26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Rektor USU Lepas Tangan

MEDAN-Pihak Kejaksaan Agung menyebutkan ada dua orang jadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi anggaran Pendidikan Tinggi (Dikti) di Universitas Sumatera Utara (USU). Kabar ini ditanggapi dingin oleh Rektor USU Syahril Pasaribu. Bahkan, sang rektor lepas tangan alias tak mau membela anggotanya yang terjerat kasus tersebut.

Rektor USU, Syahril Pasaribu
Rektor USU, Syahril Pasaribu

Adalah dekan farmasi yang jadi tersangka setelah tersangkut kasus proyek pekerjaan tiang pancang dan urugan tanah pembangunan gedung Fakultas Farmasi sebesar Rp1.339.021.854 dan Abdul Hadi, selaku pejabat pembuat komitmen, dalam proyek pengadaan peralatan etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya senilai Rp14.805.384.000.  Untuk dekan farmasi, Kejagung memang tidak menyebut nama. Namun dari penelusuran Sumut Pos, yang dimaksud Kejagung mengarah ke Prof Sumadio Hadisahputra Apt yang telah menjabat sebagai dekan sejak 2010.

Ternyata, kabar tersangkutnya dekan dan seorang pejabat pembuat komitmen itu tak diambil pusing oleh sang rektor. Malah sang rektor cenderung ‘membiarkan’ keduanya terhukum. Hal ini terungkap ketika sang rektor berhasil dikonfirmasi, kemarin. “Silahkan Anda tanyakan saja hal ini kepada mereka (Kejagung, Red),” ucapnya kepada Sumut Pos saat ditemui di sela-sela acara penandatanganan kerja sama antara USU dan BTN, Jumat (4/7).

Berulang kali Sumut Pos menanyakan sikapnya terkait persoalan korupsi di USU, ia lagi-lagi berupaya menghindar dengan alasan jika hal itu sudah masuk ke ranah hukum. Sehingga dia enggan memaparkan lebih jauh tentang hal dimaksud. “Mengenai korupsi Etnomusikologi itu silahkan tanya saja ke Kejagung,” katanya lagi.

Sesaat tampak ingin mengakhiri pembicaraan, Sumut Pos menyinggung sanksi apa yang diberikan kepada dekan dan pejabat pembuat komitmen yang dinyatakan tersangka oleh Kejagung. “Ya dihukumlah, kalau memang terbukti bersalah. Masak mau dibela-bela. Saya kira itu menjadi ranahnya aparat penegak hukum,” tegasnya.

Jawaban ini semakin menarik karena sebelumnya, Abdul Hadi secara terang benderang menyebut nama rektor ketika dikonfirmasi soal kasus tersebut. “Ya, saya enggak bisa kasih penjelasan soal itu. Harusnya Pak Rektor yang menjelaskan ini. Karena beliau yang bertanggung jawab dan memiliki wewenang menjawab ini,” katanya, Kamis (26/6) lalu.

Secara tegas, pria berperawakan sawo matang itu menuturkan, segala pertanggungjawaban soal kasus dugaan korupsi ini berada di tangan Rektor USU, Prof Syahril Pasaribu. Sebab segala berkas maupun dokumen, baik yang sudah dan belum dilengkapi dalam pengadaan barang tersebut.

Ditanyai perihal fokus pemeriksaan tim Kejagung terhadap dirinya, Hadi hanya menyebutkan hal itu berdasarkan temuan-temuan BPK RI pada 2010 tentang pengadaan peralatan musik di Fakultas Ilmu Budaya jurusan Etnomusikologi USU.

“Aku sudah 4 tahun yang lalu pindah dari situ (Biro Rektor), jadi enggak tahu perkembangan lagi,” tegasnya.

Di sisi lain, berdasarkan hasil penelusuran Sumut Pos dalam sepekan ini, muncul nama-nama yang disebut bertanggung jawab atas pengadaan peralatan musik di jurusan Etnomusikologi. Salah satunya adalah Frida Deliana, Ketua Jurusan Program Studi Etnomusikologi pada waktu itu. Yang bersangkutan tak pernah kelihatan lagi di lingkungan USU. Padahal ia merupakan dosen tetap di Etnomusikologi.

Frida Deliana senter disebut-sebut sebagai orang yang berperan aktif terhadap spesifikasi barang yang tak sesuai dari permohonan sebelumnya. Bahkan dari informasi yang diterima Sumut Pos, Frida juga sudah menjalani beberapa kali pemeriksaan terkait kasus tersebut.

Kru koran ini lantas coba mengonfirmasi yang bersangkutan. Namun tiap kali disambangi di tempatnya mengajar, ia tidak pernah muncul. Apalagi pada saat ini, mahasiswa FIB sedang melaksanakan ujian semester. “Saya sudah jarang ketemu Bu Frida. Apalagi jam mengajar kami juga beda. Jadi gak pernah sinkron waktunya,” ucap salah seorang dosen di Etnomusikologi USU.

Ditanya apakah pascapemeriksaan yang dilakukan Kejagung dan nama Frida Deliana disebut-sebut juga terlibat, sehingga yang bersangkutan mulai jarang muncul di kampus, sumber enggan berkomentar banyak. “Wah, kalau soal itu saya tidak tahu,” katanya polos.

Sosok Frida Deliana di mata mahasiswa juga ternyata dianggap tegas. “Ya gimana ya, setahuku sih ibu itu orangnya tegas dan tidak banyak berbicara gitu,” ungkap seorang mahasiswa jurusan Etnomusikologi USU saat ditemui Sumut Pos belum lama ini.

Mahasiswa yang enggan namanya ditulis ini mengungkapkan, kalau dalam sepekan ini adanya pemeriksaan yang dilakukan Kejagung. Bahkan ia mengaku beberapa barang yang diperiksa disita oleh pihak kejaksaan.

Sebelumnya, Sumut Pos juga sudah melakukan penelusuran mencari tahu sosok Frida Deliana. Melalui informasi di Departemen Etnomusikologi, Sumut Pos akhirnya mengetahui alamat rumahnya, di daerah Medan Selayang. Saat ditemui di kediamannya pada Kamis siang kemarin, Frida Deliana tidak berada di tempat. Sumut Pos hanya bertemu dengan pekerja di rumah itu yang mengatakan bahwa Frida Deliana sedang berada di luar kota. “Ibu lagi enggak ada di rumah. Beliau sudah 5 hari di Berastagi membawa rombongan gereja,” ucap pekerja itu dibalik pintu rumahnya. Ia mengaku belum mengetahui kapan majikannya pulang. Dari informasi yang diperoleh, Frida Deliana merupakan dosen tetap di Etnomusikologi USU. Perempuan kelahiran Binjai, 18 November 1960 itu sudah berstatus Lektor Kepala.

Gonjang-ganjing di USU ditengarai hasil konspirasi dengan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang kini mendekam di LP Sukamiskin, Bandung. Nazaruddin diduga kuat mendapatkan fee Rp30 miliar atas pekerjaannya ‘mengawal’ sejumlah proyek Dikti yang didanai dari APBN 2010 ke USU.

Berdasarkan penelusuran Sumut Pos dari salinan audit BPK terdapat enam proyek di USU yang diduga merugikan keuangan negara. Adanya temuan bahwa pihak USU memberikan fee sebesar Rp30 miliar kepada Nazaruddin terungkap dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Yulianis, mantan Direktur Keuangan PT Anugrah Nusantara, perusahaan milik Nazaruddin di persidangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu.

Berdasarkan salinan audit BPK, diketahui ada enam proyek di USU yang diduga merugikan keuangan negara berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) terhadap USU  dengan nomor : 19/HP/XIX/12/2011 tanggal 26 Desember 2011.

Keenam proyek itu meliputi, pekerjaan tiang pancang dan urugan tanah pada pembangunan gedung Fakultas Farmasi yang dilaksanakan tidak sesuai kontrak sebesar Rp1.339.021.854, tiga paket pekerjaan sebesar Rp72.626.584.000 yang tak sepenuhnya  berdasarkan bukti yang sah, lengkap, dan belum dikenakan denda keterlambatan sebesar Rp672.736.235, serta tak sesuai spesifikasi sebesar Rp8.465.729.000, pengadaan peralatan etnomusikologi pada Fakultas Sastra senilai Rp14.805.384.000 yang dinilai tidak memperhatikan kebutuhan senyatanya, belum dimanfaatkan, serta tidak sesuai spesifikasi sebesar Rp1.055.678.800, penyusunan Harga Perkiraan Sementara (HPS) oleh panitia pengadaan/ULP sebesar Rp39.799.238.302 yang ditemukan lebih bersifat proforma dan berindikasi pemahalan harga (mark-up) sebesar Rp1.945.338.051, 47 rekening dana masyarakat USU senilai Rp141.637.835.678,97 yang belum mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan, dan terakhir, penyediaan pagu anggaran kegiatan USU tahun 2009 yang totalnya Rp50 miliar yang tak didasarkan atas usulan Kementerian Pendidikan Nasional.  (mag-6/rbb)

MEDAN-Pihak Kejaksaan Agung menyebutkan ada dua orang jadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi anggaran Pendidikan Tinggi (Dikti) di Universitas Sumatera Utara (USU). Kabar ini ditanggapi dingin oleh Rektor USU Syahril Pasaribu. Bahkan, sang rektor lepas tangan alias tak mau membela anggotanya yang terjerat kasus tersebut.

Rektor USU, Syahril Pasaribu
Rektor USU, Syahril Pasaribu

Adalah dekan farmasi yang jadi tersangka setelah tersangkut kasus proyek pekerjaan tiang pancang dan urugan tanah pembangunan gedung Fakultas Farmasi sebesar Rp1.339.021.854 dan Abdul Hadi, selaku pejabat pembuat komitmen, dalam proyek pengadaan peralatan etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya senilai Rp14.805.384.000.  Untuk dekan farmasi, Kejagung memang tidak menyebut nama. Namun dari penelusuran Sumut Pos, yang dimaksud Kejagung mengarah ke Prof Sumadio Hadisahputra Apt yang telah menjabat sebagai dekan sejak 2010.

Ternyata, kabar tersangkutnya dekan dan seorang pejabat pembuat komitmen itu tak diambil pusing oleh sang rektor. Malah sang rektor cenderung ‘membiarkan’ keduanya terhukum. Hal ini terungkap ketika sang rektor berhasil dikonfirmasi, kemarin. “Silahkan Anda tanyakan saja hal ini kepada mereka (Kejagung, Red),” ucapnya kepada Sumut Pos saat ditemui di sela-sela acara penandatanganan kerja sama antara USU dan BTN, Jumat (4/7).

Berulang kali Sumut Pos menanyakan sikapnya terkait persoalan korupsi di USU, ia lagi-lagi berupaya menghindar dengan alasan jika hal itu sudah masuk ke ranah hukum. Sehingga dia enggan memaparkan lebih jauh tentang hal dimaksud. “Mengenai korupsi Etnomusikologi itu silahkan tanya saja ke Kejagung,” katanya lagi.

Sesaat tampak ingin mengakhiri pembicaraan, Sumut Pos menyinggung sanksi apa yang diberikan kepada dekan dan pejabat pembuat komitmen yang dinyatakan tersangka oleh Kejagung. “Ya dihukumlah, kalau memang terbukti bersalah. Masak mau dibela-bela. Saya kira itu menjadi ranahnya aparat penegak hukum,” tegasnya.

Jawaban ini semakin menarik karena sebelumnya, Abdul Hadi secara terang benderang menyebut nama rektor ketika dikonfirmasi soal kasus tersebut. “Ya, saya enggak bisa kasih penjelasan soal itu. Harusnya Pak Rektor yang menjelaskan ini. Karena beliau yang bertanggung jawab dan memiliki wewenang menjawab ini,” katanya, Kamis (26/6) lalu.

Secara tegas, pria berperawakan sawo matang itu menuturkan, segala pertanggungjawaban soal kasus dugaan korupsi ini berada di tangan Rektor USU, Prof Syahril Pasaribu. Sebab segala berkas maupun dokumen, baik yang sudah dan belum dilengkapi dalam pengadaan barang tersebut.

Ditanyai perihal fokus pemeriksaan tim Kejagung terhadap dirinya, Hadi hanya menyebutkan hal itu berdasarkan temuan-temuan BPK RI pada 2010 tentang pengadaan peralatan musik di Fakultas Ilmu Budaya jurusan Etnomusikologi USU.

“Aku sudah 4 tahun yang lalu pindah dari situ (Biro Rektor), jadi enggak tahu perkembangan lagi,” tegasnya.

Di sisi lain, berdasarkan hasil penelusuran Sumut Pos dalam sepekan ini, muncul nama-nama yang disebut bertanggung jawab atas pengadaan peralatan musik di jurusan Etnomusikologi. Salah satunya adalah Frida Deliana, Ketua Jurusan Program Studi Etnomusikologi pada waktu itu. Yang bersangkutan tak pernah kelihatan lagi di lingkungan USU. Padahal ia merupakan dosen tetap di Etnomusikologi.

Frida Deliana senter disebut-sebut sebagai orang yang berperan aktif terhadap spesifikasi barang yang tak sesuai dari permohonan sebelumnya. Bahkan dari informasi yang diterima Sumut Pos, Frida juga sudah menjalani beberapa kali pemeriksaan terkait kasus tersebut.

Kru koran ini lantas coba mengonfirmasi yang bersangkutan. Namun tiap kali disambangi di tempatnya mengajar, ia tidak pernah muncul. Apalagi pada saat ini, mahasiswa FIB sedang melaksanakan ujian semester. “Saya sudah jarang ketemu Bu Frida. Apalagi jam mengajar kami juga beda. Jadi gak pernah sinkron waktunya,” ucap salah seorang dosen di Etnomusikologi USU.

Ditanya apakah pascapemeriksaan yang dilakukan Kejagung dan nama Frida Deliana disebut-sebut juga terlibat, sehingga yang bersangkutan mulai jarang muncul di kampus, sumber enggan berkomentar banyak. “Wah, kalau soal itu saya tidak tahu,” katanya polos.

Sosok Frida Deliana di mata mahasiswa juga ternyata dianggap tegas. “Ya gimana ya, setahuku sih ibu itu orangnya tegas dan tidak banyak berbicara gitu,” ungkap seorang mahasiswa jurusan Etnomusikologi USU saat ditemui Sumut Pos belum lama ini.

Mahasiswa yang enggan namanya ditulis ini mengungkapkan, kalau dalam sepekan ini adanya pemeriksaan yang dilakukan Kejagung. Bahkan ia mengaku beberapa barang yang diperiksa disita oleh pihak kejaksaan.

Sebelumnya, Sumut Pos juga sudah melakukan penelusuran mencari tahu sosok Frida Deliana. Melalui informasi di Departemen Etnomusikologi, Sumut Pos akhirnya mengetahui alamat rumahnya, di daerah Medan Selayang. Saat ditemui di kediamannya pada Kamis siang kemarin, Frida Deliana tidak berada di tempat. Sumut Pos hanya bertemu dengan pekerja di rumah itu yang mengatakan bahwa Frida Deliana sedang berada di luar kota. “Ibu lagi enggak ada di rumah. Beliau sudah 5 hari di Berastagi membawa rombongan gereja,” ucap pekerja itu dibalik pintu rumahnya. Ia mengaku belum mengetahui kapan majikannya pulang. Dari informasi yang diperoleh, Frida Deliana merupakan dosen tetap di Etnomusikologi USU. Perempuan kelahiran Binjai, 18 November 1960 itu sudah berstatus Lektor Kepala.

Gonjang-ganjing di USU ditengarai hasil konspirasi dengan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang kini mendekam di LP Sukamiskin, Bandung. Nazaruddin diduga kuat mendapatkan fee Rp30 miliar atas pekerjaannya ‘mengawal’ sejumlah proyek Dikti yang didanai dari APBN 2010 ke USU.

Berdasarkan penelusuran Sumut Pos dari salinan audit BPK terdapat enam proyek di USU yang diduga merugikan keuangan negara. Adanya temuan bahwa pihak USU memberikan fee sebesar Rp30 miliar kepada Nazaruddin terungkap dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Yulianis, mantan Direktur Keuangan PT Anugrah Nusantara, perusahaan milik Nazaruddin di persidangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu.

Berdasarkan salinan audit BPK, diketahui ada enam proyek di USU yang diduga merugikan keuangan negara berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) terhadap USU  dengan nomor : 19/HP/XIX/12/2011 tanggal 26 Desember 2011.

Keenam proyek itu meliputi, pekerjaan tiang pancang dan urugan tanah pada pembangunan gedung Fakultas Farmasi yang dilaksanakan tidak sesuai kontrak sebesar Rp1.339.021.854, tiga paket pekerjaan sebesar Rp72.626.584.000 yang tak sepenuhnya  berdasarkan bukti yang sah, lengkap, dan belum dikenakan denda keterlambatan sebesar Rp672.736.235, serta tak sesuai spesifikasi sebesar Rp8.465.729.000, pengadaan peralatan etnomusikologi pada Fakultas Sastra senilai Rp14.805.384.000 yang dinilai tidak memperhatikan kebutuhan senyatanya, belum dimanfaatkan, serta tidak sesuai spesifikasi sebesar Rp1.055.678.800, penyusunan Harga Perkiraan Sementara (HPS) oleh panitia pengadaan/ULP sebesar Rp39.799.238.302 yang ditemukan lebih bersifat proforma dan berindikasi pemahalan harga (mark-up) sebesar Rp1.945.338.051, 47 rekening dana masyarakat USU senilai Rp141.637.835.678,97 yang belum mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan, dan terakhir, penyediaan pagu anggaran kegiatan USU tahun 2009 yang totalnya Rp50 miliar yang tak didasarkan atas usulan Kementerian Pendidikan Nasional.  (mag-6/rbb)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/