuk mengerti tentang koperasi dan jangan asal beli mobil. Kalian juga beli buku-buku tentang koperasi biar mengerti setelah ini,” ucap hakim sembari menutup sidang.

Kasus ini berawal pada tahun 2015. Saat itu, anggota KPUM mengajukan DP Rp19,5 juta untuk pembelian 179 unit mobil Suzuki APV.

Tujuannya, untuk peremajaan armada angkutan kota dibawah naungan KPUM. Sebab, moyaritas armada sudah rusak dan tak layak dipakai.

Para pembeli pun membayar DP seperti yang diminta. Kemudian, KPUM bekerjasama dengan PT Trans Sumatera Agung (TSA).

Ada 6 tahap pengambilan mobil yang disetorkan KPUM ke PT TSA. Namun, KPUM hanya memberikan DP sebesar Rp19,5 juta per unit kepada PT TSA.(gus/ala)

 

 

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/