Potret Masa Lampau Restoran Tip Top (1)
Berdiri sejak 1934, sebuah restoran tua di Jalan Ahmad Yani atau lebih dikenal Jalan Kesawan sampai saat ini masih menjadi tempat bersantap yang ramah bagi warga Medan.
Sarat kenangan masa lampau, menjadi saksi bergantinya generasi. Itulah Tip Top yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah kota Medan.
DONI HERMAWAN, Medan
Kesan berbeda sangat kental terasa memasuki restoran ini. Seperti berada di zaman yang berbeda. Begitulah Tip Top yang masih tegak berdiri bertahan di tengah Kota Medan yang terus mengubah wajahnya. Nyaris tak ada yang berubah. Teras dipenuhi kursi-kursi rotan dan meja-meja rotan.
Pelayan-pelayan berbaju putih dengan peci di kepalanya menyambut ramah di depan pintu. Di dinding resto terpajang beberapa foto hitam putih. Ada sekumpulan meneer yang berpose dengan ceria, foto lain memperlihatkan lalulintas Kesawan di depan Tip Top yang penuh dengan sepeda.
Ada tentara sekutu yang berbaris di depan dan sederet foto dokumentasi masa lampau lainnyan
“Itu foto waktu dulu agresi militer kedua. Pas tentara baris depan Tip Top tahun 1957. Tahun 1980-an ada orang Belanda itu kemari dia kasih foto itu sama Bapak saya,” ujar Dirdikus, pewaris restoran Tip Top saat melihat saya asyik memperhatikan foto itu.
Dengan ramah ia mengajak kami melangkah ke dalam. Di sebuah meja dengan taplak yang terlihat cukup kuno tapi tidak kusam. “Silahkan pesan. Di sini ada berbagai menu Western maupun dalam negeri. Juga ice cream yang menjadi khas Tip Top sejak dulu dengan cita rasa perang dunia kedua. Rasanya masih orisinal,” katanya.
Mengambil sebuah menu. Wah, desainnya pun tak kalah kuno. Meskipun sudah memakai ejaan baru, kesan itu masih terlihat. Deretan nama makanan yang asing saya dengar tertulis disana. Maklum saja, itu daftar makanan Eropa. Carmen, Yestard, Bitter Ballen dan ragam lainnya. Praktis yang dikenal hanya nasi goreng.
“Itu makanan-makanan khas di sini. Dari Eropa. Bahkan beberapa pelanggan saya dari Belanda saja heran menu itu masih tersedia di sini,” kata Dirdikus menerangkan menu-menu asing tadi.
Selain itu tentu saja roti-roti dengan cita rasa khas Tip Top. Hebatnya roti-roti ini dipanggang dengan tungku peninggalan Belanda yang masih berfungsi sejak Tip Top pertama kali berdiri. Di sekitar tungku berukuran 4×5 meter itu tersusun kayu-kayu terbaik dari pohon Mahoni yang ditanam sendiri sejak turun temurun di Palung Kenas. Tungku ini mampu menghasilkan panas hingga 200 derajat.
“Untuk kayu bakarnya dari tempat kami sendiri. Kayunya khusus, kualiats baik juga punya kadar air harus bagus dari lahan sendiri. Kami tidak tebang pohonnya. Tapi cabang- cabangnya dari pohon 30 tahun,” ungkapnya.
Tentu saja proses konservatif itu punya kekhas-an tersendiri. “Kata teman saya yang usaha di bidang bakery ada yang tidak bisa disamakan dari roti-roti Tip Top yaitu Aromanya,” ungkap menunjukkan tungku tersebut di dapur.
Di sekitar tungku juga terdapat mesin pembuatan ice cream yang tak kalah lama. Slagroom namanya. Tertulis tahun pembuatannya 1363. Slagroom nantinya menghasilkan whipe cream yang dicampurkan di ice cream.
“Cita rasanya berbeda dengan whipe cream yang biasa dijumpai sekarang. Saya bahkan ditertawakan masih memakai mesin seperti ini. Sudah tidak ada lagi. Bahkan saya sudah cari ke Eropa juga tidak ada. Yang pasti kami harus terus menjaga mesin ini tetap berfungsi,” jelas pria berusia 42 tahun ini.
Dirdikus cukup antusias berkisah soal Tip Top. Dulunya resto ini bernama Jang Kie. Diambil dari nama pendirinya yang juga kakek Dirdikus. Tahun 1929 cikal bakal Tip Top ini berada di kawasan Jalan Pandu. Lima tahun berselang, resto dipindah ke Kesawan dan berganti nama menjadi Tip Top. “Namanya berasal dari Bahasa Inggris. Idiom sempurna. Tapi saat masa pendudukan Jepang nama ini tidak boleh digunakan karena dianggap kental nuansa Belanda dan kembali menjadi Tjang Kie. Kembali lagi menjadi Tip Top setelah Jepang tak lagi di Indonesia,” terangnya.
Jalan Kesawan yang dulunya menjadi pusat perdagangan dengan berdirinya kantor-kantor pemerintahan, bank dan usaha-usaha dagang lainnya membuat Tip Top pun menjadi pilihan bersantap bagi orang-orang Belanda yang bekerja di bagian administrasi dan pegawai perkebunan. Tip Top yang awal mulanya hanya menjual ice cream maupun roti pun mulai menjual makanan-makanan berat seperti nasi goreng dan lainnya.
Selain bersantap atau menikmati suasana sore dengan ngopi di Tip Top, para pelanggan juga dihibur dengan hiburan live music. Tepat di samping kiri terdapat bas tua dan piano. The Kwin G, nama hiburan musik yang dihelat setiap Rabu, Sabtu dan Minggu malam.
Dari tangan Jang Kie, restoran ini pun diwarisi ayah Dirdikus, Freddy Kencana. “Waktu itu Bapak saya dipanggil memanage ini tahun 1978. Hanya sedikit perubahan yang dilakukan. Sekarang diserahkan kepada saya dan Bapak kini banyak menghabiskan waktunya di Jakarta,” katanya.
Seiring perkembangannya, Tip Top terbagi dalam tiga ruangan untuk pelanggan. Selain teras, ruangan setengah terbuka dengan view jalanan, ada juga ruang tengah dan ruang ber AC. “Ruangan ber AC itu ada sejak 1980. Dulunya itu taman. Saat diambil alih ayah saya. Terserah mau pilih duduk di mana,” tambahnya.
Tip Top bukanlah restoran yang hadir dengan konsep vintage atau klasik. Namun beginilah Tip Top yang tak ikut terseret arus perubahan. (*/bersambung)