25 C
Medan
Sunday, September 29, 2024

Soroti Kisruh Tapera, DPRD Sumut Minta Pemerintah Jangan Tambah Beban Rakyat

MEDAN, SUMUTPOS.CO- Ketua DPRD Sumut, Soetarto, turut menyoroti kisruh pemotongan upah untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) bagi setiap pekerja, baik formal maupun informal di tanah air. Menurut Sekretaris DPD PDIP Sumut itu, pemungutan iuran Tapera yang diwajibkan untuk para pekerja tersebut harus melihat realitas di masyarakat.

“Kita tahu Tapera ini dibuat agar semua rakyat memiliki rumah, tetapi kita juga harus melihat kemampuan dari sektor pekerja. Jangan tambah beban rakyat. Jangan tambah beban buruh, petani, pekerja informal dan para marhaen,” ucap Soetarto, Selasa (4/6/2024).

Dalam kondisi yang ada saat ini, kata Soetarto, pekerja seperti buruh swasta yang tergolong kontrak memiliki kecenderungan PHK yang sangat tinggi.

“Juga dengan pekerja informal, pekerja mandiri seperti ojek online. Saya mengerti benar, di tengah penghasilan tidak menentu harus membiayai kehidupan sehari-hari, bersaing mendapatkan orderan dan risiko tinggi, tapi justru haris dibebani iuran Tapera,” ujarnya.

Soetarto mengatakan, pemerintah tidak boleh melakukan ‘pukul rata’ antara pekerja formal yang berstatus ASN, TNI dan Polri dengan masyarakat biasa.

“Bagi PNS, TNI, dan Polri, keberlanjutan dana Tapera mungkin bisa berjangka panjang karena tidak ada PHK. Tetapi untuk buruh swasta dan masyarakat umum, terutama buruh kontrak dan outsourcing, potensi terjadinya PHK sangat tinggi dengan pendapatan cenderung konstan,” katanya.

Dijelaskannya, sesuai rilis BPS 2024, jumlah penduduk bekerja di Provinsi Sumatera Utara mencapai 7,59 juta orang pada Februari 2024. Dari jumlah tersebut, sebanyak 38,27 persen merupakan buruh atau karyawan.

“Sebanyak 42,42 persen adalah pekerja informal. Dari jumlah yang sama sebesar 29 persen, menjadikan pertanian jadi sektor utama mata pencahariannya,” jelasnya.

Ia menegaskan, pemerintah harusnya mengkaji lagi program Kredit Perumahan Rakyat (KPR) subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

“Untuk rumah, penyalurannya, biaya administrasinya, aksesnya dipermudah untuk masyarakat kecil. Ada restrukturisasi kredit bagi wong cilik. Kenyataan di lapangan rumah KPR subsidi banyak dilelang karena gagal bayar,” tegasnya.

Soetarto menjelaskan, persoalan Tapera mendapat penolakan dari berbagai elemen pegawai/ pekerja.

“Secara ekonomi justru bisa menjadi beban baru bagi pekerja, sudah terlalu banyak potongan gaji dari para pegawai /pekerja. Sebaiknya Pemerintah meninjau ulang pemberlakuan Tapera,” tambahnya.

Soetarto pun berharap, pemerintah tidak sembrono dalam menetapkan iuran wajib tapera.

“Kita tegaskan agar pemerintah harus berpihak kepada rakyat kecil, pekerja informal, dan para marhaen seperti yang pernah diungkapkan Bung Karno. Indonesia dibangun bukan untuk segelintir orang saja, negara ini didirikan semua untuk semua, keadilan bagi semua,” jelasnya.

Seperti diketahui, Tapera merupakan penyimpanan yang dilakukan peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan atau dikembalikan setelah kepesertaan berakhir.

UU No.4 Tahun 2016 tentang tabungan perumahan rakyat, setiap pekerja dan pekerja mandiri yang bekerja paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta tapera. Selanjutnya, pemerintah membuat peraturan turunan berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera.

Aturan itu direvisi menjadi PP Nomor 21 Tahun 2024 yang diteken Presiden Jokowi pada 20 Mei 2024 lalu. Iuran Tapera ini viral dan mendapat protes karena diwajibkan juga untuk pekerja swasta dan mandiri. Padahal, sebelumnya hanya dibebankan kepada aparatur sipil negara (ASN) Besaran simpanan Tapera adalah 3 persen dari gaji atau upah peserta pekerja.

Rinciannya dijelaskan di pasal 15 ayat 2, di mana jumlah tersebut ditanggung bersama sebesar 0,5 persen oleh pemberi kerja dan 2,5 persen dari pekerja tersebut.
(map)

MEDAN, SUMUTPOS.CO- Ketua DPRD Sumut, Soetarto, turut menyoroti kisruh pemotongan upah untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) bagi setiap pekerja, baik formal maupun informal di tanah air. Menurut Sekretaris DPD PDIP Sumut itu, pemungutan iuran Tapera yang diwajibkan untuk para pekerja tersebut harus melihat realitas di masyarakat.

“Kita tahu Tapera ini dibuat agar semua rakyat memiliki rumah, tetapi kita juga harus melihat kemampuan dari sektor pekerja. Jangan tambah beban rakyat. Jangan tambah beban buruh, petani, pekerja informal dan para marhaen,” ucap Soetarto, Selasa (4/6/2024).

Dalam kondisi yang ada saat ini, kata Soetarto, pekerja seperti buruh swasta yang tergolong kontrak memiliki kecenderungan PHK yang sangat tinggi.

“Juga dengan pekerja informal, pekerja mandiri seperti ojek online. Saya mengerti benar, di tengah penghasilan tidak menentu harus membiayai kehidupan sehari-hari, bersaing mendapatkan orderan dan risiko tinggi, tapi justru haris dibebani iuran Tapera,” ujarnya.

Soetarto mengatakan, pemerintah tidak boleh melakukan ‘pukul rata’ antara pekerja formal yang berstatus ASN, TNI dan Polri dengan masyarakat biasa.

“Bagi PNS, TNI, dan Polri, keberlanjutan dana Tapera mungkin bisa berjangka panjang karena tidak ada PHK. Tetapi untuk buruh swasta dan masyarakat umum, terutama buruh kontrak dan outsourcing, potensi terjadinya PHK sangat tinggi dengan pendapatan cenderung konstan,” katanya.

Dijelaskannya, sesuai rilis BPS 2024, jumlah penduduk bekerja di Provinsi Sumatera Utara mencapai 7,59 juta orang pada Februari 2024. Dari jumlah tersebut, sebanyak 38,27 persen merupakan buruh atau karyawan.

“Sebanyak 42,42 persen adalah pekerja informal. Dari jumlah yang sama sebesar 29 persen, menjadikan pertanian jadi sektor utama mata pencahariannya,” jelasnya.

Ia menegaskan, pemerintah harusnya mengkaji lagi program Kredit Perumahan Rakyat (KPR) subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

“Untuk rumah, penyalurannya, biaya administrasinya, aksesnya dipermudah untuk masyarakat kecil. Ada restrukturisasi kredit bagi wong cilik. Kenyataan di lapangan rumah KPR subsidi banyak dilelang karena gagal bayar,” tegasnya.

Soetarto menjelaskan, persoalan Tapera mendapat penolakan dari berbagai elemen pegawai/ pekerja.

“Secara ekonomi justru bisa menjadi beban baru bagi pekerja, sudah terlalu banyak potongan gaji dari para pegawai /pekerja. Sebaiknya Pemerintah meninjau ulang pemberlakuan Tapera,” tambahnya.

Soetarto pun berharap, pemerintah tidak sembrono dalam menetapkan iuran wajib tapera.

“Kita tegaskan agar pemerintah harus berpihak kepada rakyat kecil, pekerja informal, dan para marhaen seperti yang pernah diungkapkan Bung Karno. Indonesia dibangun bukan untuk segelintir orang saja, negara ini didirikan semua untuk semua, keadilan bagi semua,” jelasnya.

Seperti diketahui, Tapera merupakan penyimpanan yang dilakukan peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan atau dikembalikan setelah kepesertaan berakhir.

UU No.4 Tahun 2016 tentang tabungan perumahan rakyat, setiap pekerja dan pekerja mandiri yang bekerja paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta tapera. Selanjutnya, pemerintah membuat peraturan turunan berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera.

Aturan itu direvisi menjadi PP Nomor 21 Tahun 2024 yang diteken Presiden Jokowi pada 20 Mei 2024 lalu. Iuran Tapera ini viral dan mendapat protes karena diwajibkan juga untuk pekerja swasta dan mandiri. Padahal, sebelumnya hanya dibebankan kepada aparatur sipil negara (ASN) Besaran simpanan Tapera adalah 3 persen dari gaji atau upah peserta pekerja.

Rinciannya dijelaskan di pasal 15 ayat 2, di mana jumlah tersebut ditanggung bersama sebesar 0,5 persen oleh pemberi kerja dan 2,5 persen dari pekerja tersebut.
(map)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/