25 C
Medan
Monday, June 3, 2024

Seni Bagian dari Kebudayaan Kami

Menyambut Nyepi di Pura Agung Raksa Bhuwana, Polonia

Perayaan Nyepi tidak hanya dilakoni umat Hindu Bali di Pantai Cermin, Sergai dan sekitarnya. Tahun Baru Isaka yang satu sistem penanggalan dengan kalender India, juga dirayakan di Medan Polonia.

INDRA JULI-Medan

Di Aula Pura Agung Raksa Bhuwana Jalan Polonia Medan, Kamis (3/3), beberapa warga Hindu-Bali berkumpul di Aula. Mereka sibuk membuat persiapan dalam rangka upacara Tawur Kesanga yan gakan dilaksanakan hari ini, Jumat (4/3).

Dipandu Ibu Wayan warga Aek Kanopan Kabupaten Labuhan Batu Utara (Labura) warga membuat satu demi satu perlengkapan persembahan (sesajen) yang akan digunakan pada upacara tersebut. “Dalam masyarakat Bali ini disebut noes yaitu cara membuat perlengkapan sesajen. Bahannya dari janur, daun tapak geni (temen), pelepah kelapa, daun pisang, dan bunga,” tutur Ibu Wayan.

Janur digunakan untuk membuat alas persembahan yang disebut canang. Untuk itu janur yang sudah dipotong dirangkai sedemikian rupa layaknya membentuk bunga. Nantinya canang ini dirangkai dengan beberapa perlengkapan lainnya yang disebut mejejahit.

Dalam tradisi Hindu Bali, terdapat 30 canang yang digunakan dalam perayaann
Diantaranya canang sari, canang rake, canang gentan, canang sampian, dan lain sebagainya. Masing-masing canang tadi memiliki perbedaan. “Ya tergantung kegiatannya apa. Kalau untuk besok (hari ini, Red) tidak terlalu banyak yang dibutuhkan. Paling ramai perlengkapan itu dibuat saat peringatan pendirian Pure,” tambah wanita bertubuh tambun ini.

Selain itu janur tadi juga digunakan untuk membentuk lis yang mewakili keberadaan Sang Hyang Widhi pada diri manusia. Janur tersebut juga digunakan untuk membuat bebu’u, yang digunakan untuk membersihkan segenap perlengkapan persembahan sebelum upacara dimulai dengan memercikkan air (tirta) yang bersih. Setelah bahagian demi bahagian perlengkapan tadi dibuat selanjutnya dirangkai menjadi satu bagian yang disebut bebanten.
Dalam kegiatan tersebut terlihat betul bagaimana kehidupan masyarakat Bali sebagai penganut mayoritas Agama Hindu di Indonesia begitu erat dengan seni. Seperti bagaimana pembuatan alas-alas persembahan tadi dilakukan begitu juga dalam pemilihan alas kurban yang diambil dari daun tapak geni yang dalam masyarakat Bali dikenal dengan daun temen.

“Sebenarnya bisa saja hanya kasih persembahan seperti kebanyakan. Tapi ada rasa tidak lengkap bila hanya memberi persembahan saja. Tidak ada tantangan. Karena memang dari sananya, kita sebagai masyarakat Bali tidak bisa lepas dari seni. Makanya perlengkapan ini kita buat sedemikian rupa dan menarik,” ucap Puspa (43) yang dibenarkan Made Joni peserta kegiatan noes sore itu.

Meskipun perlengkapan yang dibutuhkan tidak begitu lengkap, namun persiapan yang dilakukan tampaknya berlangsung hingga sore hari. Bahkan beberapa perlengkapan baru ditemui seperti ‘sanggah cucuk’ yang terbuat dari bambu dengan rangkaian janur di beberapa bahagiannya. Masih terbuat dari bambu ada ‘dulut’ dan ‘klukul’ atau kentungan. Selain itu ada ‘papah nyuh’ yang terbuat dari pelepah kelapa, dan ‘sampat’ atau sapu yang terdiri dari 11 batang lidi.

Menurut Jero Mangku I Wayan Sukantra SAg, ‘papah nyuh’, ‘dulut’, ‘sampat’, dan ‘klukul’ memiliki peran yang berbeda namun berjalan dalam satu rangkaian dalam kegiatan upacara Tawur Kesanga ini. Dimana papah nyuh digunakan untuk mengusir pengaruh-pengaruh negatif dari kegiatan. Setelah itu ‘dulut’ yang digunakan untuk meratakan keseimbangan alam semesta dilanjutkan dengan sampat untuk membersihkan alam raya dari pengaruh jahat tadi.

“Upacara Tawur Kesanga ini bertujuan menjaga keseimbangan atau keharmonisan alam serta penyucian kekuatan unsur alam semesta (kekuatan Bhuta Kala). Upacara ini merupakan bagian dari keyakinan umat Hindu Bali yaitu hubungan manusia dengan Hiang Widhi, manusia dengan manusi, dan manusia dengan alam raya. Seni sudahmenjadi bagian dari kebudayaan kami,” jelas Jero Mangku I Wayan Sukantra SAg

Pada kegiatan Jumat (4/3) ini lanjutnya, Tawur (kurban persembahan) yang digunakan adalah tingkat Panca Sata yaitu dengan mempersembahkan lima ekor ayam dengan warna bulu berbeda yaitu putih, puting siungan, merah, hitam, dan brumbun. Warna itu sendiri diyakini mewakili penjuru mata angin. Kegiatan sendiri direncanakan dimulai pukul 17.00 WIB sehingga pada perayaan Nyepi, Sabtu (5/3) esok umat dapat melakoninya dengan baik.

Pada pelaksanaan Nyepi sendiri segenap umat Hindu akan melakukan penyepian catur brata yang terdiri amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak melakukan aktifitas fisik), amati lelungan (tidak bepergian atau meninggalkan rumah), dan amati lelanguan (tidak berfoya-foya). Perayaan Nyepi sendiri berakhir Minggu (6/3) dimana masa itu disebut Ngembak Geni (ngembak api). Saat itu warga dapat melaksanakan aktifitas sebagaimaan biasa namun dilengkapi dengan Dharma Santi dengan melakukan sima karma (semacam silaturahmi) untuk saling memaafkan di antara umat Hindu. (*)

Menyambut Nyepi di Pura Agung Raksa Bhuwana, Polonia

Perayaan Nyepi tidak hanya dilakoni umat Hindu Bali di Pantai Cermin, Sergai dan sekitarnya. Tahun Baru Isaka yang satu sistem penanggalan dengan kalender India, juga dirayakan di Medan Polonia.

INDRA JULI-Medan

Di Aula Pura Agung Raksa Bhuwana Jalan Polonia Medan, Kamis (3/3), beberapa warga Hindu-Bali berkumpul di Aula. Mereka sibuk membuat persiapan dalam rangka upacara Tawur Kesanga yan gakan dilaksanakan hari ini, Jumat (4/3).

Dipandu Ibu Wayan warga Aek Kanopan Kabupaten Labuhan Batu Utara (Labura) warga membuat satu demi satu perlengkapan persembahan (sesajen) yang akan digunakan pada upacara tersebut. “Dalam masyarakat Bali ini disebut noes yaitu cara membuat perlengkapan sesajen. Bahannya dari janur, daun tapak geni (temen), pelepah kelapa, daun pisang, dan bunga,” tutur Ibu Wayan.

Janur digunakan untuk membuat alas persembahan yang disebut canang. Untuk itu janur yang sudah dipotong dirangkai sedemikian rupa layaknya membentuk bunga. Nantinya canang ini dirangkai dengan beberapa perlengkapan lainnya yang disebut mejejahit.

Dalam tradisi Hindu Bali, terdapat 30 canang yang digunakan dalam perayaann
Diantaranya canang sari, canang rake, canang gentan, canang sampian, dan lain sebagainya. Masing-masing canang tadi memiliki perbedaan. “Ya tergantung kegiatannya apa. Kalau untuk besok (hari ini, Red) tidak terlalu banyak yang dibutuhkan. Paling ramai perlengkapan itu dibuat saat peringatan pendirian Pure,” tambah wanita bertubuh tambun ini.

Selain itu janur tadi juga digunakan untuk membentuk lis yang mewakili keberadaan Sang Hyang Widhi pada diri manusia. Janur tersebut juga digunakan untuk membuat bebu’u, yang digunakan untuk membersihkan segenap perlengkapan persembahan sebelum upacara dimulai dengan memercikkan air (tirta) yang bersih. Setelah bahagian demi bahagian perlengkapan tadi dibuat selanjutnya dirangkai menjadi satu bagian yang disebut bebanten.
Dalam kegiatan tersebut terlihat betul bagaimana kehidupan masyarakat Bali sebagai penganut mayoritas Agama Hindu di Indonesia begitu erat dengan seni. Seperti bagaimana pembuatan alas-alas persembahan tadi dilakukan begitu juga dalam pemilihan alas kurban yang diambil dari daun tapak geni yang dalam masyarakat Bali dikenal dengan daun temen.

“Sebenarnya bisa saja hanya kasih persembahan seperti kebanyakan. Tapi ada rasa tidak lengkap bila hanya memberi persembahan saja. Tidak ada tantangan. Karena memang dari sananya, kita sebagai masyarakat Bali tidak bisa lepas dari seni. Makanya perlengkapan ini kita buat sedemikian rupa dan menarik,” ucap Puspa (43) yang dibenarkan Made Joni peserta kegiatan noes sore itu.

Meskipun perlengkapan yang dibutuhkan tidak begitu lengkap, namun persiapan yang dilakukan tampaknya berlangsung hingga sore hari. Bahkan beberapa perlengkapan baru ditemui seperti ‘sanggah cucuk’ yang terbuat dari bambu dengan rangkaian janur di beberapa bahagiannya. Masih terbuat dari bambu ada ‘dulut’ dan ‘klukul’ atau kentungan. Selain itu ada ‘papah nyuh’ yang terbuat dari pelepah kelapa, dan ‘sampat’ atau sapu yang terdiri dari 11 batang lidi.

Menurut Jero Mangku I Wayan Sukantra SAg, ‘papah nyuh’, ‘dulut’, ‘sampat’, dan ‘klukul’ memiliki peran yang berbeda namun berjalan dalam satu rangkaian dalam kegiatan upacara Tawur Kesanga ini. Dimana papah nyuh digunakan untuk mengusir pengaruh-pengaruh negatif dari kegiatan. Setelah itu ‘dulut’ yang digunakan untuk meratakan keseimbangan alam semesta dilanjutkan dengan sampat untuk membersihkan alam raya dari pengaruh jahat tadi.

“Upacara Tawur Kesanga ini bertujuan menjaga keseimbangan atau keharmonisan alam serta penyucian kekuatan unsur alam semesta (kekuatan Bhuta Kala). Upacara ini merupakan bagian dari keyakinan umat Hindu Bali yaitu hubungan manusia dengan Hiang Widhi, manusia dengan manusi, dan manusia dengan alam raya. Seni sudahmenjadi bagian dari kebudayaan kami,” jelas Jero Mangku I Wayan Sukantra SAg

Pada kegiatan Jumat (4/3) ini lanjutnya, Tawur (kurban persembahan) yang digunakan adalah tingkat Panca Sata yaitu dengan mempersembahkan lima ekor ayam dengan warna bulu berbeda yaitu putih, puting siungan, merah, hitam, dan brumbun. Warna itu sendiri diyakini mewakili penjuru mata angin. Kegiatan sendiri direncanakan dimulai pukul 17.00 WIB sehingga pada perayaan Nyepi, Sabtu (5/3) esok umat dapat melakoninya dengan baik.

Pada pelaksanaan Nyepi sendiri segenap umat Hindu akan melakukan penyepian catur brata yang terdiri amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak melakukan aktifitas fisik), amati lelungan (tidak bepergian atau meninggalkan rumah), dan amati lelanguan (tidak berfoya-foya). Perayaan Nyepi sendiri berakhir Minggu (6/3) dimana masa itu disebut Ngembak Geni (ngembak api). Saat itu warga dapat melaksanakan aktifitas sebagaimaan biasa namun dilengkapi dengan Dharma Santi dengan melakukan sima karma (semacam silaturahmi) untuk saling memaafkan di antara umat Hindu. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/