Diberitakan sebelumnya, menghilang dari Desa Lingga Mukti, Kec. Sucina Raja, Kab. Garut, Jawa Barat sejak 2009 lalu, Sri ditemukan jadi pembantu di kediaman Handoko. Itu terkuak setelah ayahnya, Rukman (43) dan pamannya, Dadang (45) dapat informasi lewat SMS akhir Januari lalu. Isinya, mengabarkan keberadaan Sri di Medan dan jadi pembantu.
Awalnya, mereka sempat tak percaya. Apalagi, nomor si pengirim SMS tak pernah bisa dihubungi lagi. Namun karena rindu setengah mati, Rukman nekat. Maklum, sudah sejak 2009, putrinya tak ada kabar. Bermodalkan kepercayaan atas SMS itu, dia mengumpulkan uang untuk modal berangkat ke alamat Sri seperti dalam pesan singkat yang diterimanya.
Dia akhirnya menemukan putrinya di Blok H no 6 Komplek Grand Polonia. Ditemani personel TNI AU, rombongan KPAID dan POSMETRO MEDAN serta Dadang dan Rukman, akhirnya bisa masuk ke komplek mewah itu. Benar saja, Sri akhirnya ditemukan di sana. Suasana haru terlihat ketika Sri memeluk ayahnya sembari menangis.
Majikannya, Handoko, terlihat sedikit takut kala itu. Berkali-kali dia menelpon seseorang dengan Bahasa Tionghoa. Dia bahkan meminta agar rombongan KPAID menunggu istrinya pulang. “Nanti ya Pak, tunggu istri saya. Karena dia yang lebih tahu,” ujarnya.
Sri mengaku dibawa tetangganya Dedeh (25). Sri akhirnya dibawa Dedeh. Dia tak sendiri. Ada 5 perempuan muda lain bersama, ikut dibawa Dedeh naik pesawat ke Jakarta. Di sana mereka nginap di hotel.
“Satu hari aja nginap di hotel. Besoknya dibawa ke bandara Soerkano-Hatta, terus naik Sriwijaya Air ke Medan,” ujar cewek yang hanya tamatan SD itu. Tiba di Bandara Polonia Medan, Sri sempat berontak begitu tahu dibawa ke Medan. Namun, dia akhirnya takut. Karena Dedeh langsung pergi. Sementara, mereka dijemput perempuan bernama Nuraida alias Butet.
“Ibu Butet itu kejam. Saya takut. Kami dibawa naik mini bus ke ruko milik, di Jalan Jamin Ginting. Itu aja yang saya ingat alamatnya,” bebernya. Tiba di sana, sambung Sri, sudah ada juga perempuan muda yang ditaksirnya berusia 13-15 tahun. “Baru tiba di Medan dan dijemput dengan bus yang sama,” tambahnya.
Sri menaksir, ada sekitar 20-an perempuan muda di ruko itu. Di sana, mereka didata dan diajari jadi pembantu. Juga diimingi gaji besar dan diminta nurut atas perintah majikan. “Kami disuruh nurut karena majikan kami katanya orang kaya dan ngasih gaji besar. Kami juga sering dipukul kalau gak nurut perintahnya,” tegas Sri.
Selang seminggu, mereka pun dijemput calon majikan. Saat itu, Sri dijemput istri Handoko, Fatimah (40). Pengakuan Sri, dia langsung disuruh mengepel dan memandikan anjing serta mencuci piring serta pekerjaan rumah lain.
Sri mengaku tidak pernah digaji selama bekerja di sana. Alasan majikannya, uang tersebut masih disimpan dan akan diberikan kalau nanti pulang kampung. Namun janji itu tak pernah terealisasi. Bahkan Sri sempat minta pulang kampung tapi tak diizinkan keluarga majikannya.
Sri juga melihat ada 3 pembantu lain yang masih muda alias dibawah umur, dari NTT. “Pernah 3 tahun lalu, dipisahkan dari kawan-kawan dan disuruh tidur di garasi mobil. Aku melawan dan sering dipukuli. Gara-gara itu aku dipisahkan sama kawan-kawan,” jelasnya.
“Aku tersiksa kali Bang. Makannya lama-lama dan sikit. Bahkan nasi basi pernah kumakan,” ujar Sri menangis. Mendengar penjelasan Sri, Handoko membantah semua. Dia mengaku gaji Sri telah diberikan. “Udah aku kasih gajinya, ya kan Sri,” ujar Handoko sambil melotot, ketika rombongan KPAID masih berada di kediaman Handoko. “Aku dijanjikan gaji Rp.600 ribu, tapi selama enam tahun tidak pernah dikasih,” ujar Sri lagi sambil menangis. “Aku kangen sama Ibu, Pak aku mau pulang. Ayo kita pulang Pak dari sini, di Medan orangnya beringas,” ujar Sri menangis.(gib/trg)