Anggota Komisi II DPR RI Fandi Utomo juga mengatakan, rencana pemerintah memecat sejuta PNS yang akan dieksekusi KemenPAN-RB, menyalahi undang-undang (UU). Politikus Partai Demokrat itu menyebutkan, dengan jumlah mencapai satu juta PNS, maka itu sudah termasuk pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
“PHK massal itu menyalahi UU. Kalau tidak diatur dalam UU apakah bisa dilakukan,” kata Fandi saat dihubungi, Jumat (3/6).
Fandi menyebutkan, pemangkasan PNS dalam jumlah banyak tidak diatur dalam UU Aparatur Sipil Negara (ASN) dan tidak dikenal dalam birokrasi. Karena itu, ia mempertanyakan bagaimana Menteri PAN-RB Yuddy Chrisnandi bisa mengalokasikan anggarannya.
“Pemberhentian ASN memang diatur dalam UU, tapi kalau untuk pensiun dini atau dipercepat masa pensiunnya. Bagaimana pasangon dianggarkan kalau tidak diatur,” ujar Fandi mempertanyakan.
Karena itu, pihaknya akan mempertanyakan rencana ini dalam pembahasan APBN Perubahan 2016 dengan Menpan-RB. Apalagi, rencana ini belum pernah disinggung saat rapat-rapat di Komisi II DPR.
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing mengaku terkejut dan menyebut kebijakan itu tanpa mata hati. Menurut dia, Presiden Jokowi harus menegur langsung Menteri Yuddy.
“Rencana itu tidak menghargai pengorbanan PNS selama ini yang telah mengabdi, termasuk yang bertugas di daerah perbatasan,” ujar Emrus kepada wartawan, Jumat (3/6).
Emrus lantas bercerita pernah didatangi oleh salah satu dari tim suatu kementerian yang bertugas di Kabupaten Boven Digoel. Diceritakan bahwa nyawa mereka pernah terancam ketika bertugas ke daerah terpencil karena perahu yang ditumpangi bocor dan terombang-ambing di tengah laut.
“Bila kita perhatikan, empat kuadran itu hanya berlandaskan rasional yang memandang PNS sama dengan faktor produksi yang sangat tidak humanis,” kritik Emrus.
Nasib jutaan PNS juga sepatutnya tidak berada di tangan seorang Yuddy Chrisnandy sebagai MenPAN RB. Jika untuk tujuan produktivitas, pemerintah seharusnya melakukan pembinaan melalui pendidikan, pelatihan dan pembimbingan.
Emrus bahkan menuding, bisa saja menjelang Pilpres ada penerimaan PNS dengan berbagai alasan dan argumentasi.
“Jika hal tersebut terjadi, maka itu dapat disebut sebagai penanaman modal politik pencitraan,” tandasnya.