JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Hakim tunggal Lendiarty Janis mengabulkan seluruh gugatan praperadilan Dahlan Iskan. Segala keputusan yang terkait dengan penetapan Dahlan sebagai tersangka telah dinyatakan tidak sah. Putusan praperadilan itu berkekuatan hukum tetap.
Dalam putusannya, Lendiarty menolak eksepsi termohon (Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta). Sebaliknya, hakim mengabulkan seluruh gugatan pemohon (Dahlan). Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Nomor Prin-752/O.1/Fd.1/06/2015 yang dijadikan dasar untuk menetapkan Dahlan sebagai tersangka dinilai tidak sah dan tidak berdasar hukum. Begitu pula proses penyidikannya.
“Karena itu, penetapan a quo tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” ucap hakim asal Padang, Sumatera Barat, tersebut.
Segala keputusan yang terkait dengan penetapan Dahlan sebagai tersangka seperti pencegahan ke luar negeri, penyitaan, serta penggeledahan juga dinyatakan tidak sah.
Banyak pertimbangan hakim dalam memutus gugatan itu. Salah satunya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014. Lendiarty sependapat bahwa penetapan tersangka merupakan objek praperadilan.
Menurut dia, pasal 77 huruf a KUHAP yang mengatur praperadilan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
“Pasal tersebut juga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan,” ucapnya.
Pada inti pertimbangan putusan, hakim sependapat bahwa penetapan Dahlan sebagai tersangka proyek pembangunan 21 gardu induk belum disertai dua alat bukti. Dasar pernyataan tersebut adalah fakta bahwa pada 4 Juni 2015 Dahlan baru sebatas dimintai keterangan sebagai saksi untuk para tersangka proyek gardu induk. Mereka adalah Yusuf Mirand, Wiratmoko Setiadji, Tanggul Priamandaru, Egon Chairul Arifin, dan Hengky Wibowo.
Pemeriksaan sebagai saksi itu dilanjutkan lagi pada 5 Juni 2015. Nah, pada hari yang sama, setelah menjalani pemeriksaan itulah, terbit sprindik penetapan Dahlan sebagai tersangka.
“Pemohon ditetapkan sebagai tersangka tanpa lebih dahulu dilakukan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 KUHAP,” ucap Lendiarty dalam pertimbangan putusannya.
Pasal itu mengatur bahwa penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik untuk mengumpulkan barang bukti sesuai aturan perundangan. Setelah bukti-bukti terkumpul, baru dilakukan penetapan tersangka. Proses yang terjadi pada Dahlan justru sebaliknya.
Dahlan ditetapkan sebagai tersangka melalui sprindik. Baru setelah itu penyidik mencari barang bukti. Fakta tersebut terlihat dari proses pemanggilan saksi, penggeledahan, serta penyitaan yang semua dilakukan setelah 5 Juni 2015.
Jaksa berargumen, barang bukti untuk menetapkan Dahlan sebagai tersangka sudah diperoleh melalui penyelidikan dan penyidikan tersangka lain. Salah satu barang bukti jaksa adalah perhitungan kerugian keuangan negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) DKI Jakarta.
Perhitungan kerugian negara itu pun hanya untuk empat proyek gardu induk. Padahal, yang disangkakan kepada Dahlan adalah proyek 21 gardu induk. Selain itu, sesuai dengan undang-undang, seharusnya perhitungan kerugian negara dikeluarkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), bukan BPKP. Dari fakta itulah, hakim menilai penetapan Dahlan sebagai tersangka subjektif tidak berdasar pasal 1 angka 2 KUHAP.
Sidang pembacaan putusan kemarin berjalan cukup lancar. Lendiarty butuh waktu sekitar sejam untuk membacakan putusan. Dia sempat menskors sidang karena azan Duhur.