32 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

2019, 189 Anak di Sumut Jadi Korban Kekerasan, Medan Jadi Kota dengan Kasus Terbanyak

JENGUK: Arist Merdeka Sirait saat menjenguk seorang anak korban kekerasan dalam rumah tangga, beberapa waktu lalu. Pada 2019, sedikitnya 189 anak di Sumut menjadi korban kekerasan.
JENGUK: Arist Merdeka Sirait saat menjenguk seorang anak korban kekerasan dalam rumah tangga, beberapa waktu lalu. Pada 2019, sedikitnya 189 anak di Sumut menjadi korban kekerasan.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Yayasan Pusaka Indonesia (YPI) mencatat, sepanjang 2019 ada sebanyak 189 anak di Sumut telah menjadi korban kekerasan dan perlakuan salah lainnya. Dari jumlah tersebut, Kota Medan mendominasi, atau paling banyak.

Ketua Badan Pengurus YPI Medan, OK Syahputra Harianda mengatakan, kasus-kasus kekerasan terhadap anak di Sumut dianggap sudah semakin memprihatinkan.

“Pencabulan menjadi kasus yang paling banyak terjadi pada 2019, dengan 107 anak menjadi korbannya. Lalu penganiayaan ada sebanyak 43 korban, dan pembunuhan dengan 21 korban. Sisanya 18 korban berbagai kasus, seperti sodomi, incest, penelantaran, dan pemerkosaan,” ungkap Harianda kepada Sumut Pos, Jumat (3/1).

Harianda juga mengatakan, Kota Medan masih menjadi yang paling banyak terjadi tindak kekerasan terhadap anak, dengan jumlah 101 kasus. Selanjutnya, diikuti Kabupaten Deliserdang 22 kasus, dan Kabupaten Karo 18 kasus.

“Usia 11 sampai 15 tahun, merupakan usia anak sangat mudah dibujuk dan dirayu. Situasi anak sedang dalam masa puberitas. Anak menjadi sangat rentan karena pengaruh teman-teman sebaya, lingkungan, teman dekatnya maupun melalui perkenalan di dunia maya,” jelas Harianda.

Menurut Harianda, para pelakunya berasal dari orang yang tidak dikenal. Tapi, yang lebih memprihatinkan lagi, banyak juga pelaku berada dalam lingkungan yang sangat dekat dengan si anak, seperti orang tua kandung, orang tua tiri, pacar atau teman dekat korban.

“Kita tidak boleh membiarkan situasi yang tidak ramah anak ini meliputi anak-anak kita. Kami yakin, masih banyak lagi anak-anak yang mendapatkan kekerasan dan perlakuan salah lainnya. Membuatnya tidak yakin akan masa depan yang cerah, yang kelak jika terjadi pembiaran maka negara ini akan melahirkan generasi-generasi yang pemarah, tamak, egois, serakah dan tidak berhati mulia,” jelasnya.

“Masyarakat sekitar harus peka terhadap hal-hal yang terjadi di lingkungannya. Peran kelompok atau organisasi di masyarakat dan kepala lingkungan, harus semakin ditingkatkan. Karena kejadian sekecil apapun di lingkungannya, jangan dibiarkan. Segera lakukan pencegahan dan berkoordinasi dengan aparatur desa atau kelurahan dan pihak kepolisian,” harap Harianda.

Harianda mengatakan, tidak dapat dipungkiri jika kekerasan terhadap anak seperti fenomena gunung es, yang dikhawatirkan akan semakin meningkat setiap tahunnya. Hal ini apabila tidak ada upaya yang sistematis dari orang-orang dewasa dalam menangani permasalahan anak yang semakin kompleks.

“Peran media massa juga sangat penting dalam menyiarkan dan memberitakan hal-hal positif dalam program-programnya, sehingga dapat membentuk anak berpikir dan bertindak positif. Yang utama perlu diperhatikan dalam pembinaan anak adalah keluarga. Peran orang tua dan keluarga, sangat dituntut dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Apalagi di tengah kemajuan tekhnologi yang sangat pesat saat ini,” katanya.

Perhatian, kasih sayang dan perlindungan, lanjutnya, jangan sampai tidak dirasakan anak-anak sejak mereka masih kecil. Sesibuk apapun orang tua dalam bekerja, jangan sampai lalai dalam membina, membesarkan dan mendidik anak-anaknya, terlebih dengan pendidikan agama.

“Harus dicamkan, anak adalah titipan, amanah dan karunia Yang Maha Kuasa terhadap orang tua, dan itu harus dipertanggungjawabkan,” harap Harianda.

Sementara menurut Psikolog Irna Mirnauli, kekerasan terhadap anak sepertinya terus berkembang, karena semakin banyak orangtua yang ‘mewariskan’ perilaku kekerasan dari generasi ke generasi berikutnya.

“Orangtua yang dibesarkan dengan kekerasan cenderung akan mengulangi kekerasan yang dicontohkan orangtuanya pada anak-anaknya. Mereka beranggapan, kekerasan sebagai cara efektif untuk mendisiplinkan anak,” jelasnya.

Selain itu, banyaknya masalah-masalah ekonomi dan sosial juga memperparah kondisi ini. Bahkan, banyak orangtua yang melampiaskan frustrasinya karena kesulitan ekonomi dengan menyalurkan kemarahannya kepada anak. Demikian pula masalah yang mereka alami dalam hubungannnya dengan pasangan, seperti pertengkaran dengan pasangan atau perceraian maka pelampiasan kemarahan juga sering diarahkan pada anak.

“Kurangnya nilai budaya seseorang membuat anak menjadi pelampiasan kemarahan. Longgarnya sistem nilai khususnya yang menyangkut norma-norma budaya membuat banyak orang kehilangan empati, sehingga mereka melihat anak sebagai objek pelampiasan kemarahan maupun seksualnya,” ungkap Psikolog dari Universitas Medan Area (UMA) ini.

Khusus anak yang menjadi korban pencabulan, kata Irna, biasanya pelaku kerap menjadikan tontonan pornografi alasan utama. “Paparan pornografi membuat banyak orang kemudian menjadi predator bagi anak-anak yang belum memahami masalah seksual,” jelasnya.

Korban kekerasan umumnya mengalami post-traumatic stress disorder, yang jika tidak ditangani dengan tuntas maka akan menimbulkan masalah hingga masa remaja dan dewasanya. Anak yang mendapatkan kekerasan seksual atau apapun itu, akan menjadi trauma hingga berkepanjangan.

“Bila tidak dapat diatasi, para korban bakal bisa menjadi pelaku kekerasan berikutnya, khususnya pada kasus kekerasan seksual pada anak. Tidak mustahil mereka juga akan menjadi predator-predator baru ketika mereka remaja dan dewasa nanti,” kata Irna.

Irna menambahkan, anak merupakan korban yang paling gampang untuk melampiaskan kemarahan atau nafsu dari para pelaku. Sebab, mereka lebih mudah membujuk anak-anak tersebut.

“Itulah makanya kekerasan terhadap anak dianggap sebagai suatu tindakan keji, karena orang yang seharusnya melindungi anak namun mereka malah menyakitinya,” pungkasnya. (ris/saz)

JENGUK: Arist Merdeka Sirait saat menjenguk seorang anak korban kekerasan dalam rumah tangga, beberapa waktu lalu. Pada 2019, sedikitnya 189 anak di Sumut menjadi korban kekerasan.
JENGUK: Arist Merdeka Sirait saat menjenguk seorang anak korban kekerasan dalam rumah tangga, beberapa waktu lalu. Pada 2019, sedikitnya 189 anak di Sumut menjadi korban kekerasan.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Yayasan Pusaka Indonesia (YPI) mencatat, sepanjang 2019 ada sebanyak 189 anak di Sumut telah menjadi korban kekerasan dan perlakuan salah lainnya. Dari jumlah tersebut, Kota Medan mendominasi, atau paling banyak.

Ketua Badan Pengurus YPI Medan, OK Syahputra Harianda mengatakan, kasus-kasus kekerasan terhadap anak di Sumut dianggap sudah semakin memprihatinkan.

“Pencabulan menjadi kasus yang paling banyak terjadi pada 2019, dengan 107 anak menjadi korbannya. Lalu penganiayaan ada sebanyak 43 korban, dan pembunuhan dengan 21 korban. Sisanya 18 korban berbagai kasus, seperti sodomi, incest, penelantaran, dan pemerkosaan,” ungkap Harianda kepada Sumut Pos, Jumat (3/1).

Harianda juga mengatakan, Kota Medan masih menjadi yang paling banyak terjadi tindak kekerasan terhadap anak, dengan jumlah 101 kasus. Selanjutnya, diikuti Kabupaten Deliserdang 22 kasus, dan Kabupaten Karo 18 kasus.

“Usia 11 sampai 15 tahun, merupakan usia anak sangat mudah dibujuk dan dirayu. Situasi anak sedang dalam masa puberitas. Anak menjadi sangat rentan karena pengaruh teman-teman sebaya, lingkungan, teman dekatnya maupun melalui perkenalan di dunia maya,” jelas Harianda.

Menurut Harianda, para pelakunya berasal dari orang yang tidak dikenal. Tapi, yang lebih memprihatinkan lagi, banyak juga pelaku berada dalam lingkungan yang sangat dekat dengan si anak, seperti orang tua kandung, orang tua tiri, pacar atau teman dekat korban.

“Kita tidak boleh membiarkan situasi yang tidak ramah anak ini meliputi anak-anak kita. Kami yakin, masih banyak lagi anak-anak yang mendapatkan kekerasan dan perlakuan salah lainnya. Membuatnya tidak yakin akan masa depan yang cerah, yang kelak jika terjadi pembiaran maka negara ini akan melahirkan generasi-generasi yang pemarah, tamak, egois, serakah dan tidak berhati mulia,” jelasnya.

“Masyarakat sekitar harus peka terhadap hal-hal yang terjadi di lingkungannya. Peran kelompok atau organisasi di masyarakat dan kepala lingkungan, harus semakin ditingkatkan. Karena kejadian sekecil apapun di lingkungannya, jangan dibiarkan. Segera lakukan pencegahan dan berkoordinasi dengan aparatur desa atau kelurahan dan pihak kepolisian,” harap Harianda.

Harianda mengatakan, tidak dapat dipungkiri jika kekerasan terhadap anak seperti fenomena gunung es, yang dikhawatirkan akan semakin meningkat setiap tahunnya. Hal ini apabila tidak ada upaya yang sistematis dari orang-orang dewasa dalam menangani permasalahan anak yang semakin kompleks.

“Peran media massa juga sangat penting dalam menyiarkan dan memberitakan hal-hal positif dalam program-programnya, sehingga dapat membentuk anak berpikir dan bertindak positif. Yang utama perlu diperhatikan dalam pembinaan anak adalah keluarga. Peran orang tua dan keluarga, sangat dituntut dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Apalagi di tengah kemajuan tekhnologi yang sangat pesat saat ini,” katanya.

Perhatian, kasih sayang dan perlindungan, lanjutnya, jangan sampai tidak dirasakan anak-anak sejak mereka masih kecil. Sesibuk apapun orang tua dalam bekerja, jangan sampai lalai dalam membina, membesarkan dan mendidik anak-anaknya, terlebih dengan pendidikan agama.

“Harus dicamkan, anak adalah titipan, amanah dan karunia Yang Maha Kuasa terhadap orang tua, dan itu harus dipertanggungjawabkan,” harap Harianda.

Sementara menurut Psikolog Irna Mirnauli, kekerasan terhadap anak sepertinya terus berkembang, karena semakin banyak orangtua yang ‘mewariskan’ perilaku kekerasan dari generasi ke generasi berikutnya.

“Orangtua yang dibesarkan dengan kekerasan cenderung akan mengulangi kekerasan yang dicontohkan orangtuanya pada anak-anaknya. Mereka beranggapan, kekerasan sebagai cara efektif untuk mendisiplinkan anak,” jelasnya.

Selain itu, banyaknya masalah-masalah ekonomi dan sosial juga memperparah kondisi ini. Bahkan, banyak orangtua yang melampiaskan frustrasinya karena kesulitan ekonomi dengan menyalurkan kemarahannya kepada anak. Demikian pula masalah yang mereka alami dalam hubungannnya dengan pasangan, seperti pertengkaran dengan pasangan atau perceraian maka pelampiasan kemarahan juga sering diarahkan pada anak.

“Kurangnya nilai budaya seseorang membuat anak menjadi pelampiasan kemarahan. Longgarnya sistem nilai khususnya yang menyangkut norma-norma budaya membuat banyak orang kehilangan empati, sehingga mereka melihat anak sebagai objek pelampiasan kemarahan maupun seksualnya,” ungkap Psikolog dari Universitas Medan Area (UMA) ini.

Khusus anak yang menjadi korban pencabulan, kata Irna, biasanya pelaku kerap menjadikan tontonan pornografi alasan utama. “Paparan pornografi membuat banyak orang kemudian menjadi predator bagi anak-anak yang belum memahami masalah seksual,” jelasnya.

Korban kekerasan umumnya mengalami post-traumatic stress disorder, yang jika tidak ditangani dengan tuntas maka akan menimbulkan masalah hingga masa remaja dan dewasanya. Anak yang mendapatkan kekerasan seksual atau apapun itu, akan menjadi trauma hingga berkepanjangan.

“Bila tidak dapat diatasi, para korban bakal bisa menjadi pelaku kekerasan berikutnya, khususnya pada kasus kekerasan seksual pada anak. Tidak mustahil mereka juga akan menjadi predator-predator baru ketika mereka remaja dan dewasa nanti,” kata Irna.

Irna menambahkan, anak merupakan korban yang paling gampang untuk melampiaskan kemarahan atau nafsu dari para pelaku. Sebab, mereka lebih mudah membujuk anak-anak tersebut.

“Itulah makanya kekerasan terhadap anak dianggap sebagai suatu tindakan keji, karena orang yang seharusnya melindungi anak namun mereka malah menyakitinya,” pungkasnya. (ris/saz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/