22.8 C
Medan
Saturday, June 22, 2024

GAPKI: Produksi TBS Sumut Bakal Turun

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Penurunan produksi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Sumatera Utara diperkirakan akan terjadi awal tahun depan. Hal ini dinilai sebagai efek dari anjloknya harga komoditi ini di pasar global, yang berdampak kesulitan pada petani.

Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Sumatera Utara (Sumut), Timbas Ginting, mengatakan biaya operasional untuk produksi TBS seperti memanen hingga proses distribusi serta perawatan lainnya harus terus berjalan. Meskipun saat ini, harga sawit terjun ke angka di bawah Rp1.000, aktivitas itu harus tetap berjalan “Kalau biaya operasionalnya kan tetap juga (berjalan). Walaupun harga naik atau rendah, produksinya tetap jalan,” ujar Timbas, Minggu (2/12).

Namun dampak lain, lanjutnya, dengan anjloknya harga TBS, biasanya bagi petani sawit, akan menambah beban ekonomi. Yang jelas, petani berpotensi tidak mampu memupuk atau membeli pupuk. Dari kondisi tersebut, maka akan mempengaruhi tingkat produksi, setidaknya pada masa yang akan datang.

“Setahu saya, dengan herbal rendah yang jelas, mungkin petani tidak memupuk lagi. Akibatnya tahun depan pasti produksi TBS petani akan turun/rendah,” ujarnya.

Sementara Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menyambut baik langkah pemerintah pusat yang akan menambah pasar ekspor kelapa sawit dan turunannya dari pasar yang ada sebelumnya. Meski begitu, petani sawit diminta untuk tetap mempertahankan produksi dan kualitasnya sehingga laik bersaing di pasar dunia.

“Pemberlakuan bea keluar untuk CPO (Crude Palm Oil) akhirnya kan ditunda. Inikan salah satu upaya pemerintah mengintervensi anjloknya harga Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit dalam negeri di pasar dunia,” kata Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sumut, Parlindungan Lubis menjawab Sumut Pos, Minggu (2/12).

Ketika berbicara pasar ekspor, kata dia, pemerintah provinsi dan daerah tentu berharap kebijakan dari pusat atas kondisi saat ini. Untuk itu, implementasi pemerintah atas kebijakan produksi biodiesel B20-B30, menurut pihaknya harus segera terlaksana.

“Supaya penggunaan produk sawit dan turunannya ini bisa maksimal. Kedua oleh pemerintah penerapan bea keluar produk ekspor yang sudah dinolkan, adalah kebijakan tepat menurut kami. Jadi bukan hanya upaya pemda semata, tetapi seluruh stakeholder bahkan pihak swasta untuk sama-sama menyikapi kondisi ini dan memikirkan bagaimana solusi terbaiknya,” katanya.

Dengan demikian, lanjut Parlindungan, harga CPO berikut turunannya bisa kembali seimbang bersaing di pasar dunia. Sedangkan langkah dan upaya yang sudah dilakukan Pemprovsu menyikapi kondisi anjloknya TBS sawit, sudah optimal dilakukan. Misalnya, tidak pernah berhenti untuk melakukan pembinaan kepada kalangan petani sawit, mengimbau untuk tetap menjaga kualitas produksi berikut kuantitas dari produksinya sendiri agar tidak berkurang.

“Namun kondisi riilnya kan pasar dunia yang sedang lesu atas komoditas sawit dan turunannya. Jadi masalah ini sebenarnya tidak bisa dipilah-pilah, sebab dari hulu ke hilir saling berkaitan. Begitu macet di satu simpul maka berdampak ke ujung atau hulunya,” katanya.

Saat ini, diakui pihaknya, produksi sawit dari petani cukup banyak jumlahnya. Bahkan produksi yang ada semakin menumpuk akibat minat yang rendah dari kalangan pembeli ekspor yang tersedia. “Over stok yang ada inikan tentu menimbulkan stagnansi dari mata rantai yang ada tadi. Artinya dari petani ke pengumpul atau pabrik kelapa sawit (PKS) menuju pasar eksportir menjadi macet lantaran daya beli pasar yang rendah, mengakibatkan barang menjadi bertumpuk. Makanya, semua pihak harus terlibat.

Dan upaya kami di daerah sudah dilakukan dengan memberi pembinaan kepada kalangan petani. Lalu kami minta kualitas produk dan harga untuk selalu dijaga, supaya produk sawit dan turunannya itu tetap maksimal,” paparnya.

Menurutnya, percepatan implementasi B20 dan B30 ini penting dilakukan, supaya petani sawit tidak terlalu lama menderita dengan kondisi yang ada kini. Sebab bakal berdampak juga ke sektor lainnya dan ke kehidupan si petani itu sendiri.

“Makanya kita jangan berbicara sendiri-sendiri. Harus duduk dan turun bersama menyikapi kondisi tersebut. Apalagi Sumut punya produk sawit dan PKS paling besar di Indonesia. Itu artinya, dengan penurunan daya beli pasar dunia saat ini berdampak sekali terhadap sektor hulu kita,” katanya.

Pihaknya juga menyebut tidak mungkin pemda bergerak sendiri guna mengintervensi pasar dunia atas komoditas CPO. Melalui kebijakan yang sudah diambil pusat saat ini, disebut Parlindungan, merupakan langkah tepat atas anjloknya harga TBS.

“Sekarang pemerintah mulai menambah pasar baru produk CPO dan turunan ini. Kalau selama ini ke Eropa kini mulai ke India, Cina bahkan Pakistan. Itu kan tidak gampang tapi sudah merupakan upaya pemerintah mencari solusi. Dan ini patut kita apresiasi,” katanya.

Penambahan pasar baru ini juga, sambung dia, tidak terjadi begitu saja. Butuh upaya dan perjuangan keras agar produk dalam negeri mampu laku di pasar dunia. Belum lagi adanya kampanye hitam dari negara-negara seperti Amerika Serikat, yang menyebabkan produk dalam negeri sulit diterima di kalangan eksportir CPO.

“Seperti Amerika kan dia punya minyak kedelai dan segala macam. Mereka pun sempat melakukan black campaign atas produk dari negara lain. Mereka bilang produknya dapat merusak lingkungan, tidak sehat dikonsumsi dan sebagainya. Yang semata-mata bertujuan mempertahankan status dia. Makanya dalam kondisi seperti ini kita harus melihat dari semua aspek,” katanya.

Sementara Wakil Ketua Komisi B DPRD Sumut Aripay Tambunan menyebut bahwa dari berbagai perspektif, jawaban atas kondisi ini adalah cenderung nmenyalahkam kebijakan pemerintah. Menurutnya, Perpres 61/2015 ABG mengatur pungutan ekspor, tidak menunjukkan adanya manfaat berarti kepada petani. Karena menurutnya, yang menerima keuntungan bukan petani.

“Tetapi yang diuntungkan itu adalah mandatori bio diesel. Apalagi pungutan (eksport) yang distop oleh Menko Perekonomian, itu sudah berjalan lebih kurang tiga tahun. Harusnya pungutan itu diaudit dulu,” kata dia.

Audit itu, lanjutnya, guna memperjelas kemana dan bagaimana peruntukan bantuan dari pungutan selama ini. Jika perkiraan setahun ada Rp12 T, maka lebih kurang ada Rp36 T sudah terkumpul. “Berarti yang dinikmati petani? Sementara sekarang untuk panen saja petani sudah malas,” katanya.

Harga TBS/CPO rendah, kata Aripay, tentu tidak seimbang dengan biaya operasional yang harus dikeluarkan. Sebab pada dasarnya saat ini kendali harga masih pada mekanisme pasar yang benar-benar ada di korporat. “Korporasi ini yang cukup terkenal dengan nama the big five. (prn/bal)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Penurunan produksi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Sumatera Utara diperkirakan akan terjadi awal tahun depan. Hal ini dinilai sebagai efek dari anjloknya harga komoditi ini di pasar global, yang berdampak kesulitan pada petani.

Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Sumatera Utara (Sumut), Timbas Ginting, mengatakan biaya operasional untuk produksi TBS seperti memanen hingga proses distribusi serta perawatan lainnya harus terus berjalan. Meskipun saat ini, harga sawit terjun ke angka di bawah Rp1.000, aktivitas itu harus tetap berjalan “Kalau biaya operasionalnya kan tetap juga (berjalan). Walaupun harga naik atau rendah, produksinya tetap jalan,” ujar Timbas, Minggu (2/12).

Namun dampak lain, lanjutnya, dengan anjloknya harga TBS, biasanya bagi petani sawit, akan menambah beban ekonomi. Yang jelas, petani berpotensi tidak mampu memupuk atau membeli pupuk. Dari kondisi tersebut, maka akan mempengaruhi tingkat produksi, setidaknya pada masa yang akan datang.

“Setahu saya, dengan herbal rendah yang jelas, mungkin petani tidak memupuk lagi. Akibatnya tahun depan pasti produksi TBS petani akan turun/rendah,” ujarnya.

Sementara Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menyambut baik langkah pemerintah pusat yang akan menambah pasar ekspor kelapa sawit dan turunannya dari pasar yang ada sebelumnya. Meski begitu, petani sawit diminta untuk tetap mempertahankan produksi dan kualitasnya sehingga laik bersaing di pasar dunia.

“Pemberlakuan bea keluar untuk CPO (Crude Palm Oil) akhirnya kan ditunda. Inikan salah satu upaya pemerintah mengintervensi anjloknya harga Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit dalam negeri di pasar dunia,” kata Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sumut, Parlindungan Lubis menjawab Sumut Pos, Minggu (2/12).

Ketika berbicara pasar ekspor, kata dia, pemerintah provinsi dan daerah tentu berharap kebijakan dari pusat atas kondisi saat ini. Untuk itu, implementasi pemerintah atas kebijakan produksi biodiesel B20-B30, menurut pihaknya harus segera terlaksana.

“Supaya penggunaan produk sawit dan turunannya ini bisa maksimal. Kedua oleh pemerintah penerapan bea keluar produk ekspor yang sudah dinolkan, adalah kebijakan tepat menurut kami. Jadi bukan hanya upaya pemda semata, tetapi seluruh stakeholder bahkan pihak swasta untuk sama-sama menyikapi kondisi ini dan memikirkan bagaimana solusi terbaiknya,” katanya.

Dengan demikian, lanjut Parlindungan, harga CPO berikut turunannya bisa kembali seimbang bersaing di pasar dunia. Sedangkan langkah dan upaya yang sudah dilakukan Pemprovsu menyikapi kondisi anjloknya TBS sawit, sudah optimal dilakukan. Misalnya, tidak pernah berhenti untuk melakukan pembinaan kepada kalangan petani sawit, mengimbau untuk tetap menjaga kualitas produksi berikut kuantitas dari produksinya sendiri agar tidak berkurang.

“Namun kondisi riilnya kan pasar dunia yang sedang lesu atas komoditas sawit dan turunannya. Jadi masalah ini sebenarnya tidak bisa dipilah-pilah, sebab dari hulu ke hilir saling berkaitan. Begitu macet di satu simpul maka berdampak ke ujung atau hulunya,” katanya.

Saat ini, diakui pihaknya, produksi sawit dari petani cukup banyak jumlahnya. Bahkan produksi yang ada semakin menumpuk akibat minat yang rendah dari kalangan pembeli ekspor yang tersedia. “Over stok yang ada inikan tentu menimbulkan stagnansi dari mata rantai yang ada tadi. Artinya dari petani ke pengumpul atau pabrik kelapa sawit (PKS) menuju pasar eksportir menjadi macet lantaran daya beli pasar yang rendah, mengakibatkan barang menjadi bertumpuk. Makanya, semua pihak harus terlibat.

Dan upaya kami di daerah sudah dilakukan dengan memberi pembinaan kepada kalangan petani. Lalu kami minta kualitas produk dan harga untuk selalu dijaga, supaya produk sawit dan turunannya itu tetap maksimal,” paparnya.

Menurutnya, percepatan implementasi B20 dan B30 ini penting dilakukan, supaya petani sawit tidak terlalu lama menderita dengan kondisi yang ada kini. Sebab bakal berdampak juga ke sektor lainnya dan ke kehidupan si petani itu sendiri.

“Makanya kita jangan berbicara sendiri-sendiri. Harus duduk dan turun bersama menyikapi kondisi tersebut. Apalagi Sumut punya produk sawit dan PKS paling besar di Indonesia. Itu artinya, dengan penurunan daya beli pasar dunia saat ini berdampak sekali terhadap sektor hulu kita,” katanya.

Pihaknya juga menyebut tidak mungkin pemda bergerak sendiri guna mengintervensi pasar dunia atas komoditas CPO. Melalui kebijakan yang sudah diambil pusat saat ini, disebut Parlindungan, merupakan langkah tepat atas anjloknya harga TBS.

“Sekarang pemerintah mulai menambah pasar baru produk CPO dan turunan ini. Kalau selama ini ke Eropa kini mulai ke India, Cina bahkan Pakistan. Itu kan tidak gampang tapi sudah merupakan upaya pemerintah mencari solusi. Dan ini patut kita apresiasi,” katanya.

Penambahan pasar baru ini juga, sambung dia, tidak terjadi begitu saja. Butuh upaya dan perjuangan keras agar produk dalam negeri mampu laku di pasar dunia. Belum lagi adanya kampanye hitam dari negara-negara seperti Amerika Serikat, yang menyebabkan produk dalam negeri sulit diterima di kalangan eksportir CPO.

“Seperti Amerika kan dia punya minyak kedelai dan segala macam. Mereka pun sempat melakukan black campaign atas produk dari negara lain. Mereka bilang produknya dapat merusak lingkungan, tidak sehat dikonsumsi dan sebagainya. Yang semata-mata bertujuan mempertahankan status dia. Makanya dalam kondisi seperti ini kita harus melihat dari semua aspek,” katanya.

Sementara Wakil Ketua Komisi B DPRD Sumut Aripay Tambunan menyebut bahwa dari berbagai perspektif, jawaban atas kondisi ini adalah cenderung nmenyalahkam kebijakan pemerintah. Menurutnya, Perpres 61/2015 ABG mengatur pungutan ekspor, tidak menunjukkan adanya manfaat berarti kepada petani. Karena menurutnya, yang menerima keuntungan bukan petani.

“Tetapi yang diuntungkan itu adalah mandatori bio diesel. Apalagi pungutan (eksport) yang distop oleh Menko Perekonomian, itu sudah berjalan lebih kurang tiga tahun. Harusnya pungutan itu diaudit dulu,” kata dia.

Audit itu, lanjutnya, guna memperjelas kemana dan bagaimana peruntukan bantuan dari pungutan selama ini. Jika perkiraan setahun ada Rp12 T, maka lebih kurang ada Rp36 T sudah terkumpul. “Berarti yang dinikmati petani? Sementara sekarang untuk panen saja petani sudah malas,” katanya.

Harga TBS/CPO rendah, kata Aripay, tentu tidak seimbang dengan biaya operasional yang harus dikeluarkan. Sebab pada dasarnya saat ini kendali harga masih pada mekanisme pasar yang benar-benar ada di korporat. “Korporasi ini yang cukup terkenal dengan nama the big five. (prn/bal)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/